Menuju konten utama

Epigrafi & Nasionalisme dalam Satu Tarikan Napas Poerbatjaraka

Poerbatjaraka dijuluki Bapak Epigrafi Indonesia oleh para muridnya. Satu aspek lain yang juga mendefinisikan dirinya: nasionalisme.

Header Mozaik Poerbatjaraka. tirto.id/Tino

tirto.id - Di kalangan filolog, ilmuwan epigrafi, dan penekun aksara kuno Indonesia, nama Poerbatjaraka sudah tidak lagi asing. Bisa dibilang pula, dia merupakan perintis di antara ahli-ahli bumiputra. Guru Besar Epigrafi Departemen Arkeologi Universitas Indonesia Boechari—salah satu murid Poerbatjaraka—bahkan mendaulatnya sebagai Bapak Epigrafi Indonesia.

Meskipun buah karya beliau dalam lapangan penelitian prasasti ini tidak dapat dikatakan banyak, tetapi hampir semuanya merupakan sumbangan yang amat penting bagi ilmu epigrafi dan penulisan sejarah kuno,” tulis Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti (2012).

Lebih dari itu, Poerbo—demikian sapaan akrabnya—bukan hanya seorang perintis. Selain bidang epigrafi yang dia tekuni dan mendefinisikan pribadinya, Poerbo juga seorang nasionalis. Salah satu tengara nasionalisme Poerbo yang paling kentara dan punya dampak adalah ketika dia bicara soal Dinasti Śailendra.

Diskursus tentang Dinasti Śailendra sudah mengemuka sejak awal abad ke-20. Para peneliti sejarah kuno saat itu melontarkan beberapa teori berdasarkan keterangan dari Prasasti Kalasan.

Prasasti batu bertarikh 778 Masehi itu merekam dua nama, yaitu Sailendravaṅśatilaka yang secara harafiah berarti “permata wangsa śailendra” dan Rakai Panangkaran. Para peneliti saat itu dibuat terheran-heran karena nama-nama itu juga ditemukan di prasasti-prasasti lain di luar Indonesia. Misalnya, dalam Prasasti Ligor dari Thailand Selatan dan Prasasti Nalanda dari India.

N.J. Krom mengomentari gejala tersebut dalam Hindoe Javaansche geschiedenis (1926). Dia berpandangan bahwa Śailendravaṅśatilaka ialah seorang tokoh penguasa yang berlatar belakang asing. Dia juga diduga berkedudukan lebih tinggi daripada Rakai Panangkaran yang adalah orang Jawa.

Hirananda sastri, seorang sarjana berdarah india, bahkan menyebut Śailendravaṅśatilaka sebagai seorang emigran dari kalingga dalam “The Nalanda Copper-plate of Devapala” yang terbit di jurnal Epigraphia Indica xvii (1923-4). Nenek moyang Śailendravaṅśatilaka yang diasingkan ke Jawa itu dia diduga beretnis Malayalam, mengingat nama Śailendra erat sekali secara kultural dengan tempat tersebut.

Teori “pengasingan” Dinasti Śailendra juga dilontarkan oleh George Coedes. Ahli epigrafi Perancis yang juga menggeluti sumber-sumber tertulis Khmer itu membahasnya dalam “On the Origin of Çailendras of Indonesia” (1934).

Coedes menyakini bahwa Śailendra kemungkinan justru berasal dari Kerajaan Fu-Nan yang berdiri pada awal abad Masehi di Kamboja. Dia juga berargumen bahwa nama-nama berunsur Śailendra masih menjadi arus utama untuk nama raja-raja Khmer sampai pada pengujung masa Pramodern.

Selain para ahli tersebut, masih ada ulasan F.D.K. Bosch berjudul “Çrīvijaya, de Çailendra, en de Sañjayavaṃça” yang terbit di jurnal BKI (1952). Dengan merangkum beberapa kajian terdahulu, Bosch menyebut bahwa Śailendra berasal dari luar Jawa dan bersaing dengan satu dinasti lokal bernama Dinasti Sanjaya.

Setelah konflik panjang tak berkesudahan, kedua dinasti ini akhirnya bersatu melalui perkawinan politik. Dari sinilah kemudian muncul teori dua dinasti di Jawa Kuno. Teori ini bahkan masih diajarkan di buku-buku pelajaran Sejarah untuk siswa SMP dan SMA sampai sekarang.

Poerbatjaraka tentang Dinasti Śailendra

Teori Bosch itulah yang agaknya menjadi pancingan intelektual bagi Poerbo. Pada 1956, Poerbo menerbitkan kajian dengan judul yang sama dan diterbitkan pada jurnal yang sama pula. Itu merupakan sebuah bantahan yang amat keras bagi semua peneliti sebelumnya dan terutama Bosch sendiri.

Dia mengkritik bahwa para peneliti asing terkesan skeptis dengan kapabilitas peradaban masyarakat Jawa Kuno. Seakan masyarakat Jawa dahulu berkembang dalam bayang-bayang indianisasi dan penguasa-penguasa pertamanya di awal zaman sejarah adalah entitas asing.

Maka Poerbo bersikeras bahwa Dinasti Śailendra adalah keluarga kerajaan Jawa totok. Sederet argumentasi dia sodorkan, di antaranya berdasar sumber-sumber historis asli Nusantara.

Misalnya naskah Carita Parahyangan. Menurut Poerbo, naskah dari Tatar Sunda ini menyebutkan suatu kronologi peristiwa yang cukup mirip dengan kisah raja-raja awal dari Wangsa Śailendra yang disebut dalam prasasti.

Salah satu nama dan kronik yang dicatatnya adalah seorang raja bernama Rahyang Sanjaya yang berputra Rahyangta Panaraban. Pada suatu waktu, Rahyang Sanjaya yang sakit-sakitan meminta agar Panaraban berpindah agama. Pasalnya, Sanjaya menganggap bahwa penyakitnya disebabkan oleh agama yang dia peluk.

Menurut Poerbo, cerita ini sesuai dengan peristiwa perpindahan agama Raja Sanjaya. Poerbo sendiri mengidentifikasi bahwa Sanjaya merupakan raja pertama dari Wangsa Śailendra yang memeluk agama Hindu Saiwa. Sementara itu, Panaraban alias Rakai Panangkaran yang beragama Buddha Mahayana diidentifikasi sebagai Śailendravaṅśatilaka.

Dengan teori ini, Poerbo membantah dua teori sekaligus. Intinya, Poerbo hendak mengatakan bahwa Dinasti Śailendra ialah orang Jawa tulen dan hanya ada satu dinasti di Jawa Kuno yang tak lain adalah Śailendra.

Infografik Mozaik Poerbatjaraka

Infografik Mozaik Poerbatjaraka. tirto.id/Tino

Prasasti Batu Tulis

Teori Poerbo itu boleh dikata sebagai upayanya menerapkan pisau pascakolonial dalam studi sejarah kuno. Tengara nasionalisme lain dalam diri Poerba juga muncul dalam bentuk laku tidak membatasi diri hanya meneliti sumber-sumber Jawa.

Pembacaannya atas Carita Parahyangan adalah satu contoh akan hal itu. Contoh lain yang paling dikenang adalah kajiannya soal Prasasti Batu Tulis.

Poerbo mencoba menafsir prasasti tinggalan Kerajaan Sunda tersebut dalam tulisannya “De Batoe-Toelis bij Buitenzorg” (1920). Dalam kajiannya itu, dia memperbarui pembacaan candrasengkala (kronogram) yang selama itu didasarkan pada kajian sarjana Barat.

Pada Prasasti Batu Tulis, terdapat inskripsi yang berbunyi “panca pandawa ngemban bumi”. Dengan kemampuan bahasa Jawa Kuno-nya, Poerbo menyebut bahwa kronogram itu seharusnya mewakili angka tahun 1255 Saka atau 1333 Masehi. Pendapat Poerbo ini kemudian menjadi rujukan baru dan dikutip berkali-kali oleh para ahli sundanologi, seperti Atja dan Saleh Danasasmita.

Analisis Poerbo itu baru terpatahkan oleh kajian mutakhir dari “cucu murid” Poerbo sendiri, yaitu Hasan Djafar. Dalam “Prasasti Batu Tulis Bogor“ yang terbit di jurnal Amerta (2011), Hasan Djafar mengoreksi bahwa candrasengkala yang lebih tepat mestinya 1455 Saka atau 1533 M.

Baca juga artikel terkait DINASTI SAILENDRA atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Fadrik Aziz Firdausi