Menuju konten utama

Eksploitasi Alam Sejak Masa Kolonial Penyebab Banjir di Lebak

Kontras dengan kondisinya kini, pada abad ke-19, Lebak justru sempat menjadi kawasan terlantar yang kurang berkembang.

Eksploitasi Alam Sejak Masa Kolonial Penyebab Banjir di Lebak
Warga mencari barangnya yang hilang terbawa banjir bandang di Kampung Nunggul, Lebak, Banten, Rabu (15/1/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/af/foc.

tirto.id - Lebak sempat menjadi sorotan sebagai salah satu kawasan terdampak banjir yang paling parah di awal Januari 2020. Setidaknya 245 hektare sawah yang ada di delapan desa lenyap akibat tertimbun lumpur dan bebatuan. Banjir bandang juga telah merusak tidak kurang dari 1.400 rumah, 23 jembatan, dan 19 sekolah.

Di samping akibat curah hujan yang tinggi, kerusakan ekologi dianggap menjadi pemicu terjadinya bencana banjir bandang di Lebak. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi, menegaskan: “Lebak merupakan wilayah rawan longsor yang disebabkan berbagai aktivitas eksploitatif.”

Eksploitasi alam di Lebak sebenarnya bukan hal baru, tetapi juga bukan produk lawas dari berabad-abad silam. Menurut Simon Felix Sembiring dalam bukunya Jalan Baru Untuk Tambang (2013: hlm. 25), sumber logam baru ditemukan di Lebak pada tahun 1924. Dua belas tahun kemudian, pemerintah kolonial Belanda baru membangun pertambangan di Cikotok, Lebak Selatan, yang menjadi titik permulaan eksploitasi bijih emas di Lebak.

Kontras dengan kondisinya kini, pada abad ke-19, Lebak justru sempat menjadi kawasan terlantar yang kurang berkembang. Dalam Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature (1982: hlm. 85), Robert Nieuwenhuys menjelaskan, hingga pertengahan abad 19, kawasan paling selatan dari Karesidenan Banten ini masih sangat miskin dan jarang ditinggali penduduk.

Menurut pertimbangan pemerintah kolonial, lanjut Nieuwenhuys, wilayah Lebak yang berbukit dan dikepung banyak rimba tidak cocok dijadikan lokasi perkebunan besar. Padahal pada paruh pertama abad 19, Belanda sedang gencar menerapkan cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa. Sebagai gantinya, lahan garapan rakyat di Lebak dipusatkan di tanah-tanah yang dikendalikan oleh pejabat lokal.

Ironisnya, eksploitasi tenaga kerja di Lebak justru dianggap menjadi yang paling brutal jika dibandingkan perkebunan-perkebunan besar milik Belanda. Perlakuan semacam ini dilakukan Bupati, Patih, dan para Demang terhadap rakyat di pedesaan yang umumnya bekerja sebagai petani merangkap pedagang.

Penderitaan rakyat Lebak ini bahkan menginspirasi mantan Asisten Residen di Lebak, Eduard Douwes Deker menulis roman klasik Max Havelaar pada 1859.

Efek Dualisme Kekuasaan

Pada tahun 1808, Herman Willem Daendels mendarat di Anyer. Sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang juga mewakili kepentingan Perancis, Daendels tidak mau setengah-setengah memerintah negara koloni.

Di tahun yang sama, Dandels langsung membuat terobosan dengan mendirikan pemerintahan birokratis pertama di Jawa. Ia mengawali skema pemerintahannya ini dengan menghapus upeti dan kerja bakti rakyat. Daendels berharap dapat mereduksi kekuasaan Kesultanan Banten secara bertahap.

Menurut Nina Lubis, dkk, dalam Sejarah Banten: Membangun Tradisi dan Peradaban (2014: hlm. 192), terobosan radikal Daendels itu diikuti sejumlah kebijakan. Sebagai ganti penghapusan kepemilikan tanah dan supremasi terhadap rakyat, Sultan Banten diberikan tunjungan sebesar 15.000 ringgit per tahun yang membuatnya terikat pada segala kebijakan pemerintah kolonial.

“Hal ini berarti sultan dijadikan pegawai pemerintah kolonial,” tulis Nina, dkk. Sistem ini diteruskan oleh Raffles ketika Inggris berkuasa di Jawa pada 1811. Olehnya, status Sultan diubah menjadi Bupati dengan sebutan “bupati sultan.”

Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 (1984) mencatat kebijakan warisan Daendels justru melahirkan birokrat-birokrat korup dari latar belakang ningrat. Di tahun-tahun selanjutnya, para pejabat pamongpraja yang terdiri dari kerabat Sultan mulai menunjukkan perasaan tidak puas akan besarnya ganti rugi. Menggunakan berbagai cara, mereka berusaha kembali kepada kebiasaan-kebiasaan feodal.

Keadaan semakin bertambah parah setelah Sistem Tanam Paksa diperkenalkan Johannes van den Bosch pada 1830. Setelah keputusan akan pembagian tanah beralih kepada Belanda, hak milik sebuah tanah dipegang oleh penggarapnya. Akan tetapi, upeti yang tadinya dikutip oleh Sultan atau orang yang dianugerahi tanah itu beralih dipungut oleh pemerintah dalam bentuk sewa tanah.

Monopoli semacam itu bukan berarti tidak mempengaruhi kondisi di Lebak sebagai kawasan rimba. Menurut Kartodirdjo, rasa enggan para pamongpraja mengikuti sistem birokrasi buatan pemerintah kolonial menimbulkan kekacauan pada sistem administrasi tanah.

Di beberapa wilayah di Banten Selatan, para pejabat lokal saling berusaha mengklaim kembali tanah-tanah negara sebagai milik pribadi. Tanpa memikirkan konsekuensinya, mereka juga kembali membebankan upeti dan memberlakukan kerja bakti di kebun-kebun yang sedang digarap petani.

Pada tahun 1869, sebuah pengadilan kolonial digelar dengan memperkarakan kasus penipuan dan penyelewengan tanah oleh mantan Patih Lebak bernama Jayakusuma. Ia diketahui memaksa rakyat di Kadikaran--daerah di utara Rangkasbitung--untuk menggadaikan tanah negara kepadanya. Di samping itu, Jayakusuma sesekali masih meminta kepala desa menyediakan dua sampai empat orang pekerja tiap hari guna membuka kebun kelapa.

Secara umum, Lebak--juga beberapa wilayah lain di Karesidenan Banten--telah menerapkan sistem kekuasaan ganda. Para penguasa pribumi secara sadar masih menginginkan kekuasaan penuh, meskipun pada kenyataannya orang-orang kulit putih yang duduk manis di tingkat Karesidenan Banten ke atas juga mengharapkan loyalitas. Maka tidak heran jika kerap terjadi pengelabuan terhadap para pengawas Belanda di daerah.

“Sejak semula, pemerintah [kolonial] telah dihalang-halangi untuk memperoleh informasi yang sebenarnya mengenai keadaan tanah-tanah kesultanan, sehingga orang-orang yang telah dianugerahi tanah-tanah itu dapat terus mengutip upeti-upeti yang tradisional,” tulis Kartodirdjo.

Pemerasan Tenaga Kerja

Dalam novel Max Havelaar yang termasyur, Eduard Douwes Deker atau yang juga dikenal dengan nama pena Multatuli, menceritakan panjang lebar praktik-praktik buruk para penguasa pribumi di Lebak. Banyak sejarawan yang beranggapan bahwa sejatinya tulisan Multatuli adalah catatan pengalamannya sendiri ketika masih menjabat Asisten Residen yang bertugas di Lebak pada 1856.

Seperti yang dicatat oleh Slametmuljana dalam Nasionalisme Sebagai Modal Perjuangan Bangsa Indonesia (1968: hlm. 85), tepat satu bulan setelah tiba di Lebak pada 22 Januari 1856, Douwes Deker melayangkan surat rahasia kepada Residen Banten Brest van Kempen. Suratnya itu berisi tuduhan bahwa Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanagara telah membunuh mantan Asisten Residen sebelumnya yang berusaha menasehati agar berhenti menyalahgunakan kekuasaan.

Masa tugas Douwes Dekker di Lebak tergolong sangat singkat. Ia hanya berdinas selama beberapa bulan, dari bulan Januari sampai April 1856. Perasaan tidak nyaman di tingkat pemerintahan pusat timbul tatkala Residen Banten meneruskan tuduhan terhadap Bupati Lebak kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Akibat tekanan dari pusat, Douwes Dekker pun memilih mengundurkan diri.

Kejadian yang dirangkum oleh Robert Nieuwenhuys dengan julukan Lebak Affair itu dibenarkan oleh hasil penelitian Sartono Kartodirdjo terhadap catatan-catatan yang ditinggalkan Douwes Dekker. Sistem birokrasi buatan pemerintah kolonial dianggap berhasil melukai sistem tradisional yang berakibat pada penggunaan tenaga petani yang melambui batas.

“Selain diwajibkan menyerahkan pelbagai macam upeti seperti beras, kerbau, dan uang, rakyat juga diharuskan melakukan pelbagai kerja bakti seperti menjaga rumah anggota-anggota pamongpraja, membersihkan kebun-kebun mereka, mencari kayu bakar bagi mereka, mencari rumput untuk kuda-kuda mereka, dan sebagainya,” tulisnya.

Penelitian Nina Lubis, dkk, menyebut Karta Natanagara pernah menjadi demang di daerah Balaraja sebelum diangkat menjadi Bupati. Dia dianggap berjasa meredakan pemberontakan petani yang dipimpin oleh seorang perempuan bernama Nyai Gumparo. Atas jasanya itu, Karta Natanagara dianugerahi gelar Bupati Lebak oleh Belanda.

Baca juga artikel terkait BANJIR LEBAK atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Mild report
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Eddward S Kennedy