Menuju konten utama

EO: Gelap-Terang Dunia dari Mata Seekor Keledai Pengembara

Film Eo menghadirkan keunikan narasi dari sudut pandang seekor keledai pengembara. Memotret sisi gelap-terang dunia dan manusia.

EO: Gelap-Terang Dunia dari Mata Seekor Keledai Pengembara
Film EO. FOTO/IMDB

tirto.id - Keledai mendadak menjadi bintang pada 2022 lalu.

Dengan jalannya masing-masing, sejumlah film kenamaan seperti Triangle of Sadness dan The Banshees of Inisherin menyertakan hewan ini ke dalam penceritaan.

Apa yang mendasarinya? Mengapa mesti keledai?

Kehadiran keledai sebagai bintang—atau pendukung—tentu bukan hal baru. Berbagai diskursus mengenai penggambarannya bisa ditemui dengan mudah di internet. Ia kadang disertai pula dengan analisis ihwal simbolisme dan takhayul seputar mamalia yang masih satu famili dengan kuda ini.

Adapun pernyataan paling menarik datang dari Rita Moloney, pelatih hewan veteran yang bertugas menangani Jenny dalam The Banshees of Inisherin.

"Keledai itu menyenangkan, tapi banyak orang tak tahu apa-apa tentangnya karena sedikit sekali perhatian terhadapnya. Keledai adalah keledai adalah keledai. Selama bertahun-tahun, mereka digunakan hanya sebagai binatang pekerja dan tidak pernah diajari cara belajar. Mereka ada dan menjalani kehidupan di mana mereka hanya melakukan pekerjaannya dan hanya itu."

Mungkin, keledai dinilai hanya sekadar binatang lantaran ia pun jauh dari lampu sorot. Namun, beberapa filmmaker secara serentak tiba-tiba menyadari potensi hewan ini berkat sifat alami itu. Dan di antara semuanya, satu judul yang paling “keledai-sentris” menyeruak: EO.

Dari keledai yang ditemuinya di Sisilia, dari Au Hasard Balthazar (1966) karya Robert Bresson, sutradara kawakan asal Polandia Jerzy Skolimowski memutuskan untuk membuat film yang terpusat pada hewan ini. Bedanya, dalam kisah yang ditulisnya bersama sang istri, Ewa Piaskowska, keledai menjadi karakter protagonis.

Hasilnya adalah film yang mengupas dunia dengan sudut pandang sang hewan pekerja keras.

Kisah Kembara dari Mata Keledai

Eo (diperankan enam keledai sardinia berbeda) terlahir di sebuah sirkus di Polandia. Ia dirawat oleh Kasandra, pasangan tampil sekaligus satu-satunya manusia yang peduli terhadapnya. Seusai tabir pertunjukan diturunkan, Eo juga ditugaskan sebagai keledai pekerja.

Di Wrocław, kota di mana sirkus ditampilkan, unjuk rasa dilangsungkan. Para aktivis menuntut sirkus yang melibatkan hewan dihentikan. Itu berujung pada terbitnya peraturan baru di kota itu. Eo lantas disita dari sirkus dan terpisahkan dari Kasandra.

Jangan harap kisah akan bergulir di sekitar Kasandra yang berupaya mati-matian untuk bertemu kembali dengan sang keledai. Itu memang tetap terjadi, tapi hanya sebagai satu fragmen dalam petualangan Eo.

Alih-alih "tali kasih" yang haru, Skolimowski membawa kita mengikuti kisah pengembaraan si keledai, di mana kisah-kisah manusia hanya menjadi tempelan, sebagai penggalan-penggalan kejadian yang disaksikan Eo.

Eo tak pernah tinggal di satu tempat untuk waktu yang lama. Ia dipakaikan kalung wortel (sekalian sebagai pakan) seraya menyaksikan para kuda pacu diambil fotonya, dimandikan, dan dirawat dengan serius, sementara ia dibiarkan rada terbengkalai. Wajahnya kerap kali diambil secara close-up, menjadi penyaksi.

Meskipun ekspresinya terkesan begitu-begitu saja (sebagaimana lazimnya keledai), score gubahan Paweł Mykietyn menjadi pembeda. Bebunyian dari sang komposer seakan memberi nuansa pada raut wajah datar Eo, juga menghasilkan melankoli atau emosi yang kadang tak terjelaskan.

Film EO

Film EO. FOTO/IMDB

Si keledai stres, berulah, lantas dipindahkan lagi ke semacam penangkaran keledai. Di sana, EO mengambil langkah yang lebih tak biasa lagi, yakni menjadikannya antropomorfik—satu dari sedikit cara manusia memproyeksikan diri mereka terhadap hewan. Eo digambarkan kesepian di kandangnya yang sunyi, tatkala potongan gambar kenangannya bersama Kasandra direntetkan.

Pertemuan kembalinya dengan Kasandra juga bukan konklusi. Selepas dipisahkan dari sirkus, si keledai digambarkan seolah tak lagi memiliki sense of belonging, terlebih tujuan eksistensinya. Eo kabur lagi, ke hutan, ke kota.

Filter merah berulang kali digunakan sepanjang film. Mungkin sekadar preferensi estetika, bisa pula menyiratkan bahaya dan darah. Ini lantaran ke manapun pergi, Eo hampir selalu berjumpa dengan kebengisan. Di hutan, mata bulat hitamnya melihat serigala yang sekarat ditembak manusia. Tatkala ke luar hutan, ia dipekerjakan manusia yang mengurung rubah dalam kandang tak layak dan menyetrum hewan-hewan malang itu.

Dalam salah satu pelariannya yang lain lagi, Eo tiba di pinggir lapangan bola dan tiba-tiba dianggap jadi pembawa sial. Dalam olahraga yang kompetitif, kesialan yang satu tentunya keberuntungan bagi lawan. Bila kita kembali memproyeksikan perspektif sebagai manusia, maka puncak kebahagiaan Eo barangkali kala dinobatkan menjadi maskot Zryw, tim sepak bola yang memenangi pertandingan itu.

Eo diajak berpesta di sebuah klub malam kecil, meskipun akhirnya ia merasa pesta bukanlah untuknya. Eo memilih merumput di sekitar, di mana ia justru menjadi sasaran amuk para suporter tim yang kalah.

Itu merupakan adegan paling mengenaskan sepanjang film, yang untungnya tak menghadirkan Eo ke dalam frame. Malahan yang ditampilkan adalah robot anjing pelacak, berguling-guling tak karuan macam kecoa. Gambar-gambar yang mengesankan distopia, di mana ketika manusia terus menghabisi hewan, bukan tak mungkin kita harus memelihara hewan peliharaan mekanis dengan segala kecanggungannya yang tak alami.

Eo lantas pulih dan terus berjalan tak tentu arah. Dari berbagai percakapan manusia yang terdengar, Eo barangkali telah melintasi batas-batas geografis, setidaknya dari Polandia menuju Perancis dan Italia.

Dan mata besar hitam itu terus berfungsi sebagai kamera penyorot kondisi manusia. Sering kali semena-mena terhadap sesama (apalagi hewan), sesekali baik, sering kali oportunistis.

Eo menyaksikan kehidupan malam via sopir truk, siratan hubungan terlarang antarmanusia (yang diperkuat cameo Isabelle Huppert), serta masuknya perkara agama, dan pada akhirnya ia tetap terlupakan.

Ia kembali merumput di hamparan rerumputan dan terus berpindah. Ke peternakan hewan lain lagi, kali ini sapi, dan diakhiri dengan bunyi setruman lagi.

INfografik Misbar EO

INfografik Misbar EO. tirto.id/Mojo

Sekadar Memotret tapi Menyegarkan

Dari sentimen yang dipaparkan maupun disiratkannya, EO bukanlah Bolt. Bukan pula Okja. Kau bahkan bisa menganggapnya film road trip dengan tokoh utama seekor hewan belaka. Namun, ia mengusung pendekatan naratif yang kurang-lebih serupa: hewan sebagai saksi atau korban keganasan manusia sambil menyoal kerasnya alam dan survival.

Ia unik dan segar, tapi juga tak muluk-muluk. Sesekali, EO menguarkan nuansa transendental. Adegan robot anjing, misalnya, bisa diterjemahkan dengan mudah sebagai kiasan, peringatan, sekaligus spekulasi.

EO memang rada menantang untuk diikuti. Naratifnya yang non-linear bisa dengan cepat membuat sebagian penonton bosan, kalau bukan bingung. Elemen plot yang dibuat konsisten barangkali hanya soal ide berpindah dan karakter Eo sendiri, yang mampu membuat penonton berempati dan menanti-nanti ke mana ia akan singgah.

Ngototnya Skolimowski menghantarkan gaya penceritaan yang berbeda pun dapat ditangkap dengan negatif. Dengan kata lain, kehadiran naratif dengan poin-poin plot yang lazim bisa saja membuat EO menjadi lebih baik lagi.

Kengototan yang sama memungkinkan Skolimowski menjejalkan ragam kondisi manusia yang tak saling berhubungan, membebaskan diri dari kungkungan naratif standar yang ajeg—yang menjadikan EO adalah EO adalah EO.

Sudut pandangnya memungkinkan jalinan cerita minim dialog (Eo bahkan hanya sesekali bersuara), tapi juga tetap mudah diikuti kendati bila kau bahkan tak menyalakan subtitle. Untuk itu, saya menganggapnya sebagai penyegaran. Bahwa ada bentuk penceritaan eksploratif juga usaha pengambilan gambar-gambar pengembaraan seekor hewan yang mungkin sulit tapi sukses eksekusi, yang patut diapresiasi.

2022 sudah semarak dengan film-film bernas, dengan atau tanpa keledai. Lalu, Eo si keledai hadir membawa semarak baru. EO menerobos dengan wujudnya yang unik dan khas yang boleh jadi bakal diingat untuk waktu yang panjang.

Baca juga artikel terkait KELEDAI atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi