Menuju konten utama

Ekonomi Rentan Stagnan Jika Pemberantasan Korupsi Mangkrak

Korupsi dapat mengurangi kualitas pertumbuhan ekonomi dan semakin melebarkan jurang ketimpangan.

Ekonomi Rentan Stagnan Jika Pemberantasan Korupsi Mangkrak
Buruh yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Jombang, Jawa Timur, Rabu (18/9/2019). ANTARA FOTO/Syaiful Arif/pras.

tirto.id - “Setuju.”

Begitulah jawaban yang dilontarkan sekitar 102 anggota DPR RI ketika Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menanyakan apakah revisi Undang-Undang KPK dapat disahkan menjadi Undang-Undang pada Selasa (17/9) siang kemarin.

Dari total sepuluh fraksi, tujuh di antaranya—enam partai merupakan koalisi pendukung Jokowi—menerima usulan tanpa catatan. Dua partai yang menolak ialah PKS dan Gerindra, yang tidak setuju dengan keberadaan dewan pengawas—dipilih langsung presiden tanpa fit and proper test. Sementara sisanya, Demokrat, belum memberikan pendapat.

“Kita semua mengharapkan agar rancangan Undang-Undang atas UU 30 Tahun 2002 tentang KPK bisa disetujui bersama,” kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoli yang juga mewakili Jokowi.

“Izinkan kami mewakili presiden, dengan mengucap syukur, presiden menyatakan setuju rancangan UU 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk disahkan menjadi Undang-Undang.”

Musuh Bersama

Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum berjalan maksimal. Menurut laporan Corruption Perceptions Index 2018 yang disusun Transparency International, Indonesia menempati peringkat 89—dari 180 negara—dengan nilai 38/100.

Pencapaian Indonesia tak berbeda ketimbang tahun lalu manakala menempati peringkat 96 dengan skor 37. Dalam laporan CPI, ketika nilai mendekati angka 0, negara dipersepsikan sangat korup. Sebaliknya, bila skor negara menuju 100, maka peluang negara tersebut bersih dari korupsi terbuka lebar.

Apa yang diperoleh Indonesia seperti merepresentasikan kawasan Asia-Pasifik secara umum. Dibanding kawasan yang lain, tulis Transparency International, Asia-Pasifik tergolong sedikit membuat kemajuan dalam perang melawan korupsi. Rata-rata skor yang didapat negara-negara di dalamnya (total 31 negara) adalah 44/100.

Faktor yang menyebabkan mengapa pemberantasan korupsi di wilayah Asia-Pasifik masih berjalan di tempat, menurut Transparency, ialah melemahnya institusi demokrasi dan hak-hak politik secara keseluruhan.

Rendahnya skor yang diterima Indonesia dalam dua tahun berturut-turut membuktikan korupsi masih jadi masalah besar. Korupsi mendorong kerugian di berbagai lini kehidupan, baik politik maupun sosial, hingga ekonomi.

Untuk yang disebut terakhir ini dampaknya juga tak main-main. Penelitian Ari Kuncoro berjudul “Corruption and Business Uncertainty in Indonesia” yang diterbitkan di ASEAN Economic Bulletin (2006) menjelaskan bahwa korupsi bisa membuat efisiensi ekonomi terhambat karena adanya praktik suap, nepotisme, hingga penyelewengan pajak.

Di masa Orde Baru, relasi korupsi dan ekonomi begitu paradoks: pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi korupsi juga sama tingginya. Hal tersebut, tegas Kuncoro, “belum pernah terjadi negara yang punya kultur korupsi lainnya.”

Korupsi di masa Orde Baru seringkali dilakukan secara lebih terpusat sehingga mudah diprediksi. Pelakunya kebanyakan ialah elite pemerintahan dan militer yang bermitra dengan konglomerasi Cina. Selain itu, korupsi juga dilakukan anak-anak Soeharto lewat berbagai proyek bersama pihak swasta.

Toke Aidt dalam “Economic Analysis of Corruption: A Survey,” yang diterbitkan di The Economic Journal (2003), menjelaskan ada tiga kondisi yang mendorong munculnya korupsi: otoritas yang diskretif, terciptanya rente ekonomi, serta institusi yang lemah.

Perburuan rente menjadi faktor krusial bila ingin melihat bagaimana korupsi muncul di era Orde Baru. Tanpa adanya pengawasan, pemberian sanksi, maupun penegakan aturan yang ketat sekaligus konsisten, rente tidak sekadar menjadi sebuah wacana, tapi juga bisa terealisasi.

Pada dasarnya, konsep ekonomi rente menjelaskan relasi antara pengusaha dan pemerintah. Di era Orde Baru, pengusaha kerap mencari privilese dari pemerintah dalam wujud lisensi, kemudahan birokrasi, hingga proteksi. Upaya pemenuhan privilese tersebut biasanya dilakukan dengan suap dan korupsi.

Aksi perburuan rente pada masa Orde Baru bisa ditelusuri jejaknya lewat kesepakatan bisnis besar yang menikmati fasilitas monopoli dengan birokrasi. Perusahaan yang terlibat mayoritas dikuasai oleh pihak-pihak yang punya koneksi khusus dengan elite pemerintahan—dalam banyak kasus dengan Soeharto. Fasilitas itu membikin para pengusaha punya dua keuntungan: mendapatkan laba berlebih serta mencegah pesaing masuk pasar.

Yang jadi masalah adalah ketika produk dari lobi tersebut berbuah kebijakan. Proses lobi yang dilakukan pengusaha terhadap pemerintah pun rentan penyelewengan karena memperlambat pengambilan keputusan. Akhirnya, perekonomian tidak tanggap merespons perubahan-perubahan yang ada sebab terikat dengan proses lobi bisnis.

Kelompok kepentingan ini, pendeknya, memanfaatkan pemerintah untuk mencari rente ekonomi melalui proses politik yang kelak berpengaruh terhadap kebijakan publik. Praktik perburuan rente yang hanya menguntungkan kelompok tertentu itulah menyebabkan kebijakan bikinan pemerintah menjadi tidak efisien.

Secara umum korupsi berperan mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan kualitas infrastruktur dan pelayanan publik, mengurangi pemasukan dari pajak, serta memperkuat relasi pemerintah-pencari rente yang kemudian mendistorsi komposisi pengeluaran pemerintah.

Dengan kata lain, korupsi menimbulkan inefisiensi sekaligus pemborosan dari sumber ekonomi yang ada karena tak semua hasil pengelolaan sumber daya ekonomi dikembalikan sebagai modal perputaran ekonomi. Hasil dari korupsi juga dipakai untuk kegiatan foya-foya atau dilarikan ke rekening pribadi di luar negeri—alih-alih mengalir ke sektor investasi.

Korupsi pada hakikatnya adalah misalokasi sumber daya. Korupsi memindahkan sumber daya dari kegiatan produktif yang memiliki manfaat sosial tinggi ke kegiatan tidak produktif serta menciptakan biaya sosial.

infografik larangan korupsi luar dalam negeri

infografik larangan korupsi luar dalam negeri

Desentralisasi Menambah Pelik

Usai Orde Baru kolaps, masih mengutip laporan Kuncoro, pola korupsinya turut berubah. Sistem politik terpusat telah berganti dengan desentralisasi di mana kekuasaan terdistribusi hingga ke jenjang pemerintahan yang lebih rendah. Desentralisasi, sialnya, memperparah korupsi karena pelakunya bertambah banyak.

Airin Nuraini, dalam tesisnya di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang berjudul “Dampak Korupsi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia (PDF, 2013), menjelaskan bahwa pasca-pemberlakuan otonomi daerah, korupsi oleh eksekutif dan legislatif makin lumrah terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Yang dikorupsi adalah APBD.

Korupsi ini terjadi karena persekongkolan antara DPRD dan Eksekutif. Banyak fakta yang mengungkapkan kedua pihak bertindak sebagai pelaku, karena memiliki kewenangan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan APBD.

Penyimpangan yang terjadi, catat Airin, dimulai dari proses penyusunan APBD yang kurang melibatkan partisipasi masyarakat. Proses penyusunan APBD melahirkan anggaran belanja rutin yang membengkak, dengan porsi untuk belanja rutin lebih sedikit daripada belanja pembangunan. Orientasi eksekutif-legislatif condong ke belanja aparat, alih-alih pembangunan yang berorientasi publik.

Di tingkat daerah, korupsi juga dapat dipahami sebagai wujud perburuan rente ekonomi, dengan banyaknya kasus APBD yang diselewengkan secara berjamaah. Hal tersebut muncul imbas dari proses politik yang memakan biaya cukup tinggi.

Pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berkualitas akibat korupsi. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang dicapai justru tidak dapat mengentaskan angka kemiskinan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, menyerap tenaga kerja, serta mengurangi ketimpangan. Pertumbuhan ekonomi yang beriringan dengan korupsi hanya akan dinikmati oleh segelintir kelompok saja.

Di saat bersamaan, korupsi juga berpengaruh langsung terhadap tingkat investasi. Pihak swasta tidak akan bersedia memberikan modalnya untuk pembangunan daerah sebab mereka tahu bahwa praktik-praktik di daerah bersangkutan dipenuhi suap hingga lobi-lobi kotor.

Berdasarkan laporan Bank Dunia, Indonesia duduk di peringkat 73 dari 190 negara dalam indikator kemudahan berbisnis pada 2018. Peringkat Indonesia turun satu angka dibanding tahun sebelumnya. Sementara catatan BPS memperlihatkan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh 5,05 persen pada Triwulan II 2019.

Angka-angka di atas bisa dibilang tidak terlalu istimewa untuk ukuran negara yang meyakini pertumbuhan ekonominya bisa melaju cepat. Dalam konteks pengesahan revisi UU KPK menjadi Undang-Undang yang memuat banyak pasal bermasalah, kondisi ekonomi Indonesia berpeluang jalan di tempat—atau bahkan mundur perlahan.

Penyebabnya sudah jelas: pasal-pasal dalam Undang-Undang yang baru dapat melemahkan upaya-upaya KPK memberantas korupsi.

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf