Menuju konten utama

Elite Gerindra di Pusaran Rencana Borong Alutsista Rp1,7 Kuadriliun

Tak hanya anggarannya yang jumbo, rencana proyek pengadaan alutsista juga dikritik karena perusahaan terkait diisi oleh orang-orang dekat Prabowo.

Elite Gerindra di Pusaran Rencana Borong Alutsista Rp1,7 Kuadriliun
Menhan Prabowo Subianto bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/6/2021). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/NZ.

tirto.id - Rencana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk belanja alat utama sistem persenjataan (alutsista) dengan anggaran jumbo disorot oleh banyak pihak dan menuai kritik. Totalnya mencapai 124.995.000.000 dolar AS—atau setara Rp1.760 triliun, lebih dari separuh alokasi belanja dalam APBN 2021 yang jumlahnya Rp2.750 triliun.

Anggaran tersebut tercantum dalam Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2020-2024 (alpalhankam). Rencananya, dana proyek tersebut diambil dari skema pinjaman luar negeri, selain anggaran reguler Kementerian Pertahanan.

Beberapa alutsista yang ingin diborong berupa: empat unit kapal selam Scorpene (Rp6,3 triliun), 36 unit jet tempur Dassault Rafale (Rp60 triliun), 600 juta butir amunisi kaliber 5,56 MM MU 5TJ (210 juta dolar AS), pembaruan senjata serbu M16-A1 sebanyak 20.000 pucuk (30 juta dolar AS), 315 unit kendaraan khusus Armored Multi-Purpose Vehicle (300 juta dolar AS), sekitar 2.500an mortir (Rp793 miliar), dan 3.017 set Integrated Personnel Protection (IPP) (RP197,76 miliar).

Usai rapat tertutup bersama Komisi I DPR RI, Rabu (2/6/2021), Prabowo mengaku bahwa rancangan tersebut masih digodok bersama Bappenas dan Kementerian Keuangan. Menurutnya, belanja barang saat ini perlu diprioritaskan karena “banyak alat utama kita sudah tua sudah, saatnya memang mendesak harus diganti.” Ia berharap dengan proyek ini Indonesia “siap menghadapi dinamika lingkungan strategis yang berkembang dengan sangat pesat.”

Ia tak membahas banyak pertanyaan mengenai rencana dana yang akan dipinjam ke luar negeri.

Salah satu orang yang mengkritisi proyek besar ini adalah anggota Komisi I DPR RI fraksi PDIP Effendi Simbolon. Salah satu yang ia pertanyakan adalah dasar hukumnya. “Apa sih dasarnya harus diperpreskan? Kenapa sih? Kok setiap apa-apa sekarang ini seolah-olah Indonesia itu dalam keadaan darurat. Gara-gara COVID-19 ini terbiasa semua itu ranahnya eksekutif saja, padahal kan, harus bersama,” kata dia kepada para wartawan.

Ia menepis klaim jika rancangan perpres tersebut telah dikonsolidasikan secara berkala dengan Komisi I DPR RI. “Enggak pernah. Ke siapa berkalanya?” tanya dia. “Ngarang. Itu mungkin perorangan. Kalau resmi, baru ini.”

Effendi juga mengkritik karena rencana proyek ini menggunakan utang. Omong kosong dana pinjaman sebesar itu tidak membebani keuangan negara, katanya. “Siapa bilang tidak membebani? Wong namanya utang, kok. Kamu utang terus seluruh rakyat Indonesia sampai tahun 2044 harus bayar, masa enggak membebani?” katanya.

Belakangan, setelah draf perpres tersebut ramai diperbincangkan, Juru Bicara Menhan Dahnil Anzhar Simanjuntak mengatakan akan mencari siapa pihak yang membocorkan dokumen tersebut ke publik.

Terkait kritik besarnya dana yang dibutuhkan, lewat Twitter ia mengatakan “belanja pertahanan bukan cost tapi Investasi”--yang mengandaikan ada return.

Kolega Prabowo

Selain soal pendanaan, rencana proyek ini juga disorot karena yang terlibat diduga memiliki hubungan erat dengan Prabowo. Para komisaris PT Teknologi Militer Indonesia (TMI), perusahaan perantara (makelar) pengadaan alutsista yang diduga ditunjuk oleh Prabowo, berisikan sejumlah kader Partai Gerindra. Perusahaan tersebut baru disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 30 April 2021.

Dalam lembar profil perusahaan yang redaksi Tirto terima dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), setidaknya ada empat orang kolega partai Prabowo yang ada di jajaran komisaris.

Pertama adalah Glenny Kairupan, komisaris utama perusahaan. Ia dan Prabowo sama-sama masuk Akabri di Lembah Tidar, Magelang, pada 1970—bersama Susilo Bambang Yudhoyono dan Ryamizard Ryacudu. Glenny lulus terlebih dahulu pada 1973, Prabowo satu tahun kemudian. Saat ini Glenny tercatat sebagai anggota Dewan Pembina Partai Gerindra.

Ada juga nama Yudi Magio Yusuf sebagai komisaris. Pernah menjabat sebagai Asisten Pengamanan Kepala Staf TNI–AD pada 2003–2006, Ia menjabat Atase Pertahanan RI di Canberra Australia pada 1998–2001 dan Staf Atase Pertahanan RI di London Inggris pada 1986–1989. Ia lulus dari Akabri pada 1973. Saat ini juga menjadi komisaris di perusahaan tambang PT Ancora Indonesia Resources, Tbk. Nama Yudi juga tercatat dalam daftar anggota Dewan Pembina Partai Gerindra.

Nama berikutnya adalah Prasetyo Hadi sebagai komisaris. Dia adalah anggota DPR RI fraksi Partai Gerindra, yang baru masuk Senayan pada September 2020 lalu lewat mekanisme pergantian antar waktu (PAW). Ia adalah Wakil Kepala SMA Taruna Nusantara—sekolah kedinasan di bawah Kementerian Pertahanan.

Nama terakhir adalah Angga Raka Prabowo sebagai komisaris. Orang ini pernah menjadi ajudan pribadi Prabowo. Pada 2019, namanya mencuat lantaran menjadi pemimpin surat kabar Independent Observer yang kerap memojokkan Joko Widodo—rival Prabowo di Pilpres 2019. Surat kabar tersebut dibiayai oleh Prabowo.

Dalam rapat tertutup kemarin, Effendi mengaku telah mendapat penjelasan mengenai perusahaan tersebut. Kata Effendi, Prabowo menjelaskan bahwa perusahaan itu memang sengaja dibentuk untuk membantu Kemhan melakukan studi sebelum berbelanja alutsista.

“Dia bilang bahwa dia mencari para ahli yang mengerti seluk beluk mengenai alat peralatan pertahanan dan keamanan. Mereka dikumpulkan di situ,” kata dia.

Effendi bilang tanpa PT TMI pun sebenarnya sudah ada Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang diamanatkan oleh Undang-Undang Industri Pertahanan. Namun, Prabowo mengatakan bahwa PT TMI tetap dibutuhkan sebagai pemberi second opinion.

Effendi juga mempertanyakan mengenai orang-orang dekat Prabowo yang berada di jajaran komisaris perusahaan tersebut. “Apakah ini hanya ada kepentingan partai tertentu? Ada kolega kedekatan?” tanya Effendi. Prabowo menjawab, kata Effendi: “Ini kebetulan saja mereka pensiunan, para pakar.”

Ia juga mengatakan Prabowo berjanji dan menjamin bahwa perusahaan ini tidak akan jadi makelar. “Hanya sebagai tim asistensi saja, transfer teknologi,” katanya.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad juga mengatakan PT TMI hanya perusahaan yang berisi orang-orang ahli teknologi militer, bukan perusahaan pengadaan barang.

“Murni di situ adalah orang-orang yang mantan militer dan pengalaman terhadap teknologi militer,” kata Dasco saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (3/6/2021). “Dalam aturan pengadaan barang dan jasa pun itu ada mekanisme, tidak boleh satu perusahaan kemudian menjadi mengerjakan semua alutsista.”

Karena bergerak di bidang itulah menurutnya sulit mengatakan jika terdapat konflik kepentingan antara Kementerian Pertahanan dengan PT TMI, yang notabene merupakan anak perusahaan dari yayasan yang juga di bawah kementerian itu.

“Perusahaan yang sah dan bukan pengadaan, sehingga kalau dibilang konflik kepentingan misalnya untuk proyek, itu jauh, karena sifatnya hanya ahli teknologi atau semacam konsultan,” katanya. “Lebih jauh saya tidak bisa komentar. Sila tanya ke perusahaan atau yayasan yang membawahi perusahaan itu.”

Baca juga artikel terkait ALUTSISTA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino