Menuju konten utama

Eskalasi Kekerasan Bersenjata di Mimika Papua Belum Reda

Setidaknya ada 13 kali penembakan di kawasan tambang Freeport sejak Agustus lalu.

Eskalasi Kekerasan Bersenjata di Mimika Papua Belum Reda
Pemakaman Yulianus Okoare dan Herman Mairimau, warga sipil dari Kampung Kamoro Jaya, Distrik Mimika Baru, yang meninggal ditembak oleh personel TNI, Minggu (30/8). Prosesi pemakaman dijaga ketat oleh aparat keamanan Indonesia. ANTARAFOTO/Husyen Abdillah/aww/15.

tirto.id - Penembakan yang terjadi pada Rabu pagi ini, 15 November, yang menyebabkan seorang Brimob bernama Firman meninggal dunia, adalah peristiwa terbaru dari rentetan konflik bersenjata di Tembagapura, Mimika, dalam beberapa bulan terakhir. Menurut sumber Tirto, sejak awal Agustus, setidaknya sudah ada 12 kali penembakan di wilayah pertambangan itu. Ditambah kasus pagi tadi, jumlahnya jadi 13 kejadian.

Pendeta Ishak Onawame dari Gereja Kemah Injil Indonesia (Kingmi) di Klasis Mimika mengatakan kepada Tirto bahwa ketegangan tersebut selalu dalam intensitas naik-turun. Kadang dalam sebulan hanya satu kali kasus penembakan, tapi di lain waktu bisa sampai lima kali dalam sebulan. Jika dihitung sejak Agustus (belum menghitung sisa hari di November), ada tiga kali kasus penembakan per bulan. Intensitas yang relatif tinggi.

Tidak ada aktor tunggal dalam konflik yang sudah menyebabkan jatuhnya korban jiwa ini. Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict pada 31 Oktober lalu menyebutkan bahwa setiap kasus kekerasan di wilayah Freeport "dapat melibatkan banyak aktor dengan banyak kepentingan."

Rilis dari polisi, yang kemudian "disantap" pers Jakarta, misalnya, kerap menyebut "orang tidak dikenal" (OTK) atau "Kelompok Kriminal Bersenjata" (KKB). Ini adalah istilah yang sudah dimunculkan sejak 2014. Sementara dari pihak lainnya jelas menuding dua institusi: TNI dan Polri.

Baca juga: 'Masalah Papua Cuma Bisa Selesai oleh Jokowi & Dunia Internasional'

Kasus-Kasus Penembakan

Satu nyawa karena konflik tersebut adalah Theo Kamter, 22 Tahun. Pemuda ini harus meregang nyawa pada 9 Agustus lalu akibat tertembak peluru aparat TNI berpakaian sipil di Pelabuhan Pomako saat negosiasi antara nelayan tradisional dan nelayan semimodern gagal soal wilayah tangkapan ikan. Investigasi SKP Keuskupan Timika menyebut, selain Kamter, ada juga seorang TNI yang terluka.

Penembakan kembali terjadi di ruas jalan utama tambang yang menghubungkan Kota Timika-Tembagapura, tepat ketika hari kemerdekaan Indonesia. Satu orang Polisi dari Satgas Amole, Bharada R Arga, terluka akibat pecahan kaca kendaraan. Pelaku diidentifikasi sebagai OTK.

Ketika ratusan anggota Brimob dibantu TNI membubarkan paksa aksi mogok buruh-buruh Freeport di Check Point 28 Timika, dua hari setelah kejadian penembakan Bharada, seorang warga bernama Sahbrin (34) di dekat lokasi pemogokan kembali jadi korban. Sahbrin tertembak ketika pembubaran demo.

Pada 12 September, penembakan kembali terjadi. Kali ini yang jadi sasaran adalah bus karyawan Freeport saat menuju Terminal Gorong-Gorong Timika. Pada sisi kanan bus ditemukan dua lubang bekas tembakan. Di hari yang sama, atas perintah Kapolri, 100 personel Brimob dari Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat dikirim ke Timika.

"Sesuai dengan perintah Kapolri, Satbrimob Polda NTB dipercaya untuk melaksanakan tugas pengamanan di wilayah Papua," kata Kapolda NTB Brigjen Pol Firli di Mataram, seperti dikutip dari Antara.

Pada 24 September, penembakan terhadap kendaraan Freeport kembali terjadi, kali ini di Mile 61. Sehari setelahnya, mobil patroli ditembak saat mengawal konvoi empat rombongan bus Schedule Day Off (SDO). Seorang pengemudi dilaporkan terluka akibat serpihan kaca. Polisi mengatakan bahwa pelaku penembakan adalah "pemain lama".

Selain sipil, korban penembakan juga adalah pihak aparat keamanan Indonesia. Pada 21 Oktober, iringan kendaraan ditembak di Mile 67. Satu orang Brimob, Briptu Berry Pratama, meninggal dunia.

Baca juga: TPN-OPM di Timika: Tidak Benar Ada Perkosaan dan Penyanderaan

Peristiwa penembakan itu membuat aparat beringas. Sehari berselang, Polisi melakukan aksi balasan. Minggu pagi, 22 Oktober, kesatuan tempur dari polisi menyisir dan menggeledah rumah warga di kawasan Utikini. Sore harinya, terjadi penembakan yang membuat seorang Brimob kembali meninggal dunia, dan 6 lain luka-luka, seperti keterangan dari Kapolda Papua, Irjen Boy Rafli Amar kepada Antara.

Pasca kejadian itu eskalasi konflik terus memuncak. Pada 24 Oktober, ambulans Freeport kembali ditembak. Pada 27 Oktober, menurut klaim aparat, Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Sabinus Waker membakar pos Brimob dan kamp-kamp pendulang emas tradisional. Penembakan dengan sasaran pos Brimob di areal MP66 kembali terjadi pada 29 Oktober 2017.

Merasa situasi semakin genting, Brimob kemudian menambah 100 personel pada 30 Oktober, kali ini dari Polda Kalimantan Tengah.

Apa yang terjadi di bulan ini kemudian berkembang tak sekadar adu tembak. Ada perang propaganda, yang diamplifikasi media-media di Jakarta, dengan mengutip dari sumber-sumber resmi.

Polri, misalnya, mengklaim bahwa kelompok bersenjata bertanggung jawab terhadap penyanderaan 1.300 warga di Distrik Tembagapura. Polisi juga mengklaim pihak yang sama memperkosa warga.

Klaim-klaim ini disanggah oleh Hendrik Wanmang, Komandan Operasi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM). Kepada Tirto, ia mengatakan bahwa yang terjadi adalah aparat yang merekayasa itu semua dengan menuding TPN-OPM.

"Yang benar adalah mata-mata yang ditanam TNI-Polri dan pemerintah justru sengaja melakukan pemerkosaan untuk merusak TPN-OPM," katanya.

Sementara itu, soal isu penyanderaan juga hasil pelintiran aparat. Hendrik berkata, masyarakat di Kampung Banti dan Kembeli, yang disebut disandera, "tidak perlu mengungsi" karena "perang" yang dilancarkan oleh TPN-OPM hanya terhadap TNI-Porli, bukan sipil.

Menurutnya, klaim soal disandera ini dipakai aparat untuk menjustifikasi pengerahan dan penyisiran pasukan ke kampung-kampung di Distrik Tembagapura.

Baca juga: Freeport di Papua ialah Warisan Daripada Soeharto

Hal senada diungkapkan oleh Odizeus Beanal dari Lembaga Masyarakat Adat (Lemasa) Suku Amungme, yang tinggal di Kota Timika. Ia mengkritik polisi yang semakin rajin menyebar siaran pers ke media di Jakarta, termasuk soal penyanderaan tersebut, yang menurutnya bohong belaka.

"Tidak ada sandera. Warga mau bergerak dibatas-batasi. Otoritas harus buka pos penjagaan buat masyarakat melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasa," Beanal menerangkan kepada Tirto.

Sebagai catatan, sangat mungkin jumlah konflik dan korban jiwa lebih besar mengingat sangat terbatasnya informasi di Papua, sebagaimana laporan Human Rights Watch pada 2015. Pembatasan akses informasi ini berbuntut ketergantungan media terhadap sumber-sumber resmi, bisanya dari kepolisian maupun militer. Ini menyulitkan kerja jurnalisme secara independen dengan kualitas informasi yang lebih kredibel, sulit menjangkau sumber-sumber utama dan terdekat di pusat peristiwa.

Bisnis Jasa Keamanan Freeport

Ada analisis yang beragam soal meningkatnya intensitas konflik ini di kawasan Tembagapura. Salah satu pendapat yang cukup menonjol adalah setiap peristiwa penembakan di sana sangat terkait dengan bisnis jasa keamanan. Tiap terjadi insiden kekerasan, yang diikuti eskalasi ketegangan, mendorong Freeport untuk mengeluarkan ongkos pengamanan secara stabil.

Global Witness dalam laporan "Paying for Protection" pada Juli 2005 menyebutkan bahwa Freeport Indonesia membayar 5,6 juta dolar AS pada 2002 untuk "aparat keamanan Indonesia". Dana tersebut dipakai buat ongkos infrastruktur, logistik, perjalanan, administratif, dan bantuan komunikasi polisi dan militer Indonesia.

Baca juga artikel terkait FREEPORT INDONESIA atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Politik
Reporter: Rio Apinino
Penulis: Rio Apinino
Editor: Suhendra