Menuju konten utama
3 April 2000

Eri Irianto, Penendang Maut yang Mati di Palagan Sepakbola

Legenda emas.
Kekal kostum bernomor
sembilan belas.

Eri Irianto, Penendang Maut yang Mati di Palagan Sepakbola
Ilustrasi Eri Irianto. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sepakbola adalah pesta, perayaan permainan, dan sorak gembira. Namun sepakbola juga adalah pertarungan: keringat tumpah, darah mengucur, cedera menghantui. Bahkan kematian tak jarang mengintai. Di antara dua situasi itu, Eri Irianto hadir mewarnai dan mendermakan hayatnya yang pendek bagi sepakbola Indonesia.

Dilahirkan di Sidoarjo pada 12 Januari 1974, Eri tumbuh menjadi seorang pesepakbola yang disegani. Di usianya yang baru menginjak 20, Eri mulai memperkuat Petrokimia Putra, klub Galatama asal Gresik yang tampil mengesankan pada gelaran Liga Indonesia edisi pertama.

Bersama Jacksen F. Tiago, Widodo C. Putro, Carlos De Mello, dan lain-lain, Eri berhasil membawa Petrokimia Putra finis di urutan pertama klasemen akhir wilayah Timur. Di babak 8 besar, mula-mula Petrokimia Putra ditahan Persib Bandung 0-0, dan diimbangi Assyabaab Salim Group Surabaya 2-2. Pada pertandingan terakhir fase grup, mereka dengan meyakinkan menghajar Medan Jaya 3-0.

Di semifinal, Petrokimia Putra mengalahkan Pupuk Kaltim 1-0. Eri dan para pemain Petrokimia Putra lainnya hanya kurang beruntung ketika mereka dikandaskan Persib Bandung di final dengan skor 0-1.

Setelah kekalahan menyakitkan dari Maung Bandung, Eri memperkuat Timnas Indonesia di laga SEA Games ke-18 di Chiang Mai, Thailand. 6 Desember 1995, salah satu pertandingan penyisihan mempertemukan Indonesia melawan Kamboja. Bermain sebagai penjaga lapangan tengah, Eri tampil liat bak badak mengobrak-abrik pertahanan Kamboja. Indonesia membantai Kamboja 10-0, empat gol dicetak Eri yang meyakinkan sepanjang laga.

Kemampuannya menjelajahi lini tengah membuat Kamboja tak berkutik. Aliran bola dari tim lawan tak mampu menembus lini belakang Indonesia saat itu. Kreasi serangan Indonesia kerap dibangun Eri dengan visi bermain yang brilian.

Pada kualifikasi Piala Asia 1996, Eri kembali memperkuat Timnas Indonesia saat menghancurkan India dengan skor 7-1, dan menahan Malaysia 0-0. Ia yang bermain bergantian dengan Chairil Anwar Ohorella, membuat gawang yang dijaga Kurnia Sandy hanya kebobolan sekali dalam kualifikasi tersebut.

Warsa 1996, berkat penampilannya yang gemilang, klub negeri jiran, Kuala Lumpur FC merekrutnya. Tak lama di Malaysia, Eri kembali ke tanah air dan memperkuat Persebaya. Musim kompetisi 1998/1999, Eri berhasil membawa Bajul Ijo sampai partai final. Sayang, waktu itu Persebaya dikalahkan oleh PSIS Semarang yang diperkuat Tugiyo alias “Maradona dari Purwodadi” dengan skor 0-1.

Bagi Eri, kekalahan tersebut seolah ulangan pada tahun 1995 saat dirinya memperkuat Petrokimia Putra, dan dikalahkan Persib Bandung di partai puncak dengan skor yang sama, 0-1. Empat tahun dua laga final, dua pertarungan yang membawa duka.

Maut Menjemput di Lapangan

Sore, 3 April 2000, Eri terlihat sehat. Ia bersiap tampil memperkuat Persebaya Surabaya melawan PSIM Yogayakarta di Gelora 10 November. Pertandingan pun dimulai. Satu menit sebelum turun minum, ia mulai limbung, kepalanya sakit.

Eri berlari ke pinggir lapangan dan minta diganti. Nova Arianto masuk menggantikan posisinya. Di bangku cadangan, Eri terus memegangi kepalanya.

“Kepalanya sempat kami kompres dan dia merasa lebih baik,” ujar dokter tim Persebaya, dr Herry Siswanto, seperti dilansir jawapos.

Namun kondisi Eri kembali memburuk saat ia diberi minum. Napasnya terasa sesak dan rasa sakit kembali menyerang kepala. Melihat kondisi demikian, dr Herry Siswanto memutuskan membawanya ke rumah sakit.

“Saat itu Eri masih kuat berlari menuju ambulans yang akan membawanya ke rumah sakit. Ditemani sang istri yang baru dinikahinya selama dua minggu, Riska Putri Nilamsari, yang nonton dia bertanding, Eri dibawa ke IRD RSUD Dr Soetomo,” tulis jawapos.

Infogreafik Mozaik eri irianto

Di rumah sakit, Eri menjalani rontgen, CT scan, dan pemeriksaan lainnya. Dokter yang menanganinya menyatakan kondisi Eri normal. Meski suhu tubuhnya normal, tapi Eri merasakan tubuhnya kepanasan. Kondisi seperti itu membuat dokter rumah sakit memutuskan membawa Eri ke ruangan observasi intensif (ROI).

Di ruangan tersebut, Eri diperiksa lagi untuk melihat kondisi otaknya yang barangkali mengalami gangguan akibat benturan keras dengan pemain PSIM Yogyakarta, Samson Noujine Kinga. Setelah bertahan hampir empat jam di ruangan tersebut, Eri akhirnya tak bisa ditolong. Pada 3 April 2000, tepat hari ini 18 tahun lalu, pemilik tendangan geledek itu mengembuskan napas terakhirnya.

Nomor 19 Dipensiunkan

Eri pergi meninggalkan Riska Putri Nilamsari, belahan jiwa yang baru menjadi istrinya selama dua minggu. Selimut duka menyelimuti publik Gresik, Kuala Lumpur, dan Surabaya, klub-klub yang pernah ia bela. Publik sepakbola Indonesia kembali kehilangan salah satu pemain terbaiknya.

Untuk mengenang jasanya, nomor punggung 19 milik Eri dipensiunkan oleh Persebaya. Namanya juga disematkan pada Wisma Persebaya menjadi Wisma Eri Irianto yang beralamat di Jalan Karanggayam 1, Surabaya.

Setahun sebelum Eri meninggal, Bejo Sugiantoro, salah satu legenda Persebaya menamai anaknya Rachmat Irianto yang biasa dipanggil Rian. Nama belakang anaknya diambil dari nama ibu mertua dan bapak mertuanya.

Bejo menambahkan bahwa “Irianto” juga bisa diartikan sebagai kedekatan dirinya dengan Eri irianto yang memang bersahabat.

“Eri meninggal pada 2000 dan anak saya lahir 1999. Setahun itu Eri juga dekat dengan Rian, kalau ke rumah itu dia suka gendong-gendong Rian,” ujar Bejo Sugiantoro.

Baca juga artikel terkait TIMNAS INDONESIA atau tulisan lainnya dari Bulky Rangga Permana

tirto.id - Olahraga
Reporter: Bulky Rangga Permana
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Ivan Aulia Ahsan