Menuju konten utama

Elegi Pencarian Keadilan Asih Widodo

Andai Sigit Prasetyo masih hidup, ia kini berusia 37 tahun. Mungkin ia menjadi putra yang bikin bangga orangtuanya.

Elegi Pencarian Keadilan Asih Widodo
"Aku akan terus mencari keadilan sampai berkalang tanah," ujar Asih Widoo. Tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - “Sebelum saya berkalang tanah, saya akan terus berjuang. Semoga saya enggak sakit-sakit. Kalau mati pasti mati, tapi sebelum saya mati, saya ingin Wiranto dan Habibie dipenjara,” ujar Asih Widodo.

Keberanian Widodo, kini berusia 66 tahun, tak berasal dari kebencian, melainkan cinta. Justru cintalah yang membuatnya betah menuntut. Sigit Prasetyo, putranya, mati ditembak tentara dalam peristiwa Semanggi I dan negara berutang penjelasan kepadanya. Usia anaknya saat itu 18 tahun, mahasiswa teknik sipil Universitas Persada Indonesia.

Kamis, 13 November 1998, magrib, Widodo menerima kabar dari seorang pegawai Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) bahwa Sigit sedang dirawat. Ia ingat orang itu bicara dengan tergesa-gesa, seakan-akan hendak menghindari pertanyaan. Ia juga ingat apa yang kemudian ia katakan kepada peneleponnya: “Mati anak saya! Kalau dirawat, pasti ibunya yang ditelepon.”

Kata Widodo, ia bicara demikian karena telah punya firasat buruk saat Sigit meninggalkan rumah. Menurut perhitungan kalender Jawa yang ia yakini, hari itu ialah hari apes. Namun, si anak, yang sebelumnya telah dua hari tak pulang ke rumah demi demonstrasi menentang Sidang Istimewa MPR 1998 dan Dwifungsi ABRI, mengacuhkan larangannya. (Baca laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, "Kasus Trisakti, Semanggi I dan II: Penantian dalam Ketidakpastian.")

Seorang opsir polisi di kawasan pembangunan Proyek Tendean mencegah Widodo berangkat mengendarai sepeda motor. Polisi itu khawatir ia tak dapat berkonsentrasi dan malah memperpanjang daftar kenahasannya sendiri. Maka, Widodo berjalan kaki, dengan lengan menggenggam sebutir batu. Ia bertekad menimpuk siapa saja yang coba-coba menghalau jalannya.

Di jalan, ia melihat mahasiswa berdesak-desakan dan para tentara berjaga. Ia sadar itu situasi mencekam, tetapi gejolak perasaan dalam dirinya mengenyahkan rasa takut. Lebih dari itu, ia bahkan menyempatkan diri mampir di kantor Koramil Tebet hanya buat memaki para tentara di sana.

Tiba di RSCM, pukul 22.15, Widodo tak dapat masuk, terhalang mahasiswa dan aparat yang memenuhi jalan. Ia berteriak-teriak, “Anak saya mati! Anak saya mati!” Tentara mengabaikannya, tetapi sejumlah mahasiswa UI membukakan jalan dan mengawalnya ke kamar mayat.

Istri Widodo telah sampai lebih dulu. Tangis perempuan itu menyambut dan melengkapi lelahnya setelah berjalan kaki selama empat jam.

“Mati, Bu? Sudah, kamu cari tenda sama kursi di rumah,” katanya kepada istrinya.

Widodo menemukan putranya, yang masih mengenakan almamater tetapi sudah tak bernyawa. Ia memeluk jasad itu sambil menangis, lalu memandikannya.

Ia menemukan lubang kecil hitam di dada, tepatnya di area jantung Sigit. Petugas medis kemudian menunjukkan peluru yang menembus jantung Sigit kepadanya.

“Pelurunya pecah jadi tiga,” kata Widodo, dengan keyakinan yang entah datang dari mana, mengingat peristiwa 19 tahun lalu.

Sila baca 10 laporan khusus Tirto mengenai peristiwa sepanjang 1998-1999: Hari-Hari Menjelang Soeharto Lengser

Bersama keluarga korban-korban pelanggaran hak asasi mausia lain, Widodo telah mendatangi para politisi di Senayan, pengadilan negeri, hingga Mahkamah Konstitusi buat menuntut keadilan.

Jalan itu jelas sukar, dan kadang bisa bertambah buruk. Dalam satu demonstrasi, sekitar setahun setelah kematian Sigit, kepala Widodo kena gempur popor tentara.

Sejak 2000, Asih Widodo menemukan cara baru buat menyuarakan tuntutannya. Ia menuliskan pikiran-pikirannya di papan kayu, menjahitkan kata-kata dan gambar wajah putranya di jaket, helm, dan bahkan pada sepeda motornya.

“Awalnya, saya mau cetak tulisan saya di kayu itu enggak ada yang berani menerima, baru ada yang mau di Bogor, itu pun setelah saya menjamin: Kalau ada apa-apa, saya yang bertanggung jawab,” katanya.

Widodo memasang perangkat bahana kecil di bagasi motor. Lagu-lagu yang ia setel biasanya lagu-lagu dangdut berirama rancak, buat menarik perhatian orang kepada pesan pada jaket, helm, dan sepeda motornya saat ia berkeliling Jakarta. Lagu-lagu itu seolah menjadi elegi buat kematian Sigit dan kejahatan negara terhadap rakyatnya sendiri.

ASIH WIDODO SEMANGGI I

"Wiranto adalah sebab dari kematian anakku," ujar Asih Widodo. Tirto.id/Arimacs Wilander
Sembilan belas tahun bukan waktu yang singkat, tetapi tentu tak cukup buat menghapuskan kenangan Widodo tentang putranya dan hasratnya mendapatkan keadilan.

Ia ingat, Sigit pernah berkata ingin membeli sepeda motor dengan uangnya sendiri dan tak akan menjalin hubungan asmara sebelum membiayai ibunya berhaji.

“Kematian Sigit sudah risiko. Jadi aktivis itu satu: digebukin, dua: disel, tiga: mati. Kalau selamat, jadi menteri,” ujar Asih dengan nada tinggi.

Baca juga artikel terkait HAK ASASI MANUSIA atau tulisan lainnya dari Arimacs Wilander

tirto.id - Humaniora
Reporter: Arimacs Wilander
Penulis: Arimacs Wilander
Editor: Dea Anugrah