Menuju konten utama

Ekspansi Uniqlo untuk Jadi Nomor Satu Dunia

Uniqlo baru saja membuka toko flagship seluas 2.700 meter persegi di Singapura bulan lalu. Tadashi Yanai, sang pendiri, bertekad menjadikan Uniqlo menjadi retail pakaian nomor 1 dunia. Bisakah ia meraih sukses itu meski telah gagal di pasar Amerika Serikat dan Eropa?

Ekspansi Uniqlo untuk Jadi Nomor Satu Dunia
Toko Uniqlo terbesar dunia di Shanghai.Uniqlo adalah ritel pakaian Jepang. Ini beroperasi di banyak negara termasuk AS. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Perusahaan retail pakaian yang satu ini tak ubahnya virus. Ia menyebar ke mana-mana dalam waktu relatif singkat. Di Indonesia, sejak membuka cabang pertama pada 2013, Uniqlo kini sudah punya 10 cabang yang berlokasi di mal-mal terbesar sekitar Jakarta.

Bulan lalu, pendiri Fast Retailing—perusahaan induk dari Uniqlo—Tadashi Yanai meresmikan toko seluas 2.700 meter persegi di Singapura.

"Saya melihat Singapura sebagai pusat Asia Tenggara,” katanya kepada The Straits Times. "Singapura punya posisi kritikal di gerbang selatan-barat—yang memungkinkan kami tak hanya mengakses pasar ASEAN, tapi juga Timur Tengah, dan nantinya Afrika.”

Jelas sekali fokus Yanai dalam jawaban itu: Uniqlo berniat menjadi retail pakaian nomor satu di seluruh dunia.

Bahkan untuk menjadi merek nomor satu, ia hanya butuh melampui tiga merek di atasnya, yakni Nike, Zara, dan H&M. Brand value Uniqlo—menurut data Millward Brown—sudah meninggalkan Adidas, merek super populer asal Jerman yang sudah berdiri puluhan tahun sebelum Fast Retailing.

Sebagai bisnis retail pakaian, Uniqlo hanya kalah dari Zara, H&M, dan GAP. "Tiga perusahaan di atas kami bertumbuh berkat Uni Eropa. Tapi sekarang adalah waktu untuk Asia,” katanya.

Yanai tentu merujuk pada Uniqlo sebagai brand asal Asia. Di Jepang sendiri, Fast Retailing telah membuatnya menjadi orang terkaya nomor 1 versi majalah Forbes. Tahun lalu ia mengumumkan target pendapatan Uniqlo mencapai 5 triliun yen pada 2020. Angka yang cukup ambisius jika melihat pendapatan tahun anggaran 2015 ditutup pada angka hanya 1,38 triliun yen.

Keputusannya membuka toko flagship di Singapura salah satunya untuk menuju ke target 2020. Sebab sambutan di Amerika dan Eropa tak terlalu menggembirakan. Pada 2005, Uniqlo membuka tiga toko di New Jersey, Amerika Serikat dan ditutup pada 2007. Tahun ini, sejak Januari hingga Juni, The Economist mencatat sudah ada lima toko Uniqlo yang ditutup di AS.

Menurut berita-ulasan di The Economist, brand Asia sulit memenangkan pasar di Amerika Serikat karena menyesuaikan dengan selera pasar barat memerlukan waktu. Ada perbedaan budaya. Misalnya kaus dalam. Di Jepang, kaus kutang adalah salah satu produk paling populer. Menurut Dairo Murata, analis pada bank JP Morgan Chase, orang Amerika dan Eropa jarang memakai baju dalaman seperti itu.

Soal ukuran juga menjadi masalah. Baru dua tahun lalu Uniqlo menyadari bahwa ukuran XL-nya kurang besar untuk ukuran orang Amerika. Maka, merek ini sekarang menyediakan ukuran-ukuran besar hingga XXXL.

Masalah lainnya adalah harga. Jika melihat bahan, Uniqlo memang punya kelebihan, tepatnya perbedaan dengan produk pakaian lain . Tapi di daerah semacam Connecticut, harganya masih kemahalan. Ia kalah saing dengan Primark, toko baru dari Irlandia yang harga-harga bajunya sangat murah.

"Pengunjung mal ternyata konservatif dari segi fashion dan juga belanja," kata F.K. Grunert, manajer leasing Uniqlo.

Yang paling mungkin dilakukan adalah memperkuat lini penjualan online dan berkonsentrasi di pusat-pusat urban. Merujuk kegagalan Alibaba yang ingin menyaingi Amazon dengan 11 Main-nya, tampaknya penjualan online juga sama sekali tak mudah.

Yang tersisa adalah mengisi kesempatan di pusat-pusat kota. Baru saja Uniqlo membuka toko di Soho, Manhattan—bukan outlet di dalam mal—dan tampaknya berjalan dengan baik. Di Inggris Raya, dari 21 toko sejak 2002, kini yang tersisa hanya 10 dan 8 di antaranya ada di London.

Yanai mengakui bahwa pasarnya di Eropa dan Amerika memble dan rugi banyak. Uniqlo hanya dikenal di kota besar macam London dan New York. “Orang-orang tahu kami [Uniqlo] di tempat-tempat seperti New York. Tapi kami tak dikenal di daerah lain. Kami ingin orang-orang tahu produk kami, nama kami, dan falsafah kami,” katanya pada Fortune.

Meski Yanai tak menyerah dengan penolakan konsumen di Barat dan mengatakan akan tetap mengupayakan pasar Amerika dengan memulai pembeli di area metropolitan, gerakannya membuka toko "raksasa" di Singapura memperlihatkan ia mengarahkan fokus bisnisnya ke Asia.

Pada The Straits Times, Yanai memang tak menyebut angka pasti. Tapi ia berharap Asia Tenggara bisa meningkatkan kontribusi ke pendapatan dari 10 persen menjadi 30 persen dalam waktu lima tahun ke depan.

Meski retail Singapura sedang lesu, Yanai meyakini langkahnya. "Singapura lebih dari sekadar pasar independen—saya melihatnya sebagai platform untuk menampilkan Asia.”

Terlebih Singapura memang tujuan wisata populer di Asia. “Jumlah turis yang datang ke Singapura berjumlah sama dengan populasinya, jadi saya tak melihat ada dampak negatif. Mempunyai flagship di sini masuk akal—bukan hanya untuk menampilkan brand, tapi juga komunitas lokal secara keseluruhan.”

Jika melihat jualan andalan Uniqlo, sebetulnya ini agak mengherankan. Produknya andalannya adalah atasan-atasan basic warna-warni dengan bahan Heattech dari produsen bahan garmen Toray yang cocok digunakan di musim dingin.

“Kami mengotak-atik bahan fiber sintetis dengan rekayasa molekuler, diatur polimerisasinya sehingga dicapai bahan tertentu. Misalnya Heattech konsepnya adalah heat-sealing. Heattech adalah bahan yang bisa menahan panas yang keluar dari badan agar tak keluar dari tubuh,” kata Hasanudin Abdurakhman, general manager untuk pengembangan bisnis di Toray Indonesia.

Lalu mengapa Uniqlo bisa populer di Singapura, juga Jakarta—sehingga dalam waktu 3 tahun ada 10 toko?

Hasan memperkirakan konsumen Jakarta yang membeli pakaian berbahan Heattech saat hendak bepergian ke negeri saat musim dingin. Selain itu, brand ini juga punya produk berbahan Airism yang punya sifat sebaliknya: membuat badan adem.

Pemilihan bahan yang khusus macam ini memang membuat Uniqlo tak bisa membuat harga produknya menjadi lebih ekonomis. Itu membuat Uniqlo tak laku di daerah-daerah non-kota di Amerika Serikat. Uniqlo juga barangkali akan kesulitan jika membuka toko di kota-kota Indonesia selain Jakarta.

Tapi itu adalah pilihan sadar sang pendiri, meski ia tahu perkara harga ini akan menjadi kendala bagi ambisinya untuk jadi produsen pakaian retail nomor satu di dunia.

“Saya tak tertarik menjadi yang termurah. Saya ingin dihargai karena menawarkan produk bagus. Dikenal sebagai produk murah itu menyedihkan,” kata Tadashi Yanai dalam ulasan khusus mengenai dirinya pada The Telegraph.

Baca juga artikel terkait UNIQLO atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Bisnis
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Suhendra & Suhendra