Menuju konten utama

Ekonomi Lesu, Pajak Pribadi Dipacu

Direktorat Jenderal Pajak menggenjot pajak pribadi untuk mengejar target APBN. Pajak badan usaha tak bisa diharapkan saat ekonomi melambat.
Ada yang mengeluhkan ramainya kantor pajak tempat mereka lapor. Penggalian potensi pajak dari orang pribadi ini, menurut Menkeu, penting untuk mengurangi ketergantungan penerimaan pajak dari Wajib Pajak Badan.

Ekonomi Lesu, Pajak Pribadi Dipacu
Sejumlah warga melaporkan SPT Tahunan Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Matraman Jakarta. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Direktorat Jenderal Pajak menggenjot pajak pribadi untuk mengejar target APBN. Pajak badan usaha tak bisa diharapkan saat ekonomi melambat.

Di penghujung Maret, media sosial ramai keluhan tentang pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak. Ada yang mengeluhkan ramainya kantor pajak tempat mereka lapor. Tapi lebih banyak lagi yang mengeluh soal down-nya pajak.go.id, situs untuk melakukan e-filing, atau pelaporan SPT secara online.

Saking membludaknya pengunjung halaman e-filing, akhirnya situs tak bisa diakses. Ujungnya, Direktorat Jenderal Pajak memberi kelonggaran waktu sebulan untuk pelaporan SPT online. Tadinya, jika tak lapor hingga 31 Maret, wajib pajak akan kena denda Rp100 ribu. Tapi karena situs down, akhirnya pelaporan hingga 30 April tak dikenai sanksi.

Belakangan ini, Ditjen Pajak memang getol mengkampanyekan pembayaran pajak dan pelaporan SPT. Pelaporan secara online adalah satu jalan untuk memudahkan pelaporan sekaligus pencatatan pajak. Apalagi tahun ini pemerintah memang berfokus pada Wajib Pajak Orang Pribadi (WP-OP) sebagai salah satu siasat untuk mencapai target penerimaan pajak Rp1.368,5 triliun.

Pada 2015, angka penerimaan pajak pribadi memang melampaui target. Namun menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, “penerimaan dari Wajib Pajak Orang Pribadi itu terus terang masih sangat kecil.” Penggalian potensi pajak dari orang pribadi ini, menurut Menkeu, penting untuk mengurangi ketergantungan penerimaan pajak dari Wajib Pajak Badan.

Pajak pribadi bisa dimaksimalkan karena jumlah setorannya tak seperti pajak badan yang tergantung iklim usaha dan ekonomi secara keseluruhan. Pajak badan nilainya bisa turun-naik, bergantung pada keuntungan yang dihasilkan oleh badan usaha itu. Saat ekonomi lesu atau mengalami perlambatan, penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan sangat mungkin tak optimal.

Jika mencermati Laporan Ditjen Pajak pada 2015, datanya memang mendukung fokus pemerintahan sekarang. Dalam laporan itu, tercatat pertumbuhan pendapatan pajak dari Mei 2014 ke Mei 2015. PPh Badan nilainya memang naik, tetapi kenaikannya tak sebesar pertumbuhan pajak pribadi.

PPh Badan tahun lalu berdasar data Mei 2014 sampai Mei 2015 tumbuh sebanyak 11,17 persen, sedangkan PPh Orang Pribadi naik sebesar 15,68 persen, dan PPh Pasal 21 (pegawai) naik 10,59 persen.

Adapun proporsi pendapatan dari PPh Pasal 21, pada 2014 sebesar 10,72 persen, sedangkan Pajak Badan sebesar 15,10 persen. Penerimaan PPh Orang Pribadi (Pasal 25/29) jauh lebih kecil lagi: hanya mencakup 0,48 persen dari total penerimaan pajak Rp985 triliun.

Jika dijumlahkan, pendapatan pajak PPh 21 dan PPh 25/29 itu masih kecil: hanya sebesar 11,2 persen. Angka itu menunjukkan bahwa pendapatan dari pajak pribadi masih sangat kecil. Padahal, potensinya bisa dimaksimalkan. Pada 2014, kepatuhan pajak pribadi hanya 59,67 persen dari 27,68 juta wajib pajak, sedangkan pajak badan angka kepatuhannya 47,05 persen dari 2,4 juta wajib pajak.

Pernyataan menteri keuangan itu didukung oleh Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi dengan data statistik kelas menengah. "Saat ini tercatat ada 129 juta masyarakat kelas menengah dengan pengeluaran Rp100 ribu hingga Rp200 ribu per hari. Namun, baru 27 juta di antaranya yang telah memiliki NPWP," katanya, seperti dilansir situs resmi Kementerian Keuangan, kemenkeu.go.id.

Melihat Pertumbuhan Kelas Menengah dari Jumlah Simpanan

Ihwal potensi penerimaan yang bisa didapat dari wajib pajak pribadi, gambarannya bisa dilihat dari data uang simpanan di bank. Prastowo Yustinus, Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), juga merujuk akumulasi simpanan dan kekayaan sebagai indikasi besarnya potensi pajak pribadi.

Selain kaum pegawai dan profesional, pemilik usaha juga masuk kategori wajib pajak pribadi. Saat ekonomi lesu, nilai setoran Wajib Pajak Badan bisa mengecil karena biasanya keuntungan usaha menipis. Tapi, belum tentu pemilik badan usaha kehabisan kekayaannya. Badan usaha bisa saja bangkrut, tapi belum tentu pengusahanya ikut bangkrut. Salah satu indikator kepemilikan kekayaan seseorang adalah jumlah simpanan di bank.

Untuk melihat gambaran kemakmuran kelas menengah Indonesia, laporan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tentang jumlah nominal simpanan bisa dijadikan rujukan. Laporan Distribusi Bank Umum Desember 2015 menunjukkan dalam kurun November-Desember 2015 saja terjadi peningkatan nominal sebesar 4,83 persen untuk kelompok simpanan kurang dari Rp100 juta.

Pada Desember 2015, total nominal semua rekening di bawah Rp100 juta mencapai Rp668 triliun. Untuk rekening Rp100-200 juta, jumlah keseluruhannya hampir mencapai Rp254 triliun, sedangkan kelompok Rp200-500 juta, totalnya mendekati Rp394 triliun. Kelompok berikutnya adalah Rp500 juta-1 miliar yang nilainya hampir Rp370 triliun.

Selanjutnya, untuk kelompok Rp1-2 miliar, jumlah totalnya sebesar Rp359 triliun, sedangkan kelompok rekening Rp2-5 miliar jumlahnya mendekati Rp468 triliun. Jumlah nominal rekening terbesar ada pada kelompok simpanan di atas Rp5 miliar, yakni 1.960 triliun. Jika ditotalkan, pada Desember 2015, ada dana sebanyak Rp4.473 triliun dari 175,5 juta rekening yang terparkir di bank-bank dalam negeri.

Jika dilihat trennya selama enam tahun terakhir, jumlah simpanan pun meningkat terus meski melambat. Dari 2009 ke 2010, nominalnya naik sebesar 34,06 persen. Pada tahun tahun berikutnya mulai 2010 hingga 2015, jumlah simpanan naik dari tahun ke tahun, dengan pertumbuhan sebesar 19,37 persen; 15,79 persen; 13,10 persen; 12,37 persen; dan terakhir 2014 ke 2015 hanya tumbuh 7,41 persen.

Penyelarasan Transaksi Kartu Kredit dengan Laporan Pajak

Meski data keseluruhan simpanan bisa diakses dari data LPS, Ditjen Pajak tidak berwenang mengakses kekayaan wajib pajak yang ada dalam simpanan di bank. Oleh karenanya, kementerian keuangan sekarang membidik transaksi kartu kredit.

Kewajiban itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2016 tentang rincian jenis data dan informasi serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan. Peraturan yang berlaku sejak 22 Maret itu mewajibkan penerbit kartu kredit melaporkan data transaksi terperinci setiap pengguna kartu kredit.

Dari laporan itu, Ditjen Pajak bisa membandingkan data transaksi kartu kredit dengan profil wajib pajak. “Kita akan memadukan antara data transaksi kartu kredit dengan profil wajib pajak," kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pada Antara (1/4/2016).

Menteri Bambang mencontohkan, jika ada wajib pajak yang melaporkan pendapatan Rp5 juta sebulan, tetapi belanja kartu kreditnya mencapai Rp20 juta, maka pelaporan pajaknya harus diperbaiki.

Jumlah transaksi kartu kredit angkanya memang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Data nilai transaksi kartu kredit 2014 dan 2015 dari Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) mencatat kenaikan dari Rp250,2 triliun menjadi Rp273,1 triliun atau meningkat 9,2 persen.

Bersama angka peningkatan jumlah simpanan, kenaikan transaksi kartu kredit ini memperlihatkan kemakmuran dan daya beli kelas menengah yang tetap tumbuh meskipun lajunya juga melambat. Ekonomi boleh lesu, tapi pendapatan dari pajak pribadi bisa dipacu.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Maulida Sri Handayani