Menuju konten utama

Ekonomi Arab Saudi: Banting Setir Sebelum Dihantam Resesi

Ketergantungan yang begitu besar pada ekspor minyak membuat ekonomi Arab Saudi terpuruk ketika harga minyak anjlok. Kini ia sedang berusaha mengurangi ketergantungan.

Ekonomi Arab Saudi: Banting Setir Sebelum Dihantam Resesi
Kilang minyak di Arab Saudi. FOTO/Alamy

tirto.id - Sekitar 80 tahun lalu, sumber minyak ditemukan di Arab Saudi. Cadangan minyaknya mencapai 268 miliar barel, terbesar di dunia. Sejak saat itu, sumber pemasukan Arab Saudi sangat bergantung pada minyak bumi. Sekitar 70 persen pendapatan negara berasal dari sektor energi tak terbarukan itu.

Kejayaan minyak turut membawa kejayaan bagi ekonomi Arab Saudi. Sayangnya, harga minyak tak selamanya naik. Saat ini harga minyak mentah berada di kisaran $50 per barel. Padahal, tahun 2014 lalu, harga minyak masih di angka $100 per barel. Grafik harga minyak tampak menukik dan kesulitan untuk naik lagi.

Karena 70 persen pendapatan negaranya bergantung pada minyak bumi, begitu harga anjlok, pendapatan Arab Saudi juga merosot. Negara di Timur Tengah ini mengalami defisit anggaran senilai 100 miliar dolar AS pada 2015. Awal Mei 2016, Saudi mendapatkan pinjaman senilai 10 miliar dolar AS dengan tenor lima tahun dari konsorsium bank Internasional.

Selain persoalan defisit akibat penurunan harga minyak dunia, persoalan lain yang sedang dihadapi Arab Saudi adalah angka pengangguran yang kian besar, subsidi membengkak, hingga kebutuhan perumahan layak bagi warganya.

Dominic Dudley, kontributor Forbes, menulis pada Juli 2016 bahwa di mesin-mesin anjungan tunai mandiri (ATM), transaksi penarikan tunai pada tahun lalu lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Dan deposito bank juga telah mengalami penurunan. Data dari Badan Moneter Arab saudi (Sama) menunjukkan penurunan 0,5% dalam nilai deposito pada bulan Mei 2016. Ia berkontribusi pada penurunan 3,4% selama setahun, penurunan terbesar sejak Agustus tahun 1994.

Mengutip transkrip dari Dana Moneter Internasional (IMF), angka pengangguran di Saudi mencapai 12,1 persen pada 2016, tertinggi sejak 2012. Ini dua kali lebih besar dari angka pengangguran di Indonesia. Sementara hampir separuh populasi Arab Saudi adalah penduduk usia di bawah 25 tahun yang akan segera memasuki usia kerja.

Inflasi Saudi pun diprediksi akan tumbuh dua kali lipat pada tahun ini, dibandingkan tahun 2014. IMF memperkirakan inflasi tahun ini berada di angka 4,2 persen. Sementara tahun 2014, inflasi Saudi hanya 2,2 persen.

IMF juga telah mengkoreksi angka prediksi pertumbuhan ekonomi Saudi untuk tahun ini. Sebelumnya, lembaga moneter itu memperkirakan ekonomi Saudi akan tumbuh 2 persen. Tetapi angka itu kemudian direvisi menjadi hanya 0,4 persen. Menurut IMF, kesepakatan pemotongan produksi minyak akan membuat PDB Saudi agak berkontraksi tahun ini.

Infografik Ekonomi Arab Saudi

Di Bawah Ancaman Resesi

Memahami bahwa ketergantungan kepada sektor minyak hanya akan menjerumuskan negaranya kepada resesi, Pemerintah Arab Saudi kemudian bertekad melepas ketergantungan itu. Mereka menyusun reformasi ekonomi bernama Visi Saudi 2030. Penyusunan reformasi ekonomi itu dipimpin langsung oleh putra mahkota, Pangeran Muhammad bin Salman yang juga Ketua Dewan Urusan Ekonomi dan Pembangunan selain Menteri Pertahanan.

Pada 25 April 2016, Visi Saudi 2030 disetujui oleh Dewan Kabinet Arab Saudi. Dalam 15 tahun ke depan, pelbagai agenda kebijakan yang dikenal sebagai Rencana Transformasi Nasional akan dijalankan. Arab Saudi akan melepaskan ketergantungan pada minyak pada 2020.

Pada 2030, ekspor nonminyak ditargetkan akan meningkat hingga 50 persen, atau enam kali lipat dari sekarang. Saudi menargetkan negaranya dalam daftar 15 negara terkaya di dunia. Saat ini, ia berada di peringkat 19.

Salah satu langkah yang diambil dalam waktu dekat adalah pelepasan saham perusahaan minyak terbesar di dunia, Arabian American Oil Company (Aramco), melalui penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO). Lewat IPO ini, pemerintah Saudi berharap bisa meraup dana segar senilai 2 triliun dolar AS. Ini adalah IPO dengan nilai terbesar sepanjang sejarah pasar modal di dunia.

Pemberhentian Ali al-Naimi dari jabatan Menteri Energi dan Perminyakan juga merupakan salah satu langkah yang dilakukan sang putra mahkota untuk memuluskan programnya. Ia mengganti Naimi dengan Khalid al-Falih, mantan pimpinan Aramco. (Baca: Lengsernya Sang Menteri Minyak Legendaris)

Pemerintah Saudi juga telah memangkas subsidi listrik dan air. Pemangkasan itu mendapat respons negatif dari publik.

Tim Callen, Asisten Direktur dan Pimpinan Misi IMF untuk Arab Saudi, menggelar konferensi pers Januari lalu. Percakapan dalam konferensi pers tersebut kemudian dituliskan dan dipublikasi di laman resmi IMF.

“Menurut Anda, apakah Visi Saudi 2030 dan program transformasi nasionalnya cukup untuk membuat Saudi tak lagi bergantung pada pendapatan ekspor minyak?” tanya wartawan.

“IMF telah melakukan cukup banyak riset tentang diversifikasi di negara-negara pengekspor minyak, dan saya pikir salah satu pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa diversifikasi itu sangat sulit dilakukan,” jawab Callen.

Niatan Arab Saudi untuk mengurangi ketergantungannya pada minyak benar-benar membutuhkan upaya berkelanjutan. Tak hanya dari pemerintah, tetapi juga pihak swasta. Saudi harus bekerja keras agar terbebas dari bayang-bayang resesi.

Baca juga artikel terkait REFORMASI EKONOMI ARAB SAUDI atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam