Menuju konten utama

ESDM Terbitkan Aturan Nilai Ekonomi Karbon Pembangkit Listrik

Regulasi ini akan menjadi acuan dalam penyelenggaraan NEK termasuk kegiatan perdagangan karbon di sub sektor pembangkit tenaga listrik.

ESDM Terbitkan Aturan Nilai Ekonomi Karbon Pembangkit Listrik
Foto udara progres pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sumsel 8 di Tanjung Lalang, Tanjung Agung, Muara Enim, Sumatera Selatan, Selasa (16/11/2021). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp.

tirto.id - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik. Aturan ini menjadi komitmen untuk menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) serta sebagai acuan dalam penetapan nilai ekonomi karbon subsektor pembangkit tenaga listrik.

"Regulasi ini akan menjadi acuan dalam penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) termasuk kegiatan perdagangan karbon di sub sektor pembangkit tenaga listrik. Kita tidak akan menyusun mekanisme sendiri, tapi kami pastikan regulasi yang sudah disusun bersama agar berjalan secara fair demi tujuan kita, tujuan bersamanya adalah mengurangi emisi GRK," ungkap Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Dadan Kusdiana, di Jakarta, Rabu (25/1/2023).

Dadan menjelaskan bahwa peraturan ini merupakan turunan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional. Dia menjelaskan nilai ekonomi karbon merupakan salah satu instrumen dalam pengurangan emisi GRK.

"Dengan adanya instrumen tersebut, maka pelaku usaha dapat mendukung dan berperan aktif pada pengendalian emisi GRK melalui penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon," jelas Dadan.

Dalam Peraturan Menteri tersebut terdapat enam lingkup pengaturan. Pertama, penetapan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE). Kedua, penyusunan Rencana Monitoring Emisi GRK pembangkit tenaga listrik. Ketiga, penetapan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU). Keempat, perdagangan Karbon. Kelima, penyusunan laporan Emisi GRK pembangkit tenaga listrik. Terakhir, evaluasi pelaksanaan Perdagangan Karbon dan pelelangan PTBAE-PU.

"Fase kesatu perdagangan karbon akan dilaksanakan pada tahun 2023, dimana pertama kali akan dilaksanakan pada unit pembangkit PLTU batubara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW. Kami mencatat ada total sekitar 99 unit PLTU batubara," ucap Dadan.

Sementara itu, Direktur Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wahyu Marjaka menyatakan, komitmen Indonesia sangat kuat dalam mendukung usaha pengurangan emisi secara global.

"Wujud komitmen Indonesia inline dengan situasi yang ada. Kita diminta komitmen ekonomi karbon yang transparan, nanti bagaimana Permen ESDM No. 16 ini bisa inline juga dengan peraturan yang sudah ada," ujar Wahyu.

Penetapan NEK pada Pembangkit Listrik

Kemudian, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan M.P Dwinugroho menjelaskan, dalam Peraturan Menteri ESDM tersebut mengatur mengenai Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) Pembangkit Tenaga Listrik.

"Pelaksanaan PTBAE pembangkit tenaga listrik akan dilaksanakan pada 3 fase, yaitu fase I pada tahun 2023 sampai dengan tahun 2024, fase II pada tahun 2025-2027 dan fase III pada tahun 2027-2030. Sedangkan untuk fase setelah tahun 2030 akan dilaksanakan sesuai dengan target pengendalian emisi GRK Sektor Energi," jelas Nugroho.

Lebih lanjut Nugroho merinci PTBAE pada fase I hanya berlaku pada PLTU batubara. Terdiri dari 4 kategori:

  1. PLTU nonmulut tambang dan PLTU mulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 25 MW sampai dengan kurang dari 100 MW dengan nilai PTBAE sebesar 1,297 ton CO2e/MWh.
  2. PLTU mulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 100 MW dengan nilai PTBAE sebesar 1,089 ton CO2e/MWh.
  3. PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 100 MW sampai dengan kurang dari atau sama dengan 400 MW dengan nilai PTBAE sebesar 1,011 ton CO2e /MWh.
  4. PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari 400 MW; dan PLTU mulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 100 MW dengan nilai PTBAE sebesar 0,911 ton CO2e /MWh.

"Sedangkan penetapan PTBAE untuk PLTU di luar wilayah usaha PT PLN (Persero) dan/atau untuk kepentingan sendiri akan ditetapkan paling lambat 31 Desember 2024," ungkap Nugroho.

Lebih lanjut, Koordinator Perlindungan Lingkungan Ketenagalistrikan Bayu Nugroho menjelaskan setiap Pelaku Usaha yang mengikuti Perdagangan Karbon harus menyusun rencana monitoring Emisi GRK pembangkit tenaga listrik tahunan untuk setiap unit pembangkit tenaga listrik.

"Tadi Pak Dirjen sudah announce bahwa semua pelaku usaha wajib melakukan perdagangan karbon dan tentunya harus menyusun rencana monitoring emisi GRK tahunan untuk setiap pembangkitnya," ujar Bayu.

Baca juga artikel terkait PEMBANGKIT LISTRIK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin