Menuju konten utama
Obituari

Elizabeth II dan Beban Kolonialisme Inggris yang Tak Pernah Tuntas

Elizabeth II telah lama diianggap punya beban moral terhadap kolonialisme masa lalu. Kesempatan melunasinya sudah tutup karena dia telah meninggal.

Elizabeth II dan Beban Kolonialisme Inggris yang Tak Pernah Tuntas
People gather outside Buckingham Palace in London, Thursday, Sept. 8, 2022. Buckingham Palace says Queen Elizabeth II has been placed under medical supervision because doctors are "concerned for Her Majesty's health." Members of the royal family traveled to Scotland to be with the 96-year-old monarch. (AP Photo/Frank Augstein)

tirto.id - 31 Januari 1952. Bandara London, Inggris.

Elizabeth II hendak berangkat ke Kenya untuk menjauh dari tugas dan kehidupan sebagai anggota kerajaan. Ia diantar ayahnya, Raja George VI. Itulah momen terakhir Elizabeth II melihat George VI dalam keadaan hidup.

Kondisi kesehatan George VI saat itu kian memburuk sejak beberapa tahun terakhir, baik mental maupun fisik. Mentalnya turun karena dampak perang, sementara fisik melemah salah satunya karena kebiasaan merokok.

Beberapa hari kemudian, 5 Februari 1952, George VI tampak sehat dan bahkan sempat berburu di rumahnya di kawasan Sandringham Estate. Pangeran Wales Lord Fermoy bersaksi bahwa saat itu tetangganya “berada dalam kondisi terbaik.” George VI kemudian ke kamarnya pukul 22.30.

George VI tidur dan tidak pernah bangun lagi. Ia meninggal dunia pada 6 Februari 1952.

Ketika itu Elizabeth dan suaminya, Pangeran Philip, tengah menikmati liburan di Treetops Hotel. Karena keterbatasan saluran komunikasi, Nicholas Best dari The Guardian percaya kabar kematian Raja George VI baru sampai ke telinga Elizabeth II beberapa jam kemudian di Sagana, kota yang berjarak sekitar 20 mil dari Treetops Hotel. Kabar menyedihkan ini disampaikan langsung oleh Pangeran Philip kepada Elizabeth II ketika tengah jalan-jalan di taman.

Elizabeth II, yang kala itu baru berusia 25, menghadapi kabar tersebut dengan tegar. Tak ada tangis dari matanya. Dia langsung mendiskusikan kepulangan ke Inggris dan menulis surat untuk membatalkan tur ke daerah lain di negara Persemakmuran. Dia bahkan menebar senyum kepada orang-orang yang mengantar dan memanggilnya “ratu”.

Emosinya tak lagi tahap tertahan ketika di pesawat. Dia menghabiskan seluruh tangisan di toilet di udara.

Entah kapan persisnya Elizabeth II menjadi ratu. Tapi Jim Corbett, orang yang menemani Elizabeth II dan Pangeran Philip di Kenya, membuat kesimpulan yang bisa diterima banyak orang sampai sekarang:

“Ini adalah pertama kali dalam sejarah. Seorang gadis muda memanjat pohon sebagai putri dan setelah pengalaman yang ia deskripsikan sangat mengesankan itu dia kembali turun sebagai seorang ratu.”

Benteng Monarki Inggris

Tahun 1969 lalu, The Beatles, band legendaris asal Liverpool, merilis sebuah lagu yang tampak seperti sindiran terhadap Sang Ratu. Lagu yang terdapat dalam album Abbey Road tersebut berjudul “Her Majesty”, hanya terdiri dari sembilan kalimat, dan durasi tak lebih dari 30 detik. Begini penggalan liriknya: Her Majesty is a pretty nice girl / But she doesn’t have a lot to say.

Apa yang dilantunkan Paul McCartney dan kawan-kawan itu bukan tanpa alasan. Elizabeth II memang tak banyak muncul di publik. Layaknya raja dan ratu sebelumnya, omongannya terbiasa didengarkan lewat Royal’s Christmas Message dan Diamond Jubilee Message setiap tahun. Di luar itu dia hanya tampil di layar televisi sebanyak lima kali--termasuk saat dunia menghadapi pandemi Covid-19.

Bedanya, pada masa kepemimpinan Elizabeth II, kehidupan penghuni kerajaan sedikit lebih “merakyat”. Hal ini tak terlepas dari kehadiran televisi yang menjadi produk massal. Masyarakat bisa melihat sisi manusiawi dari keluarga kerajaan karena pada tahun 1969 BBC-ITV membuat tayangan dokumenter berjudul Royal Family selama satu tahun.

Kehidupan domestik Ratu Elizabeth II pun ditampilkan. Bahkan penganugerahannya sebagai ratu disiarkan lewat televisi, diperkirakan disaksikan 20 juta pemirsa.

Pada era yang disebut “elizabethan” ini pula anggota kerajaan banyak mengungkap kisah kehidupan pribadi mereka, mulai dari Putri Diana hingga Pangeran Harry dan Meghan Markle.

Kesan dekat dengan masyarakat pun tampak dalam kunjungannya ke Australia dan Selandia Baru pada 1970. Saat itu Elizabeth II memilih berjalan di tengah-tengah warga alih-alih berjarak dan dijaga ketat oleh pasukan pengawal.

Aspek lain yang tak kalah penting sepanjang masa jabatan Elizabeth II adalah tentang negara Persemakmuran. Dia meneruskan ambisi ayahnya yang menyatukan negara-negara bekas koloni Inggris dalam satu wadah. Hal ini ditandai dengan Deklarasi London pada 1947.

Deklarasi London menyatakan bahwa republik dan negara lain yang telah mendapatkan kemerdekaan dapat menjadi bagian dari Persemakmuran. Deklarasi ini dipicu oleh kemerdekaan India. Mereka ingin menjadi republik dan tidak berutang apa pun pada Inggris tapi hendak tetap menjadi anggota Persemakmuran.

“Persemakmuran tidak memiliki kemiripan dengan Kerajaan di masa lalu. Ini adalah konsepsi yang sama sekali baru, dibangun di atas kualitas tertinggi dari semangat manusia: persahabatan, kesetiaan, dan keinginan untuk kebebasan dan perdamaian,” demikian katanya pada 1953.

Sampai sekarang, ada 56 negara yang masuk ke dalam organisasi non-pemerintah ini, dengan jumlah penduduk mencapai 2,5 miliar.

Cara-cara membuka diri ini berdampak positif bagi kerajaan. Masyarakat jadi mendukung kekuasaan monarki Elizabeth II, tak hanya mereka yang berada dalam Persemakmuran tapi juga seluruh dunia.

Di sisi lain Elizabeth II pun aktif menggunakan kekuasaan yang dia miliki untuk mempertahankan persatuan di antara bekas koloni. Dia adalah Ratu Inggris yang paling sering bepergian sepanjang masa termasuk ke bekas koloni (termasuk ke Afrika Selatan pada 1947 saat negara itu baru merdeka).

Seperti kata Brooke Newman, sejarawan di Virginia Commonwealth University: “Elizabeth telah membangun Persemakmuran, pada dasarnya melalui kekuatan kepribadiannya, sejak tahun 1952.”

Sejarawan Frank Prochaska menyindir sikap ini dengan mengatakan bahwa Sang Ratu hanya menyukai empat hal di dunia ini: “anjing, kuda, Persemakmuran, dan cucu-cucunya.”

Namun bukan berarti kepemimpinan Elizabeth II lekat dengan kata sempurna.

Elizabeth II mendapat kritik dari mereka yang anti terhadap monarki. Salah satunya adalah kelompok Republik. Ketua Republik, Graham Smith, mengatakan pada 2015 lalu bahwa tidak banyak yang Elizabeth II lakukan selama berdekade kepemimpinannya. “Elizabeth II hanya menyukseskan kepemimpinannya bagi kelompok kerajaan,” katanya.

Ia pun menyerukan seruan pemungkas yang merupakan tujuan utama Republik: meruntuhkan monarki. “Ini saatnya bagi Inggris untuk menatap masa depan dan memilih penerus lewat pemilu yang adil dan bebas, orang yang benar-benar bisa merepresentasikan negara.”

Selain tekanan dari kelompok antimonarki, Inggris juga terancam karena ada negara-negara yang akhirnya ingin merdeka dan keluar dari Persemakmuran. Australia salah satunya, kemudian disusul oleh Skotlandia yang hendak mengadakan referendum pada 2023 mendatang.

Paul Gilroy, sosiolog asal Inggris, mendeskripsikan kondisi negara tersebut saat ini adalah sebagai “postcolonial melancholia” yang artinya “ketidakmampuan Inggris berduka atas kehilangan superioritasnya sebagai kekaisaran yang kemudian mengarah kepada nasionalisme yang merusak.”

Sebagian orang setuju jika sistem monarki ini sebaiknya dihilangkan dan biarkan Elizabeth II menjadi “Elizabeth the Last”.

Selain itu, Elizabeth II juga pernah dikritik karena sikapnya yang masih dianggap tertutup kendati lebih banyak menampilkan diri di muka publik dibanding raja dan ratu sebelumnya.

Pada kasus kematian Putri Diana pada 1997, misalnya. Elizabeth II banyak mendapatkan kritik karena dianggap meniadakan peran Putri Diana yang aktif dalam penggalangan dana untuk tujuan sosial. Pada masa-masa ini, popularitas kelompok kerajaan Inggris merosot drastis.

“Dia membuat aturan absolut untuk bungkam pada hal apa saja,” kata sejarawan David Starkey, mengamini sindiran The Beatles. “Nama lain, selain Elizabeth Tanpa Perubahan, bisa jadi Elizabeth yang Pendiam.”

Tiada Kata Maaf

Sebagian dari kita mungkin masih ingat adegan stunt Presiden Joko Widodo yang muncul di acara Asian Games 2018 menggunakan sepeda motor. Adegan itu mirip dengan apa yang dilakukan Inggris dalam mencitrakan Ratu Elizabeth II saat menghadiri Olimpiade 2012 London. Elizabeth II ditemani oleh James Bond--agen rahasia fiktif berjuluk 007 asal Inggris yang diperankan oleh Daniel Craig--melompat dari helikopter menggunakan parasut.

Tapi bukan hanya itu kemiripan keduanya. Satu hal lagi yang serupa adalah, mereka sulit untuk meminta maaf.

Di masa lalu, Kerajaan adalah agen aktif kolonialisme/imperialisme. Pada tahun 1913, mereka telah memerintah 400 juta orang. Pada 1921, lima tahun sebelum kelahiran Elizabeth II, Kerajaan mengklaim sekitar seperempat daratan Bumi. Dari 194 negara di dunia, Inggris hanya tidak menginvasi 22 di antaranya. Ini semua menjadikan Inggris sebagai kekaisaran terbesar di dalam sejarah.

Sebagaimana negeri yang dijajah, koloni kehilangan hak mengatur diri sendiri dan dan banyak kasus ditindas--yang hasilnya, tentu saja, menguntungkan Inggris. Anggota keluarga Kerajaan termasuk yang terlibat langsung memperkaya diri lewat kolonialisme dan perbudakan.

Salah satu negara yang dijajah itu adalah Kanada. Dan salah satu warisan kelam dari kolonialisme Inggris adalah residential school. Anak-anak dipisahkan dari keluarga dan dikirim ke residential school.

“Mereka mengurung saya di ruangan gelap dan menutup pintu rapat-rapat,” kata salah satu korban bernama Leona Wolf, dilansir CBS CBS. “Rasanya seperti di penjara.” Wolf dibawa pada 1960 saat usianya masih lima tahun. Dia digunduli dan dilarang keras untuk melafalkan bahasa daerahnya.

Usaha ini disponsori oleh pemerintah dan berdasarkan pemantauan Gereja Anglikan yang berpusat di Inggris--di bawah naungan kerajaan.

Anak-anak ini bukan hanya didoktrin, tapi juga mendapatkan kekerasan baik secara fisik maupun seksual. Tak heran jika trauma itu masih ada sampai hari ini.

Ketika Pangeran Charles berkunjung ke Kanda pada Mei 2022, perwakilan Assembly of First Nation (AFN), RoseAnne Archibald memintanya untuk mendesak Elizabeth II--selaku representasi Kerajaan--meminta maaf kepada para korban pemaksaan asimilasi dan genosida dan memberikan ganti rugi. Desakan serupa juga ternyata diserukan oleh banyak orang, menurut sebuah survei.

Permintaan tersebut tidak ditanggapi meski Pangeran Charles mengaku kekejaman periode sejarah tersebut.

Sakit hati terhadap kejahatan tentara Kerajaan juga masih dirasakan orang-orang di Kenya dan Jamaika. Sewaktu Elizabeth II asyik liburan di Kenya, di negara tersebut tengah terjadi pemberontakan Mau Mau. Pertempuran terjadi antara tentara Inggris dengan Kenya Land and Freedom Army sepanjang 1952-1960.

Pada tahun 2013, pemerintah Inggris yang diwakilkan oleh komisioner Christian Turner sebenarnya sudah mengakui dan meminta maaf atas tindakan barbar negaranya kala itu, termasuk memberi ganti rugi atas penyiksaan yang dilakukan. Namun Patrick Gathara, pengamat politik asal Kenya, tetap belum puas karena maaf tak keluar dari mulut Ratu.

“Sampai sekarang, dia (Elizabeth II) belum mengakui kepada publik, apalagi minta maaf, terhadap penindasan, penyiksaan, perampasan, dan dehumanisasi yang dilakukan kepada orang-orang pada masa kolonisasi Kenya, baik sebelum atau setelah naik takhta,” kata Gathara seperti dicatat AP.

Satu contoh terakhir adalah Jamaika. Di masa lalu, diperkirakan 600 ribu budak dikirim ke Jamaika untuk menggarap perkebunan yang didirikan oleh Inggris.

Ketika Pangeran William dan Putri Kate hendak melakukan kunjungan kenegaraan ke negara tersebut tahun ini, sekitar 100 tokoh publik--yang terdiri dari akademisi dan politikus--menuntut permintaan maaf atas tindakan Inggris di masa lalu.

“Kami tidak melihat alasan merayakan 70 tahun peringatan nenekmu (Elizabeth II) naik takhta karena kepemimpinannya, termasuk pendahulu, sudah mencatatkan tragedi kemanusiaan yang luar biasa dalam sejarah manusia,” tulis surat yang ditandatangani para tokoh tersebut.

Benar belaka bahwa Elizabeth II tidak terlibat dalam kolonialisme Inggris. Tapi dia, sebagai pewaris kekuasaan dari penguasa sebelumnya, tetap saja dianggap punya beban moral. Seperti kata akademisi Jamaika Rosalea Hamilton, semua tuntutan terhadap Inggris “bukan tentang dia.” “Ini tentang kekayaan keluarganya, dibangun di atas punggung nenek moyang kami. Kami bergulat dengan warisan masa lalu yang sangat menyakitkan,” katanya.

Raja Belanda Willem-Alexander toh juga pernah meminta maaf atas kekerasan yang pendahulunya lakukan terhadap Indonesia.

Kejahatan Inggris di Indonesia

Indonesia memang bukan negara koloni Inggris meski pernah dijajah dalam waktu singkat (1811-1816). Tapi bukan berarti tidak ada jejak campur tangan mereka.

Pramoedya Ananta Toer mengatakan pemerintah Inggris sudah lama hendak menggulingkan Presiden Sukarno. Mereka memprovokasi masyarakat yang hasilnya, salah satunya, adalah Pertempuran Surabaya. Inggris juga melakukan provokasi di Sumatra Timur.

Ujung dari itu adalah peristiwa G30S.

“Ia (G30S) sebenarnya tak lain dari suatu metamorfosis oposisi Inggris yang meningkat berkepanjangan terhadap Politik Konfrontasi Sukarno. Sampai sekarang secara umum kecurigaan agak berat sebelah tertuju ke CIA Amerika, padahal dalam kenyataan intel Inggris memainkan peran penting dalam konspirasi G30S itu,” catat Pramoedya dalam tulisan The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, and Indonesia, 1945-1965 (1998) karya Greg Poulgrain.

Infografik Elizabeth II

Infografik Elizabeth II. tirto.id/Fuad

Pada dokumen yang sudah dideklasifikasi tahun 2021, terbukti bahwa gerakan Inggris adalah reaksi terhadap penolakan Sukarno atas pendirian Federasi Malaysia. Sukarno--dan PKI--khawatir bahwa ini hanya kepentingan kolonialisme Inggris. Inggris kemudian membantu peperangan antara Indonesia-Malaysia yang kelak dikenal dengan nama Konfrontasi Borneo.

Tokoh sentral propaganda gelap ini adalah pejabat Kantor Luar Negeri Inggris Ed Wynne. Dia merupakan bagian dari Information Research Department (IRD) dan memimpin tim kecil beranggotakan tiga orang Inggris dan 4 orang penduduk lokal dari Singapura. Tim ini menyebarkan 28 ribu selebaran ke Indonesia lewat Hong Kong, Jepang, dan Manila. Inggris ingin agar orang-orang anti-komunis bergerak melawan PKI yang menyokong penuh Sukarno.

Dalam dokumen itu, IRD mengaku tidak ingin ada pertumpahan darah, tapi saat itu adalah waktu yang tepat untuk memukul habis PKI “sebelum mereka bisa pulih.”

Propaganda-propaganda ini terus diperluas. Salah satu yang mereka perkuat adalah propaganda bahwa organisasi perempuan PKI, Gerwani, menyasar bagian kemaluan jenderal-jenderal TNI dalam penyiksaan--sesuatu yang tidak terbukti. Mengutip The Guardian, awalnya rumor itu disebarkan oleh kelompok militer Soeharto, tetapi direproduksi oleh intelijen Inggris.

Dalam laporan tahun 1966, Wynne dengan bangga mengatakan dengan bangga bahwa operasi di Indonesia “cukup berhasil.” Seluruh kepentingan Inggris pun terpenuhi: mulai dari berakhirnya Konfrontasi Indonesia-Malaysia, lengsernya Sukarno, dan kejatuhan Subandrio selaku Menteri Luar Negeri Sukarno.

Tentu saja, tidak ada satu pun kata maaf keluar dari mulut Elizabeth II kepada penduduk Indonesia.

Elizabeth II meninggal pada Jumat 8 September 2022 pada usia 96. Total ia berkuasa setelah 70 tahun. Selama itu masyarakat Inggris memiliki 15 perdana menteri, umat Katolik telah dipimpin 7 paus, dan warga dunia menikmati Olimpiade Musim Panas sebanyak 20 kali.

Sebagian dari kita berkabung turut serta merasakan kesedihan, tapi sebagian yang lain biasa-biasa saja. Dia hanya perempuan tua yang meninggal karena umur yang sudah uzur. Di belahan dunia mana pun, itu kejadian yang biasa saja.

Baca juga artikel terkait ELIZABETH II atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino