Menuju konten utama
Misbar

Ekstravaganza Multisemesta Spider-Man: Across the Spider-Verse

Spider-Man: Across the Spider-Verse hadir dengan visual dan animasi yang makin sinting. Pantas bila masuk jajaran film Spider-Man terbaik.

Ekstravaganza Multisemesta Spider-Man: Across the Spider-Verse
Spiderman Across The Spider Verse. youtube/Sony Pictures

tirto.id - Miles Morales, karakter Marvel Comics rekaan Brian Michael Bendis dan Sara Pichelli, pertama kali muncul pada 2011. Namun, ia dengan cepat menemukan panggungnya di ranah gambar bergerak berkat film Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018).

Benih yang ditanam lima tahun lalu itu telah bertunas. Riuhnya dengungan atas gemilangnya film pertama itu memunculkan keputusan mudah: kehadiran sekuel yang sekaligus mengukuhkan Miles sebagai protagonis waralaba Spider-Verse.

Spider-Man: Across the Spider-Verse yang mulai tayang pada Mei 2023, ditulis oleh Phil Lord, Christopher Miller, dan David Callaham. Sementara itu, Joaquim Dos Santos (dalam debut filmnya) bersama Kemp Powers (co-director Soul) dan Justin K. Thompson (desainer produksi pada film pertama) didapuk sebagai trio sutradara.

Itu proyek ambisius, bukan main besar. Saking besarnya, sekuel ini dipecah menjadi dua dengan Spider-Man: Beyond the Spider-Verse sebagai penutup yang bakal tayang tahun depan. Dengan durasi 140 menit, Across the Spider-Verse jadi film animasi Amerika terpanjang saat ini, melampaui pemegang rekor sebelumnya, Consuming Spirits (2012).

Kabarnya, lebih dari 1000 orang terlibat di balik pembuatannya, menampilkan sekitar 240 karakter dalam enam semesta.

Campur aduknya multisemesta Spider-Man jadi jualan utama, pun masih dengan visual yang semarak. Terang saja, film pertamanya jamak dianggap terobosan sekaligus penyegaran. Bahwa menetapkan standar tinggi juga bisa dilakukan sembari unjuk kebebasan berkreasi yang meluap-luap.

Masih dengan warna-warna yang vibran, Across the Spider-Verse kini membenturkan gaya animasi yang lebih beragam. Kepiawaian para animator dan arah visualnya bisa dipuji dengan banyak diksi superlatif, tapi yang paling menonjol adalah bagaimana Across the Spider-Verse membedakan art style untuk setiap semestanya.

Dunianya Gwen Stacy, misalnya, didesain agar terlihat bak lukisan cat air atau gouache dengan goresan kuas yang kentara, yang berbagai warna dengan gradasi menyeruak seiring perubahan mood. Lain halnya dengan semestanya Miles yang masih seputar kombinasi 2D & 3D seperti film pertama. Begitu pun semestanya Spider-Man India, Lego, dan lainnya.

Dari segi visual, Across the Spider-Verse sudah melampaui prekuelnya.

Menjadi dan Tak Menjadi Spider-Man

Kontras dengan animasinya yang berkelebat cepat tiap frame, Across the Spider-Verse berlama-lama pada babak pertamanya. Ada lebih banyak drama yang menjejak, semacam pengenalan ulang Gwen si Spider-Woman (Hailee Stenfield) dan Miles Morales (Shameik Moore), konflik internal baru yang mengiringi pertumbuhan mereka sebagai superhero, serta persoalan hubungan interpersonal dengan dialog yang membangun.

Fatherhood atau parenting jadi tema berulang. Ini terjadi pada Gwen dan Miles dengan ayahnya masing-masing, sebaliknya pun berlangsung pada Peter B. Parker (Jake Johnson) yang kini menjadi seorang ayah.

Konflik-konflik dalam film ini sebetulnya terasa universal—atau juga “biasa”. Menyoal penerimaan, minimnya komunikasi, dan upaya memenuhi ekspektasi orang tua. Kendati ditampilkan dalam porsi yang besar, ia terasa tak begitu spesial. Tak pula cukup segar dan mendalam, bahkan bila dibandingkan dengan beberapa judul film terkini, baik dalam koridor multiverse seperti EEAaO ataupun film animasi garapan tim penulis yang sama seperti The Mitchells vs. the Machines.

Kedalamannya bisa saja menempuh level berbeda bila teori fan yang meyakini konflik Gwen dan ayahnya sebagai "alegori coming out diri sebagai transgender" dikonfirmasi oleh para penulisnya.

Pilihan para kreator untuk berpusing pada tema ini sebenarnya bisa dipahami lantaran kaitan eratnya dengan narasi yang diusung Spider-Man kali ini: para ayah ini adalah sosok-sosok yang hendak diselamatkan Miles (dan Gwen) sekalipun itu berarti dikucilkan sebagai Spider-Man.

Dalam kerangka lore Spider-Man, ia tetap berkutat pada soal pahlawan kota yang berusaha menyeimbangkan dua dunianya, sebagai superhero dan remaja coming-of-age. Narasi Gwen pada pembuka film ihwal "dia bukan satu-satunya" lantas jadi kunci.

Di semestanya masing-masing, Spider-Man adalah solis. Kadang ada figur kawan yang dapat membantu, tapi tak ada yang bisa betul-betul memahami kehidupan sebagai superhero.

Sebagai kolektif, dunia dan orang-orang terkasih barangkali bisa diselamatkan kelak. Namun untuk saat ini, Miles baru tiba di semesta di mana Spider-Society bermarkas (dan beroperasi semacam TVA dalam serial Loki). Maka dia berhadapan dengan ratusan Spider-people yang punya garis takdir serupa dirinya.

Semua Spider-Man punya canon event, kehilangan tragis, dan pengorbanan yang sama. Selaras dengan ujaran Peter B. Parker, "Menjadi Spider-Man adalah pengorbanan. Itu tugas kita."

Namun, Miles Morales semestinya tak menjadi Spider-Man. Bukan hanya punya kekuatan unik seperti biolistrik dan kamuflase, dia juga anomali. Setiap pilihan, satu langkah kecilnya dapat mengacaukan canon event atau bahkan meruntuhkan dunia.

Pilihannya seklise menyelamatkan satu atau banyak jiwa. Namun bagi Miles, trolley problem macam itu tak semestinya jadi dilema.

Menempatkan Miles ke dalam golongan “Spider-Man yang menolak takdir sebagai Spider-Man” sejauh ini jadi salah satu suguhan paling menarik. Karenanya, konflik tak urung timbul di antara Miles, Gwen, diikuti rekan-rekan manusia laba-laba lain, seperti Spider-Punk (yang, sesuai namanya, menolak status quo) dan faksi Spider-People yang patuh-pada-algoritma-takdir pimpinan Miguel O'Hara alias Spider-Man 2099 (Oscar Isaac).

Berangkat dari muatan emosional individu, konflik di antara Spider-People jadi percabangan menyegarkan dalam ekspansi plotnya. Terlebih setelah berlama-lama menampilkan urusan personal ayah-anak dan kita menyadari bahwa ini adalah bagian pertama dari dua film. Durasi dua jam lebih ini memang tak ubahnya Act 1 yang diseret-seret.

Hal itu tentu bukan masalah bagi mereka yang cukup peduli dengan para karakternya, yang menerima bahwa jalan ceritanya memang tak bisa disetarakan dengan poin-poin terkuat film (jualan multiverse dan visual mengagumkan), bahwa ia sedang membangun sesuatu untuk penutup triloginya kelak.

Struktur demikian justru memberikan distingsi bagi Across the Spider-Verse jika dibandingkan dengan film-film Spider-Man lain atau film superhero kebanyakan. Para antagonisnya dipencar ke dalam sejumlah individu—The Spot sebagai villain utama, Spider-Man 2099 yang barangkali jadi semacam tragic hero, ataupun Miles Prowler yang tampak bakal jadi villain sekunder—yang untuk saat ini terputus ending dengan cliffhanger berbobot.

Menanti bagaimana film berikutnya mengurai jerat poin-poin plotnya tentu tak cukup nikmat tanpa atmosfer yang melarutkan. Di sela-sela enerjiknya animasi dan melimpahnya aksi, Across the Spider-Verse sanggup menghadirkan itu. Dengan sederet humor dan gag yang nyempil di sana-sini, tetap kuat terasa kesenduan, kontemplasi, dan pergulatan batin Miles yang mengabaikan aspek inheren Spider-Man sambil tetap menjadi Spider-Man.

Pantas di Jajaran Terbaik

Saking menyenangkannya film ini, saya sebagai penonton ingin kisahnya tuntas saat itu juga. Mungkin dengan runtime melebih 4 jam.

Untungnya, ego macam itu tak menghinggapi para kreator di baliknya. Memecah sekuel ini jadi dua film memang langkah tepat.

Kali ini, bukan anggota Sinister Six orisinal ataupun villain Spider-Man langganan lagi populer yang dikedepankan, melainkan karakter unik dan aneh, yakni The Spot (Jason Schwartzman). Arc-nya sebagai villain utama masih jauh dari selesai. Maka menjejalkan konklusinya ke satu film saja akan membuatnya terlihat prematur.

Infografik Misbar Spider Man Across the Spider Verse

Infografik Misbar Spider Man Across the Spider Verse. tirto.id/Mojo

Sekilas, The Spot memang villain dengan ragam ulah konyol—termasuk mendaku diri nemesis-nya Spider-Man. Namun menariknya, dia eksis tak lain karena aksi Miles pada film pertama dan keduanya sama-sama anomali. Dari sekadar samsak lelucon (dan samsak pukulan), keunikannya pun sukses dieksplorasi menjadi ancaman bagi multiverse.

Hadirnya The Spot dalam medium animasi sekaliber Spider-Verse terasa tak bisa lebih tepat lagi, meski masih perlu dinantikan perkembangannya. Sebagaimana kita masih perlu menanti untuk melihat kembalinya kru Spider-People dari film pertama atau menunggu ujung simpul perselisihan antarfaksi Spider-Society.

Masih pula ada kerumitan yang perlu diurai, pertanyaan-pertanyaan yang mungkin terjawab atau tidak sama sekali, seperti: Bagaimana kelanjutan semestanya Spider-India? Mengapa pula dibangun Super-Collider di sana? Apakah ada Kingpin-India? Atau yang lebih krusial seperti: bisakah canon event diubah atau dihancurkan?

Itu hanya beberapa di antaranya. Saya mungkin melewatkan beberapa inkonsistensi atau paradoks yang rentan tercipta dari logika multiverse yang digunakan.

Mudah untuk terbuai dan melewatkan detail yang bisa dipertanyakan berkat kemasannya. Banyak adegan berayun di kota, aksi-aksi pengejaran dan kelahi yang seru, ditopang akting suara yang mantap dari para voice actor.

Across the Spider-Verse diiringi pula score dan pilihan lagu yang lazimnya bukan jadi preferensi pribadi saya, tapi sanggup memberikan kesan spesial ketika diputar mengiringi para Spider-People berganti mood, menyesuaikan lokasi mereka berayun.

Ini tontonan yang spesial untuk para fan Spider-Man. Seabrek fan-service, sederet cameo, hingga puluhan (atau ratusan) easter eggs di sana-sini, dengan lines dan dialog serta referensi dari komik maupun medium Spider-Man lainnya.

Fan hardcore karakter Spider-Man tertentu barangkali menyayangkan karakter yang telah mereka nantikan sejak lama kemunculannya dalam film tampil barang sebentar dan tak sesuai ekspektasi. Meski begitu, karakter dengan screentime yang banyak untungnya cukup memuaskan, semisal Spider-Man India alias Pavitr Prabhakar dengan sentimen yang jitu pada Dunia Barat, Spider-Punk berestetika Sex Pistols dengan animasi terus berkelip yang spektakuler, hingga Spider-Woman dalam kondisi hamil.

Walaupun yang terakhir bisa dipertanyakan kemunculannya—mungkin representasi ibu hamil alias manusia super betulan yang tetap sanggup bekerja.

Fan-service yang sama tentu tak bekerja dengan cara serupa untuk penonton kasual. Kerlip animasinya yang kian “sinting” bisa saja bikin sebagian orang perlu waktu untuk memprosesnya, bila bukan tak tahan melanjutkan menonton. Belum lagi awalannya yang mengesankan film ini terlalu lama untuk “tiba ke dalam plot”.

Bagi saya, kekurangan paling ngeselin ialah kotak editor's notes (seperti dalam komik) yang kelewat cepat berlalu.

Ini Spider-Man yang, bagi penonton dewasa, bukan soal nostalgia belaka, tapi juga mengukuhkan kerennya para Spider-People baru yang muncul hari-hari ini. Melampaui film pertamanya jelas bukan tugas mudah. Namun dengan ekspansi dan segala eksplorasinya, Across the Spider-Verse terbilang berhasil.

Selain karena memang nyaris selalu tayang dalam level menghibur teratas, lumrah untuk menganggap setiap film terbaru Spider-Man sebagai judul terbaiknya. Pasalnya, itu film terkini yang kausaksikan. Across The Spider-Verse bisa jadi bukan karena faktor terakhir, tapi karena ia memang benar-benar yang terbaik. Setidaknya, untuk saat ini.

Baca juga artikel terkait FILM SPIDER-MAN atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi