Menuju konten utama
Periksa Data

Enam Bulan COVID-19 RI: Sektor Kesehatan & Ekonomi Masih Buruk

Selama pandemi, pemerintah Indonesia berusaha untuk berkonsentrasi pada dua sektor: Kesehatan & Ekonomi. Bagaimana perkembangan kedua sektor tersebut kini?

Enam Bulan COVID-19 RI: Sektor Kesehatan & Ekonomi Masih Buruk
Header Periksa Data 6 Bulan COVID-19 RI. tirto.id/Quita

tirto.id - Genap setengah tahun Indonesia berhadapan dengan virus corona baru penyebab COVID-19 sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret lalu. Saat ini, virus yang pertama kali muncul di Wuhan, China tersebut telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia.

Dalam rapat terbatas penanganan COVID-19 di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat pada Selasa (1/9/2020), Presiden Joko Widodo menyebut penanganan COVID-19 di Indonesia masih terkendali. Jokowi menyebut hal tersebut dapat terlihat dari tingkat kasus aktif dan tingkat kesembuhan yang lebih baik dibandingkan rata-rata global.

"Di negara kita walaupun ada peningkatan kasus positif di beberapa daerah, tetapi kalau dibandingkan negara-negara lain, posisi Indonesia masih relatif terkendali," ujar Jokowi dalam rapat antara Presiden dengan para gubernur yang ditayangkan di kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Sebelumnya, dalam rangka penanganan COVID-19 di Indonesia, Presiden Jokowi telah membentuk Komite Pengendalian COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) yang mengoordinasikan kerja dua satgas, Percepatan Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.

Menko Perekonomian Airlangga Hartanto ditunjuk sebagai ketua komite. Seperti dikutip Kompas, Airlangga menyebut dibentuknya komite tersebut agar penanganan COVID-19 dari sisi kesehatan dan ekonomi dapat berjalan beriringan.

Sebagai catatan, hingga 2 September 2020 kasus positif COVID-19 di Indonesia mencapai 180.646 kasus dengan 129.971 orang sembuh dan 7.616 orang meninggal. Artinya, terdapat 43.059 kasus aktif hingga saat ini. Pertanyaannya, bagaimana perkembangan COVID-19 di Indonesia dari sisi kesehatan dan ekonomi? apa langkah penanganan dari pemerintah?

Hingga 2 September, jumlah kasus baru harian Indonesia cenderung meningkat dengan pergerakan kurva yang fluktuatif. Pada tiga bulan pertama, jumlah kasus baru harian tertinggi mencapai 973 kasus pada 21 Mei 2020. Jumlah kematian harian berkisar di bawah angka 100.

Dalam tiga bulan terakhir, jumlah kasus baru harian 'menggila' hingga mencapai tiga ribu kasus baru dalam sehari. Catatan kasus tersebut terjadi dalam satu minggu terakhir dengan jumlah kasus 3.003 (28/8), 3.308 (29/8), dan 3.075 pada 2 September 2020.

Catatan kasus baru pada 2 September saja, misalnya, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kasus baru harian terbanyak keempat di dunia di bawah India, Meksiko, dan Rusia. Indonesia juga menjadi negara dengan kasus aktif terbanyak kedua di ASEAN setelah Filipina.

Indonesia juga masih ketinggalan dalam hal kemampuan tes PCR. Hingga 1 September 2020, Indonesia telah melakukan uji PCR terhadap 1.312.477 orang dan 2.270.267 spesimen. Jika membandingkan rasio uji spesimen PCR, Indonesia dibawah negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.

Menurut perhitungan Worldometers, Singapura menjadi negara dengan rasio tes tertinggi di ASEAN dengan 353.058 tes per 1 juta penduduk. Brunei menyusul Singapura dengan 119.089 tes per 1 juta penduduk.

Sementara itu Indonesia berada di urutan keenam dari sembilan negara. Indonesia mencatatkan rasio 8.399 per 1 juta penduduk. Angka tersebut hanya lebih tinggi dibanding Kamboja, Laos, dan Myanmar.

Ancaman Resesi dan Daya Beli

Sektor perekonomian Indonesia juga turut terdampak akibat COVID-19. Kebijakan yang lebih ketat di masa pandemi seperti pembatasan aktivitas masyarakat di area publik, pembatasan bepergian, hingga kebijakan bekerja dari rumah membuat aktivitas perekonomian terganggu.

Perekonomian Indonesia pada kuartal pertama tahun ini tumbuh sebesar 2,97 persen (year on year). Angka tersebut disusul pertumbuhan minus pada kuartal kedua. Pada kuartal kedua, ekonomi Indonesia minus 5,32 persen (y-o-y).

Catatan minus ini lebih buruk dibandingkan prediksi Kementerian Keuangan di angka minus 5,1 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat realisasi kuartal kedua ini merupakan yang terburuk sejak 1999.

Menkeu Sri Mulyani memprediksi catatan minus ini akan berlanjut pada kuartal ketiga. Jika hal tersebut terjadi, maka Indonesia kemungkinan besar secara teknis mengalami resesi. Sri Mulyani juga menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 diproyeksi berkisar minus 1,1 hingga tumbuh positif 0,2.

"Kemenkeu memproyeksi pada 2020 pertumbuhan -1,1 persen sampai tumbuh positif 0,2 persen, lower end menunjukkan kuartal III mungkin negative growth," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (2/9/2020), dilansir Kompas.com.

Ancaman resesi tersebut juga dialami negara tetangga. Singapura sudah lebih dahulu mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi kuartal kedua dengan minus 12,6 persen. Pada kuartal sebelumnya ekonomi Singapura juga minus 0,3 persen. Secara teknis, Singapura telah memasuki resesi.

Pandemi COVID-19 juga turut membuat daya beli masyarakat menurun. Untuk melihat penurunan daya beli masyarakat, deflasi dapat dilihat sebagai salah satu indikator. Deflasi menunjukkan menurunnya permintaan domestik, artinya daya beli masyarakat turut terdampak.

BPS mencatat Indonesia mengalami deflasi dua kali berturut-turut tahun ini pada Juli-Agustus. Sejak awal tahun hingga Agustus, pergerakan inflasi umum di 90 kota cenderung fluktuatif dengan tren menurun.

Kepala BPS Suhariyanto menyebut deflasi kali ini disebabkan penurunan harga yang menunjukan daya beli masyarakat yang belum pulih di tengah pandemi. Tren deflasi ini diprediksi akan berlangsung hingga akhir tahun

Dalam rilisnya, BPS mencatat kelompok pengeluaran dengan deflasi tertinggi pada Agustus 2020 yaitu kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar -0,86 persen. Kelompok transportasi turut mengalami deflasi sebesar -0,14 persen.

"Perkembangan inflasi berbagai negara memang menunjukkan perlambatan, bahkan mengarah deflasi karena pandemi COVID-19 menghantam dari sisi demand maupun supply," ujar Suhariyanto, Selasa (1/9/2020) dilansir Tempo.

Anggaran Penanganan

Di tengah pandemi yang masih belum usai dan penurunan ekonomi, pemerintah pusat mengalokasikan anggaran khusus untuk penanganan COVID-19 di dalam negeri. Anggaran tersebut mulanya dialokasikan sebesar Rp677,2 triliun melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang perubahan postur dan rincian APBN, namun kemudian direvisi dengan terbitnya Perpres Nomor 72 Tahun 2002.

Dalam perpres terbaru tersebut, anggaran dinaikkan menjadi Rp695,2 triliun. Anggaran tersebut dibagi untuk enam pos, yaitu: kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, insentif dunia usaha, pembiayaan korporasi, dan dana untuk K/L dan pemerintah daerah.

Hingga 26 Agustus 2020, tercatat realisasi penyerapan anggaran tersebut mencapai Rp182,55 triliun, atau 26,2 persen. Realisasi tersebut menurut Kemenko Perekonomian didorong realisasi pada Juli-Agustus yang meningkat seiring dengan berbagai upaya percepatan mendorong realisasi program dan anggaran.

Pemerintah juga melakukan beberapa langkah lain seperti menanggung pembayaran Pajak Penghasilan pasal 21 (PPh 21), meningkatkan jumlah penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH), serta Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Hanif Gusman

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Hanif Gusman
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara