Menuju konten utama

Engku Nawawi, Mahaguru di Tanah Minang

Tan Malaka adalah salah satu muridnya di tahun-tahun terakhir Nawawi menjadi guru di Kweekschool Bukittinggi.

Engku Nawawi, Mahaguru di Tanah Minang
Engku Nawawi Soetan Makmoer. FOTO/Istimewa

tirto.id - Setelah lulus dari Sekolah Melayu, Nawawi disuruh ke Fort de Kock alias Bukittinggi. Ada permintaan dari pembesar sekolah “supaya anak-anak yang suka masuk Sekolah Raja datang ke Bukittinggi akan diuji oleh Engku Sutan Raja Emas.”

Pada 1873 itu, Nawawi diuji bersama 14 orang. Ia kemudian diterima sebagai murid Sekolah Raja saat umurnya 14 tahun. Ia belajar dengan banyak guru di sana, salah satunya adalah Herth van Wijk yang menjabat sebagai guru kepala. Sebelum Nawawi lulus, Wijk dipindahkan ke Betawi dan posisinya sebagai guru kepala digantikan oleh J.L. van der Toorn.

Di sekolah itu, Nawawi dikenal sebagai murid yang lurus dan pendamai yang pandai. Dia juga dituakan di angkatannya. Pada 1877, di usia 18 tahun, Nawawi dinyatakan lulus dari Sekolah Raja. Dia sudah boleh menjadi guru dan gelarnya adalah Engku. Begitulah mulanya bagaimana Nawawi jadi guru, seperti tersurat dalam Kesepakatan Para Ambtenaar Bukittinggi Untuk Mengenang Jasa-jasa Paduka Engku Nawawi Sutan Makmur Guru Terkenal di Sekolah Raja Bukittinggi (1929), terbitan panitia yang dipimpin Engku Sutan Baheramsyah.

Baca juga:

Kehidupan Engku Nawawi pun berlanjut di Agam, di mana dia jadi guru untuk pertama kalinya di sebuah Sekolah Melayu—setara Sekolah Dasar dengan bahasa pengantar Melayu. Gajinya 20 gulden per bulan. Menjadi guru, dia tak berhenti belajar. Dia belajar bahasa Belanda dibantu guru-guru Belanda di almamaternya.

Menurut catatan surat kabar Java Bode (20/11/1928), sebelum 1882, Nawawi hendak dikirim ke negeri Belanda seperti Raden Kamil dari Jawa dan Willem Iskandar dari Tapanuli. Namun, hal itu urung terjadi.

Pada 1882, menurut catatan panitia yang dipimpin Baheramsyah, Nawawi berada di Betawi. Di sana dia lulus ujian Hulpacte dan beroleh ijazah. Jadilah dia “orang Minangkabau yang mula-mula sekali beroleh surat ijaazah yang demikian itu.”

Pertengahan tahun berikutnya, 1883, dia tidak lagi jadi guru di Sekolah Melayu di Agam. Nawawi sudah diangkat jadi Guru Bantu di Sekolah Raja, almamaternya. Gajinya bukan lagi 20 gulden, tapi berlipat menjadi 150 gulden.

Bahasa Melayu dipergunakan dalam pengajaran di sekolah itu. Bahasa Belanda juga diajarkan di sana. Setahun setelah Nawawi mengajar di Sekolah Raja, pada 1884 datanglah Inspektur pendidikan bernama Verkerk Pistorius. Sang inspektur hendak meniadakan bahasa Belanda dari Kurikulum karena dianggap tak ada faedahnya.

Namun, Nawawi tak setuju bahasa Belanda dihapus. Nawawi merasa “amat perlu Bahasa Belanda bagi kemajuan orang yang bakal menjadi guru.” Sayang, usaha Nawawi meyakinkan sang inspektur tak berbuah hasil.

Selama 20 tahun, sejak 1884 hingga 1904, murid Sekolah Raja tak belajar bahasa Belanda. Ketika sekolah dasar berbahasa Belanda yang menjadi Hollandsche Inlandsche School (HIS) mulai diadakan, Nawawi menerjemahkan Gedenboek Kweekschool Fort de Kock pada perayaan 35 tahun Kweekschool Bukittinggi di tahun 1908.

Di masa Engku Nawawi hidup, perempuan kurang mendapat akses dalam pendidikan. Salah satu hal hebat yang dia lakukan terkait dunia perempuan adalah membiarkan anak perempuannya sekolah. Sembilan tahun sebelum Engku Nawawi pensiun sebagai guru, putrinya bersekolah di situ. Syarifah, putri Engku Nawawi, yang masuk tahun 1907, adalah murid perempuan pertama. Seorang teman sekolahnya, Sutan Ibrahim, jatuh hati kepada Syarifah.

Baca juga: Kosmopolitanisme Tan Malaka

Menurut Java Bode, Nawawi, “terus-menerus di Kweekschool Fort de Kock, selamanya menjadi tangan kanan dari beberapa direktur, yang setiap beberapa tahun ganti berganti.” Ketika pemerintah kolonial mengirimkan anak-anak Aceh untuk belajar di Bukittinggi, anak-anak itu “menumpang di rumah Engku ini.”

Dia juga dianggap membantu van Toorn menyusun kamus Minangkabau. Menurut Untung Yuwono dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), Nawawi pada 1901—bersama Moehammad Taib Sutan Ibrahim—ikut membantu Ch.A. van Ophuijsen dalam menyusun ejaan bahasa yang belakangan menjadi Ejaan van Ophuijsen. Tak heran jika Engku Nawawi mendapat bintang dari kerajaan Belanda, Oranje Nassau.

Java Bode juga memujinya. “Hikayatnya penuh mengandung arti, bagi kemajuan Sumatra.” Tak hanya Java Bode yang mengenangnya, tapi juga Pandji Poestaka (23/11/1928). Menurut Pandji Poestakan, Nawawi adalah sosok yang “Manis mulut, rendah hati dan sifat-sifat baik yang lain menyebabkan orang hormat dan memuji beliau dalam pergaulan.”

Baca juga: Ejaan Resmi, Apa Pun Namanya, Bukan Batas Suci

Infografik Engku nawawi sutan makmur

Nawawi meninggal dunia di usia senja pada 1928. Kematian itu, bagi para guru di Bukittinggi, adalah sebuah kehilangan besar. Ia wafat beberapa tahun setelah Syarifah ditalak suaminya, Bupati Bandung Wiranatakusumah V, lewat sebuah telegram. Juga beberapa tahun setelah salah satu murid terbaik Sekolah Raja, Sutan Ibrahim alias Tan Malaka, diusir dari Indonesia dan menjadi kejaran intel-intel kolonial.

Engku Nawawi Sutan Makmur, yang semasa hidupnya hobi pacuan kuda, hingga kini terkenang di satu sisi tembok SMA Negeri 2 Bukittinggi, di gedung yang dulunya adalah Kweekschool.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani