Menuju konten utama

Eksploitasi Jurnalis: Upah Murah & Telat hingga Korban Kekerasan

Upah layak jurnalis pemula Jakarta tahun ini Rp8.793.081, namun masih banyak jurnalis yang mendapat gaji di bawah UMP.

Eksploitasi Jurnalis: Upah Murah & Telat hingga Korban Kekerasan
Sejumlah wartawan yang tergabung dalam Wartawan Hitam Jakarta menggelar aksi teatrikal di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wsj.

tirto.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta merilis upah layak bagi wartawan di Ibu Kota untuk tahun 2020. Survei terhadap 144 jurnalis muda dari 37 media di Jakarta dengan masa kerja di bawah tiga tahun.

Masa survei yakni Desember 2019: Upah terendah Rp2.300.000; Upah tertinggi Rp8.400.000; UMP DKI Jakarta 2019 Rp3.940.973; UMP DKI Jakarta 2020: Rp4.276.349.

Maka disimpulkan upah layak jurnalis pemula Jakarta tahun ini Rp8.793.081. Namun masih ada hak-hak jurnalis yang terabaikan.

"Cuti haid, ruang laktasi, tidak ada uang lembur, kerja lebih dari 8 jam per hari, libur pengganti, dan trauma healing," ujar Sekretaris AJI Jakarta Afwan Purwanto, di Sekretariat AJI Jakarta, Minggu (26/1/2020).

Nasib Jurnalis Daerah juga Mengenaskan

Tak hanya di ibukota, kesejahteraan bagi para jurnalis yang bertugas di daerah juga tak kalah mengenaskan. Misalnya saja di Yogyakarta. Banyak di antara mereka yang tak mendapatkan jaminan kesehatan dan memiliki gaji di bahwa upah minimum Kabupaten/Kota (UMK) atau upah minimum provinsi (UMP).

Pada 2020 ini UMP di Yogyakarta sebesar Rp1.704.608. Sedangkan UMK masing-masing di kabupaten Gunungkidul Rp1.705.000; Kulon Progo Rp1.750.500; Bantul Rp1.790.500; Sleman Rp1.846.000; dan Kota Yogyakarta Rp2.004.000.

Namun tak semua jurnalis di Yogyakarta mendapatkan gaji sebagaimana yang telah ditetapkan. Meskipun UMP dan UMK di Yogyakarta adalah yang paling rendah se-Indonesia nyatanya tak semua perusahaan media di Yogyakarta tak mampu membayar para jurnalisnya sesuai ketentuan.

Kepada Tirto, Dian (bukan nama sebenarnya) menceritakan pengalamannya sebagai jurnalis di salah satu grup media lokal terbesar di Yogyakarta. Ia bekerja sudah sekitar tujuh bulan, namun hingga kini tak memiliki status yang jelas mengenai kontrak kerja.

"Status karyawanku enggak jelas. Enggak dapat BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan," kata Dian.

Soal status karyawan, kata Dian tidak ada surat keterangan atau semacam kontrak kerja resmi yang mengatur tentang hak dan kewajiban. Ia mengaku soal perjanjian kerja hanya melalui lisan.

Bekerja sebagai reporter, gaji yang diterima selama ini bergantung pada jumlah artikel yang ditayangkan di media cetak harian tempat ia bernaung. Setiap artikel yang tayang dihargai di bawah Rp20.000, kecuali artikel bikinannya tayang pada halaman depan.

"Paling rata-rata [gaji per bulan] Rp1,5 juta. Pokoknya tergantung yang ditayangin," ujarnya.

Meski masih berstatus sebagai wanita single, gaji yang didapatkannya per bulan itu tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya operasional. Sering kali ia harus menggunakan tabungnya untuk tambahan biaya hidup termasuk membayar iuran BPJS kesehatan secara mandiri.

Apa yang dialami Dian tak jauh berbeda dengan yang dialami Zahra (bukan nama sebenarnya). Ia bekerja sebagai reporter di sebuah televisi lokal di Yogyakarta.

Ia bekerja lebih dari tiga tahun dan bayarannya di bawah UMP. Fasilitas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan pun baru ia dapatkan dari perusahaan tempat ia bekerja baru-baru ini.

"Awal dulu [gaji per bulan] Rp1 juta pas. Itu saja katanya sudah sama uang makan, bensin, dan lain-lain. Kalau sekarang, sekitar Rp1,3 juta," kata dia.

Selama tiga tahun bekerja Zahra berstatus karyawan kontrak. Setiap tahun saat masa kontraknya habis, ia harus mengajukan perpanjangan kontrak baru.

Selain gaji yang minim, ia merasa perlindungan perusahaan terhadap karyawan terutama jurnalisnya minim. Pernah ketika meliput pertandingan sepakbola ia menjadi korban kerusuhan di stadion. Motornya rusak parah akibat amuk massa.

Meskipun perusahaan tempat ia bekerja memberikan ganti rugi, namun kata dia nilainya tak seberapa sehingga ia harus merogoh kocek dari kantong sendiri untuk memperbaiki motor.

Minimnya perlindungan juga dialami Rahma (bukan nama sebenarnya). Ia bekerja di salah satu grup perusahaan media cetak dan online terbesar di Indonesia yang memiliki jaringan di setiap daerah.

Rahma mengaku sebagai seorang perempuan ia kadang merasa dimanfaatkan oleh perusahaan. Untuk menggali informasi pada narasumber yang sulit ditembus, karena ia perempuan ia diminta untuk merayu narasumber tersebut.

"Misalnya aku susah dapat pernyataan [dari narasumber]. kantorku bilang coba dirayu," kata dia.

Akibat tugas yang seperti itu, Rahma mengaku pernah mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari narasumber laki-laki saat wawancara.

"Aku pernah tiba-tiba dirangkul [narasumber laki-laki] Padahal aku belum pernah ketemu dan belum pernah wawancara sebelumnya," ujarnya.

Soal pengalamanya selama dua tahun terakhir menjadi jurnalis mungkin tak lebih mengenakkan dari Dian dan Zahra. Namun soal gaji Rahma sedikit lebih beruntung, ia mendapatkan gaji di atas UMP dan mendapatkan fasilitas BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.

"Gajiku per bulan Rp2,3 juta," kata Rahma.

Meskipun sedikit di atas UMP, namun nominal untuk perempuan single sepertinya hanya cukup untuk biaya operasional dan kebutuhan sehari-hari.

Rentan Menjadi Korban Kekerasan Aparat

Selain upah di bawah UMP, masalah krusial lain yang kerap dialami jurnalis adalah mendapat tindak kekerasan oleh aparat. AJI Indonesia menyebut selama 2019 terjadi 53 kasus kekerasan yang dialami wartawan. Polisi merupakan aktor yang sering melakukan tindakan kekerasan kepada jurnalis, berdasarkan catatan AJI.

Karena itu, AJI menobatkan Polri sebagai musuh kebebasan pers pada tahun 2019. Capaian gelar “musuh kebebasan pers" juga didapat Polri pada tahun sebelumnya.

“Jadi melihat banyaknya kasus kekerasan oleh polisi pada 2019 ini, kami merasa bahwa kalau ada yang boleh disebut musuh kebebasan pers di tahun 2019 itu adalah polisi," kata Ketua Umum AJI Abdul Manan, di Sekretariat AJI Indonesia, Senin (23/12/2019). Angka ini menurun jika dibanding tahun sebelumnya yang terjadi 64 kasus kekerasan sepanjang tahun 2018.

Sementara dari seluruh kasus 2019, kekerasan fisik masih mendominasi dengan 20 kasus, disusul oleh perusakan alat kerja atau data hasil liputan dengan 14 kasus. Ancaman kekerasan atau teror dengan 6 kasus, kriminalisasi dengan 5 kasus, pengusiran atau pelarangan liputan dengan 4 kasus, dan sensor atau pelarangan pemberitaan dengan 3 kasus.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika berpendapat, profesi jurnalis di Indonesia belum ideal seperti perlindungan terhadap jurnalis belum optimal, kondisi kerja masih memprihatinkan dan industri media yang terus mencari format pascadisrupsi digital.

"Itu dialami oleh pers secara keseluruhan," ucap dia di Sekretariat AJI Jakarta, Minggu (26/1/2020). Penahanan terhadap Phil Jacobson misalnya, itu tak bisa dilihat karena satu orang, tapi ancaman bagi wartawan lingkungan. Kekerasan aparat terhadap jurnalis dalam aksi #ReformasiDikorupsi September 2019, sebagai bentuk pembatasan akses pers.

"Dalam konteks itu, dikotomi antara jurnalis dan perusahaan menjadi kurang relevan. Jika bicara mengenai kondisi kerja, kelayakan upah, di situ perlu peran perusahaan media dan jurnalis dalam berhadapan," kata Wahyu.

Solusi setiap isu pun berbeda. Dalam ranah jurnalis mendapatkan kriminalisasi, maka solusinya butuh penguatan dari Dewan Pers. Berharap pemerintah atau siapapun pihak yang bermasalah dengan media dapat merampungkan perkara melalui mekanisme pers.

Wahyu melanjutkan, pada konteks kekerasan wartawan di lapangan, maka aparat penegak hukum dapat menindaklanjuti kasus tersebut dan menyeret pelaku ke pengadilan. Sementara, kategori upah belum layak dan kondisi kerja tidak ideal, maka dibutuhkan kesetaraan antara wartawan dan perusahaan.

"Kesetaraan tidak jatuh dari langit, tapi harus diciptakan oleh wartawan dengan cara membuat serikat pekerja. Tidak bisa dipisahkan kondisi ketiadaan serikat dengan buruknya upah dan kondisi kerja wartawan," jelas Wahyu.

Sementara, Pengacara Publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Gading Yonggar, menyatakan akan berbahaya jika jurnalis tidak punya keinginan untuk menuntaskan kasus kekerasan terhadap wartawan. "Akibatnya akan muncul preseden impunitas, kekerasan terhadap wartawan bisa dianggap wajar. Itu berbahaya," ujar dia di Sekretariat AJI Jakarta, Minggu (26/1/2020).

Jika impunitas menguat, ia khawatir siapapun dapat melakukan kekerasan terhadap wartawan dalam bentuk apapun. Bahkan bisa saja menyerang keluarga wartawan tersebut. Sistem penegakan hukum mesti efektif dan kuat untuk menyelesaikan perkara-perkara itu.

Maka diperlukan koordinasi lintas instansi seperti kepolisian, perusahaan media, Dewan Pers maupun organisasi jurnalis. "Perangkat hukum sudah ada, seperti Undang-Undang Pers. Tapi dibutuhkan infrastruktur kelembagaan agar bekerja secara efektif. Itu tergantung komitmen masing-masing lembaga," sambung Gading.

LBH Pers berkomitmen untuk mendampingi jurnalis yang mendapatkan kekerasan maupun yang bermasalah dengan perusahaan, semisal di-PHK sepihak. "Isu kekerasan sama seperti korupsi, itu isu yang jelas. Banyak pihak yang mau melawan kekerasan. Pemahaman tentang jurnalis bagi aparat penegak hukum juga harus ditingkatkan," tutur Gading.

Baca juga artikel terkait EKSPLOITASI JURNALIS atau tulisan lainnya dari Adi Briantika & Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika & Irwan Syambudi
Penulis: Adi Briantika & Irwan Syambudi
Editor: Restu Diantina Putri