Menuju konten utama

Ekspansi Kolonial di Balik Jalur Sepur Surabaya-Vorstenlanden

Demi penyerapan maksimum atas komoditas, pemerintah kolonial membangun jalur kereta api Surabaya-Vorstenlanden. Kepentingan militer pun turut terpenuhi.

Ekspansi Kolonial di Balik Jalur Sepur Surabaya-Vorstenlanden
Masinis menjalankan lokomotif uap E1060 "Mak Itam" yang membawa gerbong penumpang saat uji coba di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Sabtu (26/11/2022).ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/hp.

tirto.id - Kereta api hadir di Indonesia untuk kebutuhan transportasi komoditas pada pertengahan abad ke-19. Sejak cultuur stelsel diterapkan di Jawa, Hindia Belanda bertransformasi menjadi salah satu eksportir kakap komoditas hasil bumi dan terhubung dengan jaring perdagangan internasional.

Meningkatnya kuantitas produksi hasil bumi menuntut pula peningkatan sistem dan teknologi transportasi. Moda transportasi yang cepat, efisien, dan dapat mengangkut dalam volume besar menjadi keharusan demi lancarnya distribusi.

Sudut-sudut Jawa saat itu memang sudah terhubung oleh akses jalan raya. Namun, kondisinya tidak terlalu baik.

“Buruknya kondisi jalan raya karena pada umumnya jalanan tersebut terbuat dari tanah yang tidak diperkeras,” tulis sejarawan Waskito Widi Wardojo dalam Spoor Masa Kolonial: Dinamika Sosial Ekonomi Masyarakat Vorstenlanden 1864-1930 (2013, hlm. 54).

Sejak 1840-an, muncul berbagai gagasan untuk membangun jalur kereta api di Jawa sebagai jalan keluar untuk masalah pengangkutan ini. Namun, jalur kereta api di Jawa baru benar-benar terwujud dua dekade kemudian setelah melalui tarik ulur yang panjang.

Jalur kereta api pertama itu mengular dari Desa Kemijen di Semarang hingga Tanggung yang kini masuk wilayah Kabupaten Grobogan. Jalur itu mulai dibangun pada 17 Juni 1864 oleh perusahaan Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM).

Tiga tahun kemudian atau pada 10 Agustus 1867, jalur ini mulai beroperasi. Pembangunan jalur kereta api kemudian berlanjut dari Tanggung hingga ke Vorstenlanden.

Menurut Iman Subarkah dalam Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita (1992, hlm. 30), jalur ini dibangun dalam enam tahap sejak 1868 hingga 1873. Melalui jalur yang berakhir di Yogyakarta inilah, komoditas gula, indigo, tembakau, hingga kopi diangkut ke kota pelabuhan Semarang.

SS Menghubungkan Surabaya dan Madiun

Setelah berhasil menghubungkan Semarang-Vorstenlanden, NISM juga mendapatkan konsesi untuk membangun jalur lain. Namun, pembangunannya urung terlaksana karena kondisi keuangan NISM masih sulit.

Pasalnya, NISM sudah jorjoran untuk pembangunan jalur Semarang-Vorstenlandan dan juga Batavia-Buitenzorg. Bahkan, NISM sempat mendapatkan bantuan modal dari pemerintah kolonial untuk pembangunan jalur Semarang-Vorstenlanden.

“Pembangunan jalur kereta api ini sempat macet pada April 1870 lantaran kekurangan dana. Oleh Gubernur Jenderal, NISM diberi pinjaman sebesar f175.000 untuk menyelesaikan pembangunan,” tulis Waskito Widi Wardojo (hlm. 62).

Ketidaksanggupan NISM mengerjakan konsesi yang sudah diberikan membuat pemerintah kolonial putar otak karena kebutuhan akan jalur kereta api semakin mendesak. Pada 6 April 1875, pemerintah Hindia Belanda akhirnya mendirikan perusahaan kereta api pelat merah Staatsspoorwegen (SS) demi melanjutkan proyek jalur kereta apinya.

“SS didirikan untuk mengubah keadaan di beberapa wilayah subur yang memerlukan sarana transportasi yang lebih baik,” demikian tertulis dalam Boekoe Peringatan dari Staatspoor en Tramwegen di Hindia Belanda 1875-1925 (1925, hlm. 8).

Tak lama kemudian, SS mendapatkan tugas untuk membangun jalur kereta api yang menghubungkan Surabaya, Pasuruan, dan Malang. Itu adalah salah satu jalur yang urung dibangun oleh NISM.

Jalur dari Surabaya menuju Malang itu direncanakan melewati Pasuruan. Tujuannya tentu saja untuk memperlancar pengangkutan komoditas hasil bumi di ketiga daerah itu. Salah satu produk penting dari daerah yang dilewati jalur itu, terutama Pasuruan, adalah gula.

“Karesidenan Pasuruan merupakan salah satu tempat penanaman tebu yang sangat berhasil,” tulis Robert van Niel dalam Sistem Tanam Paksa di Jawa (2003, hlm. 34).

Dimulai pada 1875, SS membangun jalur dari Surabaya-Malang dalam empat tahap. Pembangunan rampung pada 1878. Usai berhasil membangun jalur pertamanya, SS tak perlu waktu lama untuk kembali mendapatkan izin pembangunan jalur baru dari Surabaya ke arah barat.

Seturut Staatsblad Nomor 201 tanggal 6 Juni 1878, SS diamanatkan membangun jalur menuju Kertosono yang kemudian jalurnya bercabang menuju Blitar dan Madiun. Terkhusus jalur ke arah Madiun, ia mulai dioperasikan oleh SS pada 1 Juli 1882.

Berlanjut ke Vorstenlanden

Nalar kapital pun bekerja di jalur-jalur kereta api yang baru itu. Pemerintah kolonial tentu tak ingin mengabaikan begitu saja potensi penyerapan komoditas seperti kopi, gula, dan beras dari wilayah Madiun dan sekitarnya.

Memorie Omtrent de Aanvraag om Concessie voor de Lijnen Batavia-Bandong, Tjilatjap-Djocjokarta en Soerakarta-Soerabaya-Probolingo (1874) menyebut bahwa beras merupakan komoditas yang paling banyak dihasilkan oleh Madiun dan daerah sekitarnya, seperti Pacitan. Sementara itu, ada pula Ponorogo yang juga kaya gula dan kayu jati.

Digerakkan oleh kebutuhan ekspansi dan penyerapan maksimal atas hasil bumi pedalaman Jawa, SS pun menerbitkan rencana menghubungkan Surabaya dan Vorstenlanden melalui Madiun.

Pembangunan jalur Madiun hingga Vorstenlanden dikukuhkan melalui Staatblad Nomor 138 tertanggal 25 Mei 1880.

Secara umum, wilayah yang bakal dilewati rel SS merupakan dataran rendah. Maka tak perlu teknik khusus untuk mewujudkan jalur itu. Jalur Madiun-Vorstenlanden bakal melewati sungai-sungai besar, salah satunya Bengawan Solo. Solusinya mudah, bangun saja jembatan.

Infografik Jalur KA Surabaya Vorstenlanden

Infografik Jalur KA Surabaya Vorstenlanden. tirto.id/Ecun

Setelah SS ditetapkan sebagai pengembang konsesi jalur Madiun-Vorstenlanden, beberapa pengusaha juga turut nimbrung. Mereka melayangkan proposal untuk membangun jalur yang menghubungkan Madiun dan daerah sekitarnya.

“Dari 1882 hingga 1884, pemerintah kolonial menerima sebanyak lima konsesi yang berisi rencana pembangunan jalur Madiun-Ponorogo-Slahung, Ponorogo-Sumoroto, Madiun-Rejosari, dan Madiun-Tulungagung,” ungkap S.A. Reitsma dalam Indische Spoorweg Politiek deel VII (1920, hlm. 64-65).

Pemerintah kolonial menolak semua konsesi itu. Namun di abad ke-20, SS membangun beberapa jalur yang semula diajukan swasta itu, seperti Madiun-Ponorogo, Ponorogo-Slahung, dan Ponorogo-Badegan. Rasionalisasinya: hasil-hasil bumi yang dibawa dari Ponorogo atau daerah sekitarnya akan diangkut dan disimpan di Madiun untuk kemudian dibawa ke pelabuhan Semarang atau Surabaya.

Terhubungnya Surabaya-Vorstenlanden

Menurut Iman Subarkah, pembangunan jalur Madiun-Vorstenlanden sepanjang 157 km ini dibangun dalam tiga tahap. Tahap pertama sepanjang 26 km dari Madiun menuju Paron. Jalur kedua lalu menghubungkan Paron dan Mojosragen sepanjang 42 km. Jalur ketiga sepanjang 29 km dari Mojosragen hingga Surakarta.

Peresmian pengoperasian jalur Madiun-Vorstenladen diadakan pada 29 Mei 1884. Namun sebelum acara peresmian itu dimulai, beberapa warga Surakarta melakukan demonstrasi. Bataviaasch Handelsblad (29 Mei 1884) menyebut demonstrasi itu dipicu oleh ketidakpuasan warga atas tarif yang ditetapkan oleh SS.

Meskipun demikian, acara peresmian tetap berlangsung meriah. SS mengadakan semacam pesta yang dihadiri oleh pejabat, pengusaha, serta perwakilan Kasunanan dan Mangkunegaran. Hari pembukaannya ditandai dengan pengoperasian satu kereta SS dari Madiun yang kemudian berhenti di Mojosragen.

Kereta lalu melanjutkan perjalanan lagi hingga berakhir Surakarta. Seturut pemberitaan Soerabaijasch Handelsblad (26 Mei 1884), kedatangan kereta perdana itu mendapat sambutan meriah dari para undangan yang hadir.

SS kemudian melengkapi jalur ini dengan beberapa stasiun baru dan jaringan telegraf. Tak ketinggalan pula pembangunan gudang-gudang penyimpanan komoditas di sekitar stasiun.

Java Bode (7 Juni 1880) menyebut pemerintah kolonial memetik beberapa keuntungan dari jalur baru ini. Yang terang, jalur ini menghubungkan lokasi sumber produksi dan pelabuhan. Lain itu, memobilisasi militer juga dipermudah.

Baca juga artikel terkait KERETA API atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi