Menuju konten utama

Epidemiolog Sarankan RI Menuju Pandemi Terkendali, Bukan Endemi

Epidemiolog Dicky Budiman menyebut status endemi berbahaya karena masih ada orang sakit dan meninggal dunia akibat COVID-19.

Epidemiolog Sarankan RI Menuju Pandemi Terkendali, Bukan Endemi
Tenaga Kesehatan menunggu pasien yang akan menjalani tes usap PCR di Laboratorium Genomik Solidaritas Indonesia, Cilandak, Jakarta, Selasa (15/3/2022). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/nym.

tirto.id - Para epidemiolog menyarankan kebijakan pemerintah Indonesia mengarah kepada pandemi COVID-19 terkendali, bukan endemi. Hal itu disampaikan epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman dan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono.

Mereka merespons Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito yang mengumumkan Indonesia mulai bertransisi menuju fase endemi.

“Nah, yang harus diluruskan adalah kita harus mengarah pada yang disebut dengan status terkendali, bukan endemi,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Rabu (11/5/2022) pagi.

Hal senada juga disampaikan Pandu Riono. Ia mengacu pada angka kasus perawatan pasien COVID-19 di rumah sakit (hospitalisasi) dan kasus kematian yang rendah.

“Kita sebaiknya menyatakan pandemi terkendali, dengan kejadian hospitalisasi dan kematian yang rendah secara konsisten,” ujar Pandu kepada reporter Tirto pagi ini.

Kemarin, pemerintah melalui Satgas COVID-19 mengumumkan bahwa Indonesia mulai bertransisi menuju fase endemi COVID-19. Pemerintah mengklaim terjadi penurunan tren kasus perawatan di rumah sakit termasuk layanan intensif dan kematian.

“Sebagaimana yang tertera pada data COVID-19 terkini, nampak adanya penurunan tren angka kasus perawatan di rumah sakit termasuk layanan intensif dan kematian. Bisa dikatakan, bahwa saat ini Indonesia sudah tidak lagi berada dalam kondisi kedaruratan dalam merespons pandemi COVID-19 dan mulai bertransisi menuju fase endemi,” kata Wiku dalam konferensi pers daring, Selasa (10/5/2022) sore.

Menanggapi itu, Dicky menerangkan indikator transisi menuju endemi yakni kasus COVID-19 melandai tetapi tidak harus sampai 0 kasus. Kemudian, angka reproduksi kasus efektif paling tinggi di angka 1 dan setidaknya sudah lebih dari 2 minggu.

Dia menilai apabila indikator-indikator tersebut terus terjaga selama 3 bulan, Indonesia bisa mulai mengarah ke endemi. Status terkendali akan terjadi saat kasus COVID-19 sudah tidak ada di beberapa daerah.

Meski demikian, Dicky menyebut masing-masing negara atau daerah memiliki kondisi yang berbeda-beda. Misalnya nanti ada yang berstatus endemi, epidemi, dan terkendali.

“Endemi tuh buruk dan berbahaya ya. Dan artinya akan ada orang sakit, ada orang meninggal. Nah kalau target nasional itu harus mengarahnya ke terkendali,” sambung dia.

Dicky juga menyarankan agar Indonesia menyiapkan regulasi, prosedur, perilaku, hingga infrastruktur saat transisi menuju endemi COVID-19. Hal itu guna mengurangi potensi adanya penularan virus berbahaya.

Dia mencontohkan perilaku menggunakan masker, menghindari kerumunan, dan mencuci tangan. Karena ini bukan hanya bicara aspek penularan COVID-19 saja, tetapi ada penyakit lainnya seperti hepatitis.

"Tujuannya agar orang Indonesia berpola hidup lebih bersih dan sehat," ujarnya.

Dari sisi infrastruktur, Dicky mengatakan kualitas udara harus lebih baik dengan level karbon dioksida (CO2) di bawah 1.000 part per million (ppm). Kemudian, ventilasi dan sirkulasi di gedung perkantoran hingga sekolah juga harus lebih baik.

“Sehingga yang dilihat tuh bukan hanya indikator-indikator epidemiologi. Tapi juga indikator lingkungan, indikator perilakunya,” sambung dia.

Dicky menuturkan saat World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia mencabut status pandemi COVID-19, Indonesia sudah mengupayakan sebagai besar kabupaten/kota masuk ke fase pandemi terkendali dan bukan endemi. “Jadi, itu yang harus kita tuju,” kata dia.

Baca juga artikel terkait STATUS ENDEMI COVID-19 atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Gilang Ramadhan