Menuju konten utama

Eni Disebut Pelaku Utama di Suap PLTU, ICW: Jangan Bonsai Kasus Ini

ICW meminta KPK tidak membatasi pengusutan pelaku utama dalam kasus suap proyek PLTU Riau-1 dan penerimaan gratifikasi pada Eni Maulani Saragih saja. 

Eni Disebut Pelaku Utama di Suap PLTU, ICW: Jangan Bonsai Kasus Ini
Terdakwa kasus suap proyek PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (22/1/2019). ANTARA FOTO/Dede Rizky Permana/aww.

tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak membatasi pengusutan kasus suap proyek PLTU Riau-1 pada sejumlah tersangka saja.

Peneliti ICW Donal Fariz menyatakan hal itu menanggapi Jaksa KPK yang menyimpulkan bahwa Eni Maulani Saragih merupakan pelaku utama dalam kasus suap tersebut.

"KPK jangan sampai membonsai kasus ini hanya pada Eni saja," kata Donal saat dihubungi reporter Tirto pada Rabu (6/2/2019).

Donal menilai, berdasar fakta persidangan kasus suap PLTU Riau-1, terdapat indikasi bahwa Eni digerakkan oleh pihak lain. Misalnya, kata dia, Eni pernah mengaku diperintahkan oleh mantan Ketua Umum Golkar Setya Novanto untuk membantu Johannes Kotjo mendapatkan proyek PLTU Riau-1. Pengakuan Eni itu juga tidak dibantah oleh Novanto dan Kotjo di persidangan.

Selain itu, menurut Donal, Eni sudah mengaku diperintahkan oleh Ketua Fraksi Golkar Melchias Markus Mekeng untuk membantu PT Asmin Koalindo Tuhup berurusan dengan Kementerian ESDM. Atas bantuan ini, Eni mendapatkan gratifikasi Rp5 miliar.

"Jadi KPK keliru besar kalau menilai Eni pelaku utama sehingga seolah kasus ini akan stop ketika Eni divonis," kata Donal.

Pada persidangan hari ini, Jaksa KPK menolak permohonan justice collaborator (JC) yang diajukan Eni Saragih.

Jaksa menilai, terdakwa penerima suap proyek PLTU Riau-1 dan gratifikasi dari sejumlah direktur perusahaan di bidang migas itu merupakan pelaku utama dalam perkara ini sehingga tidak layak mendapatkan status JC.

"Terdakwa selaku anggota komisi 7 DPR RI periode 2014-2019 merupakam pelaku utama dalam perkara ini," kata Jaksa Lie Setiawan di sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, hari ini.

Sebagai catatan, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.4/2011 syarat untuk menjadi justice collaborator adalah mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama, bersedia membantu membongkar kasus, serta bersedia mengembalikan aset-aset hasil dari korupsi yang dilakukannya.

Kendati demikian, Jaksa menilai Eni telah bersikap kooperatif selama penanganan perkara ini. Selain itu, Eni telah menyerahkan sejumlah uang haram yang ia terima ke KPK. Hal ini kemudian dijadikan pertimbangan meringankan oleh jaksa.

Jaksa pun menuntut Eni Saragih dengan hukuman 8 tahun penjara. Jaksa menilai politikus Golkar itu telah bersalah menerima suap terkait proyek PLTU Riau-1 dan gratifikasi.

Selain itu, Jaksa juga menuntut Eni membayar denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan, dan membayar uang pengganti Rp10,35 miliar serta 40 ribu dolar Singapura. Uang itu akumulasi dari jumlah suap dan gratifikasi yang Eni terima.

"Diperhitungkan dengan uang yang telah disetorkan oleh terdakwa ke rekening penampungan KPK dan telah disita dalam perkara ini," kata Jaksa.

Sebagai catatan, Sejauh ini politikus Golkar itu telah menyerahkan Rp 4,05 miliar dan 10 ribu dollar Singapura ke KPK.

Jaksa menyatakan Eni Saragih telah bersalah karena menerima suap senilai Rp4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Johannes B. Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.

Selain itu Eni juga dinilai terbukti menerima gratifikasi duit senilai Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura dari sejumlah direktur perusahaan di bidang minyak dan gas.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP PLTU RIAU 1 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Addi M Idhom