Menuju konten utama
Kasus Diabetes Melitus

'Ekonomi Belum Pulih': Gelombang Diabetes Anak Dinomorduakan?

Negara harus mengambil kebijakan yang radikal dan signifikan agar menurunkan faktor-faktor risiko penyakit tidak menular di Indonesia.

'Ekonomi Belum Pulih': Gelombang Diabetes Anak Dinomorduakan?
Ilustrasi Diabetes. foto/shutterstock

tirto.id - Belum selesai kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGPA) yang angkanya naik lagi, anak-anak kembali terancam kesehatannya lewat diabetes melitus (DM). Penyakit yang umumnya terjadi pada orang tua, kali ini menyerang anak-anak.

Pada awal Februari lalu, kepada Tirto, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) membeberkan data kenaikan tajam prevalensi DM di Indonesia selama 13 tahun terakhir. Untuk DM tipe-1 yang umurnya di bawah 18 tahun, angkanya naik 70 kali lipat dari 2010 hingga 2023: dari angka 0,028 menjadi 2 per 100.000 jiwa.

Sedangkan untuk DM tipe-2—yang biasanya terjadi pada orang dewasa—ternyata juga terjadi pada anak-anak. Angkanya berada di sekitar 5-10 persen.

Setidaknya, hingga 31 Januari 2023, total anak-anak yang terjangkit DM mencapai 1.645 pasien—yang 59,3 persen di antaranya adalah perempuan. Dari total angka tersebut, 46,23 persennya berumur 10-14 tahun, diikuti 5-9 tahun, 0-4 tahun, dan terakhir yang di atas 14 tahun.

Total angka tersebut setidaknya terjadi di 13 daerah: DKI Jakarta, Surabaya, Palembang, Padang, Medan, Bandung, Semarang, DI Yogyakarta, Solo, dan Denpasar. Menurut IDAI, kasus diagnosis di lapangan pasti lebih tinggi daripada yang tercatat.

Bahkan, data International Diabetes Federation (IDF) dalam IDF Atlas Reports, jumlah anak di bawah 20 tahun penyandang DM tipe-1 di Indonesia tercatat 13.311 kasus pada tahun 2022—tertinggi di Asia Tenggara.

Tenaga Ahli Kurang, Aturan Cukai Masih Tak Jelas

DM—atau yang biasa disebut dengan kencing manis—muncul akibat gangguan metabolisme dalam tubuh. Ia hadir karena peningkatan gula dalam tubuh berada di posisi di atas normal secara kronis.

Penyakit tersebut berawal dari gangguan yang terjadi pada hormon insulin yang dihasilkan kelenjar pankreas. Padahal, insulin tersebut berfungsi untuk mengatur penggunaan glukosa oleh otot, lemak atau sel-sel lain dalam tubuh.

Saat insulin terganggu dan produksinya berkurang, otomatis kadar gula dalam darah menjadi tinggi dan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein menjadi terganggu.

Secara umum, penyakit DM terbagi menjadi dua: tipe-1 dan tipe 2. Tipe-1 umumnya terjadi pada anak-anak karena faktor genetik, sistem imun yang lemah, hingga rusaknya sel beta pankreas sejak kecil. Sedangkan tipe-2 lebih banyak dialami oleh orang dewasa karena ragam faktor sosial seperti gaya hidup yang tidak sehat, jarang olahraga, diet tidak seimbang, hingga kebiasaan merokok.

Ketua Pengurus Pusat IDAI, Piprim B. Yanuarso menyebut, naiknya kasus DM tipe-2 pada anak-anak sangat berkaitan erat dengan pola makan. Apabila makanan seorang anak selalu tinggi karbohidrat, tinggi gula, tinggi tepung, apalagi ditambah tinggi minyak, itulah yang menjadi cikal bakal DM tipe-2.

Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terbaru pada 2018 menunjukkan, anak-anak sering makan makanan instan, yang mayoritas mengonsumsi 1-6 kali per minggu. Adapun makanan instan yang dimaksud termasuk mi instan, bubur instan, dan makanan instan lainnya.

Ini belum bicara soal tenaga ahli. Data terakhir International Paediatrics Association (IPA), dari 37 provinsi di Indonesia, hanya 17 provinsi yang memiliki dokter anak Endokrinologi atau dokter ahli yang menangani masalah kesehatan sehubungan dengan sistem endokrin anak.

Ketika ditanya soal minimnya tenaga ahli ini, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, tak menjawab tegas. Ia berdalih bahwa kasus DM bisa naik karena dua program utama lembaganya—CERDIK dan GERMAS—belum menjadi perilaku sehari-hari masyarakat Indonesia.

“Adanya Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM) serta meningkatkan pola perilaku membatasi konsumsi gula,” kata Nadia saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu (15/2/2023).

“Pengaturan kadar gula juga belum [ada],” tambahnya.

Pengaturan yang dimaksud Nadia adalah soal aturan bea cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang sedang digodok oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.

Sejak September lalu, lewat sebuah petisi, Koalisi Food Policy Indonesia mendesak agar cukai tersebut segera diterapkan efek buruk minuman berpemanis terhadap penyakit obesitas dan diabetes.

Menurut mereka, di level Asia Tenggara, Indonesia tertinggal dari Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia yang sudah menerapkan cukai minuman berpemanis. Lewat kebijakan fiskal tersebut diharapkan konsumsi minuman berpemanis di level masyarakat jadi menurun.

Kendati, sejumlah pengamat mewanti-wanti agar penerapan cukai bagi minuman berpemanis harusnya difokuskan ke industri besar. Sedangkan dispensasi khusus harus diberikan bagi industri kecil dan menengah (IKM): dibebaskan dari cukai.

Ekonomi Pulih Lebih Penting

Kepada Tirto, Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda menyebut, data kasus DM yang meningkat pada anak-anak hanya fenomena gunung es: bisa jadi kasus di lapangan lebih banyak. Apalagi di saat masih banyak warga yang belum bisa mengakses layanan kesehatan hingga ke dokter spesialis anak.

“Diabetes tipe-2 dengan angka 10 persen bukan berarti itu kecil, tapi kenaikan ini jadi peringatan kita semua bahwa selama ini memang akses ke makanan dan minuman sehat, dan lingkungan yang bisa menyehatkan anak-anak, masih jauh dari kata baik,” kata Olivia pada 15 Febaruari 2023.

Menurut Olivia, negara harus segera mengambil kebijakan yang radikal dan signifikan agar menurunkan faktor-faktor risiko penyakit tidak menular di Indonesia—salah satunya kasus DM.

“Generasi muda yang harusnya bisa hidup sehat dan produktif optimalkan hidup agar bisa berkontribusi ke negara, tapi harus sakit di usia yang sangat muda,” kata dia.

Olivia menambahkan, “Ini harusnya jadi bahan perhitungan pemerintah segera bebenah total beban kesehatan, beban ekonomi, dan lain-lain yang akan ditanggung oleh negara karena penyakit ini.”

Tak hanya soal aturan cukai yang masih mandek, Olivia mendesak agar negara segera bikin kebijakan untuk memastikan lingkungan anak-anak lebih sehat: kantin dengan makanan dan minuman yang lebih sehat, pembatasan pemasaran minuman berpemanis di lingkunga sekolah dan iklan di rumah, subsidi makanan sehat, hingga infrastruktur yang memadai agar anak-anak lebih mudah akses kegiatan fisik.

Kebijakan seperti di atas perlu diterapkan di saat cukai soal minuman berpemanis belum diterapkan.

“Menjamurnya banyak sekali minuman manis, store minuman manis tak terkontrol, aksesnya cukup dekat untuk masyarakat terutama anak-anak, akses anak terhadap minuman manis sangat mudah, untuk bisa dibatasi segera dengan kebijakan cukai,” katanya.

Menanggapi ragam kritikan tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengaku bahwa saat ini lembaganya sedang melakukan kajian pendalaman dan menjaring masukan para pemangku kepentingan

“Kami terus berkoordinasi. Tindak lanjut akan didasarkan pada hasil kajian pendalaman. Termasuk mematangkan kerangka hukum, sistem administrasi, dan juga konsultasi dengan Komisi XI DPR,” kata Yustinus kepada Tirto, Kamis (16/2/2023).

Masalahnya, ucapan Yustinus sendiri sedikit berbeda dengan Direktur Jenderal Bea dan Cukai (Dirjen Bea Cukai) Kementerian Keuangan, Askolani, yang menyebut bahwa kemungkinan penerapan cukai baru terlaksana pada 2024. Salah satu alasannya karena ekonomi Indonesia yang masih lesu.

Padahal, Presiden Joko Widodo sendiri sudah meneken Perpres No 130 tahun 2022 tentang Rincian Tahun Anggaran 2023 pada 30 November 2022, yang salah satunya soal target penerimaan cukai dari plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).

Dalam aturan itu, Jokowi meminta anak buahnya untuk menarik cukai dari produk plastik dan minuman berpemanis pada 2023. Dia menargetkan agar penerimaan cukai dari kedua pos itu bisa mencapai Rp4,06 triliun.

Akhirnya, lagi-lagi keinginan negara untuk berpihak kepada kesehatan masyarakat—khususnya anak-anak—kembali dipertanyakan.

“Kemarin juga baru keluar pernyataan Kemenkeu mereka tidak akan melakukan cukai MBDK tahun ini karena faktor ekonomi. Itu lagi-lagi pemerintah berpihak pada siapa sebenarnya?” kata Olivia mempertanyakan.

Baca juga artikel terkait DIABETES MELITUS atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz