Menuju konten utama

Eraser Challenge dan Mengapa Anak Suka Permainan Berbahaya

Permainan berbahaya sering memicu rasa penasaran anak-anak untuk mencoba. Padahal, beberapa permainan yang viral bisa membahayakan nyawa anak-anak.

Eraser Challenge dan Mengapa Anak Suka Permainan Berbahaya
Seorang anak sedang memperagakan eraser challenge dalam video durasi 4 menit 28 detik di youtube. Foto/youtube/Brooklyn C

tirto.id - Skip Challenge/Choking Game sudah reda, kini terbitlah Eraser Challenge. Setelah orang tua di berbagai negara khawatir dengan permainan mencekik diri sendiri sampai tak sadarkan diri, kini kewaspadaan mereka beralih pada sebatang alat tulis yang biasa anak-anak bawa ke sekolah: pensil berujung penghapus.

Menurut sejumlah video yang diunggah di Youtube, anak-anak pemain Eraser Challenge terlihat melukai lengan mereka sendiri dengan penghapus di ujung pensil. Caranya dengan digosok-gosokkan secara cepat dan dalam waktu lama sehingga otomatis membuat permukaan kulit lecet. Persis luka akibat terbakar.

Tantangan ini dilaksanakan untuk mengukur seberapa tahan seseorang dengan luka tersebut. Mereka yang mencobanya merasa memiliki kebanggaan tersendiri saat mereka mengunggah foto/video luka tersebut di media sosial. Level kebanggaannya akan makin tinggi jika luka yang dihasilkan makin parah. Dalam versi yang lain, sejumlah pelaku menyebutkan kalimat tertentu atau mengurutkan abjad selama melukai lengan. Hal ini dianggap sebagai standar minimal untuk waktu pelaksanaan Eraser Challenge.

Serupa dengan Skip Challenge/Choking Game, awal mula Eraser Challenge ini bisa ditelusuri hingga Amerika Serikat. Tak butuh waktu lama bagi tantangan ini untuk menyebar di kalangan anak-anak dan remaja di negara lain, termasuk Indonesia, sebab “teori” permainannya bisa dilihat di media sosial atau kanal Youtube.

Sebuah sekolah menengah bernama East Iredell Middle School di Statesville, North Carolina, Amerika Serikat, pada 3 Maret 2017 sempat mengunggah foto luka-luka akibat Eraser Challenge yang dilakukan oleh siswanya. Pihak sekolah mendesak orang tua siswa makin waspada. Luka bakar serius yang dihasilkan Eraser Challenge dinilai oleh mereka bukan perkara main-main. “'Tantangan' ini makin tak terkendali,” tulis mereka.

Angel Mattke, ahli kesehatan kulit di Mayo Clinic, New York, berkata pada USA Today jika rusaknya permukaan kulit meningkatkan potensi infeksi. Luka bakar, entah berasal dari sumber panas tertentu atau reaksi kimiawi, akan menghasilkan kerusakan pelindung alamiah kulit. “Padahal pelindung alamiah kulit ini menjaga hal-hal buruk masuk ke tubuh, semisal bakteri jahat (yang normalnya hanya hidup di permukaan kulit),” imbuhnya.

Luka bakar yang parah terkadang memerlukan antibiotik untuk pengobatannya. Jika tak tertanggulangi dan kondisi semakin parah, nyawa si anak dalam bahaya. Mattke menyatakan telah menerima laporan-laporan berkenaan dengan infeksi kulit di area luka bakar akibat Eraser Challenge. Persoalan ini, tegas Mattke, makin serius dan cenderung sistemik.

Infografik Viral dan Berbahaya

Permainan-permainan berbahaya yang mengancam nyawa itu kini justru bisa dengan mudah viral di internet. Mereka dengan mudah mempelajarinya dari video-video yang beredar di dunia maya.

Anak-anak Indonesia yang beberapa waktu lalu mempraktikkan Skip Challenge mempelajari tekniknya dari video-video di Youtube yang diunggah oleh anak-anak dari Amerika Serikat hingga Inggris Raya. Jika tak diberi pengertian yang memadai atau diawasi dengan baik, hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum Eraser Challenge juga populer di kalangan anak-anak Indonesia.

Pada kasus populernya permainan Skip Challenge beberapa waktu yang lalu, sejumlah petinggi negara sempat mengeluarkan pernyataan tegas yang bisa dijadikan pegangan bagi orang tua dalam rangka mengantisipasi munculnya permainan-permainan berbahaya lain.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise mengimbau agar aksi Skip Challange tidak dianggap sebuah permainan, tantangan, dan sensasi yang menyenangkan sehingga mengikuti dan menyebarkannya di media sosial. Ia meminta orangtua, guru serta pihak sekolah mengambil langkah tegas dalam mengawasi aktivitas anaknya.

Sementara itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Muhadjir Effendy langsung menginstruksikan pada semua guru/wali kelas untuk melarang peserta didiknya bermain Skip Challenge. Muhadjir mengulang sisi negatif yang telah disampaikan para ahli kesehatan: Skip Challenge bisa mengancam jiwa si pemain. Ketegasan dalam melarang adalah demi kebaikan para peserta didik sendiri, yang dalam video-video di Youtube justru terlihat amat gembira saat si pemain/temannya pingsan.

Fitrah Manusia: Suka Permainan Berisiko

Permainan yang berisiko seringkali menantang "nyali" anak-anak. Peter Grand Ph.D, psikolog sekaligus pengelola kanal Freedom to Learn di Phsycology Today, menitikberatkan persoalan ini pada rasa takut. Rasa takut dipersepsikan berbeda-beda bagi manusia sesuai tahapan hidupnya/usianya. Saat orang-orang dewasa menganggap rasa takut sebagai rasa yang negatif dan beresiko, anak-anak justru mempersepsikannya sebaliknya. Mereka ketagihan dengan kegembiraan yang dihasilkan dari melakukan hal-hal berisiko.

Grand kemudian mengutip pendapat M. Spike dan kawan-kawan yang dalam Jurnal The Quarterly Review of Biology merilis penelitian bertajuk “Mammalian play: Training for the unexpected”. Isinya mengungkapkan jika mamalia, termasuk manusia, memang pada dasarnya suka permainan beresiko.

Kambing muda meloncat-loncat di medan yang tak rata demi pendaratan yang berbahaya. Monyet muda bergelayut dari satu cabang pohon ke yang lain hingga dalam jarak yang terjauh, hanya untuk menantang diri sendiri sejauh mana kemampuannya bisa berkembang. Simpanse muda bahkan sengaja menjatuhkan diri dan menggapai cabang pohon terendah hanya untuk meningkatkan adrenalin. Bonusnya: melatih diri untuk bertahan hidup di pohon dan saat dewasa harus mencari makan sendiri.

Perilaku ini bisa dijelaskan melalui riset P. LaFreineire dalam American Journal of Play bertajuk “Evolutionary functions of social play: Life histories, sex differences, and emotion regulation”. Ia menggunakan tikus sebagai subjek penelitiannya dan menghasilkan kesimpulan bahwa mamalia melakukan tindakan berisiko untuk mengelola rasa takut sehingga lebih mudah beradaptasi di lingkungan baru saat mamalia tersebut dewasa.

Meski mengandung sisi positif, risiko yang diambil manusia dan mamalia lain juga tak lepas dari dampak negatif jika pengelolaannya buruk. Meski banyak penelitian menunjukkan bahwa kekurangan bermain buruk bagi masa depan anak, orang tua tetap harus menjadi pihak utama yang mengendalikan permainan berisiko seperti apa yang terkategori sehat bagi si anak. Sejauh ini belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa permainan berbahaya seperti Eraser Challange memiliki dampak positif. Selalu negatif.

Anak-anak, kata Peter Grand, memang memiliki kemampuan untuk menimbang risiko baik secara fisik maupun psikis, namun sistem ini juga tak sempurna. Peter memang sangat amat mendukung kebebasan si anak dalam memilih permainannya. Tapi kebebasan ini bukan berarti sepenuhnya “melempar” si anak ke rimba raya tanpa mengetahui apa saja yang akan ditemuinya di sana. Apalagi untuk internet, anak-anak bisa dengan mudah memilih jenis-jenis permainan berisiko yang secara “liar” diunggah orang lain tanpa ada label peringatan “ini bukan untuk anak-anak”.

Bagaikan candu, Psikolog UGM Prof. Drs. Koentjoro, MBSc., Ph. D pernah berkata bahwa dampak psikologis dari melakukan tantangan permainan berbahaya itu tak hanya berbahaya bagi tubuh tapi juga membuat ketagihan.

Menurut dia, salah satu alasan para remaja mengikuti tantangan berbahaya karena ingin mencari tantangan. Tantangan ini dilakukan sebagai cara untuk menguji adrenalin. Selain menantang, kata dia, tantangan berbahaya juga digunakan remaja sebagai salah satu cara untuk menarik perhatian. Dengan mengikuti tantangan ini mereka berharap akan mendapatkan pujian, dianggap berani, hebat, dan populer.

Ia menegaskan bahwa sekolah, tempat permainan berbahaya kerap dimainkan di dalam kelas, harus melihat apakah siswa melakukan "skip challenge" atas kesadaran dan kemauan sendiri atau justru sebagai korban "bullying". Kalau mengarah ke "bullying", menurutnya perlu ada langkah-langkah hukum. Kata Koentjoro, akan lebih berbahaya lagi jika si pemain tak tahu menahu soal bahaya serta risiko beragam tantangan berbahaya itu.

Tak lupa, ia juga meminta para orang tua untuk aktif dalam menanggapi persoalan ini. "Orang tua juga perlu lebih aktif berkomunikasi dengan anak-anaknya. Selain memantau aktivitas anak di lingkungan rumah, orang tua juga memberikan pemahaman kepada anak tentang risiko melakukan aktivitas bahaya,” tegasnya.

Baca juga artikel terkait PERMAINAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti