Menuju konten utama

Revisi UU KPK dan Capim Bermasalah: Keberpihakan Jokowi Diuji

Dalam waktu bersamaan KPK menghadapi dua serangan: revisi UU dan calon pimpinan diduga bermasalah tengah mengikuti seleksi tahap akhir di DPR RI.

Revisi UU KPK dan Capim Bermasalah: Keberpihakan Jokowi Diuji
Pegawai KPK menggelar aksi unjuk rasa menolak revisi UU KPK di kantor KPK, Jakarta, Jumat (6/9/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - DPR RI menggulirkan usulan pembahasan Revisi UU (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di masa akhir jabatannya yang tersisa kurang dari sebulan. Mereka akan purna tugas tepat 30 September 2019.

Revisi ini dianggap akan mengamputasi kewenangan komisi antirasuah. Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang menilai, keputusan DPR menyetujui revisi UU 30/2002 khususnya tentang penyadapan dibuat detail dan berlebihan. Anehnya, kata dia, hanya KPK yang diatur soal penyadapan, sementara lembaga lain tidak.

"Yang lakukan penyadapan bukan hanya KPK, kalau mau diatur, ya, diatur sama dong," kata

Rasamala di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Ahad (8/9/2019).

Menurut catatan pimpinan KPK, ada 9 isu dalam revisi ini yang bakal membuat lembaga ini pincang. Rinciannya sebagai berikut:

  1. Independensi KPK terancam;
  2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi;
  3. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR;
  4. Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi;
  5. Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung;
  6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria;
  7. Kewenangan pengambilalihan perkara di tahap penuntutan dipangkas;
  8. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan;
  9. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.

Rasmala mengatakan, bila revisi ini disetujui pemerintah untuk dibahas bersama DPR RI, ruang gerak KPK akan sempit.

Ia mencontohkan penyidikan dengan penyadapan yang harus mengantongi izin dari dewan pengawas yang juga tengah diusulkan dalam revisi.

"Aneh kalau hanya KPK yang diawasi dalam konteks penyadapannya. KPK diawasi langsung oleh publik, DPR, Presiden dan PPATK. Kalau mau pengawasan, ya, jalankan pengawasan mereka dengan baik. Kita sama-sama tahu kalau korupsi biasanya berkaitan dengan kekuasaan dan rezim," kata dia.

Mekanisme pembahasan RUU melalui persetujuan pemerintah, karena hal ini usulan dari DPR RI lewat Rapat Paripurna yang digelar tanpa pandangan langsung 10 fraksi, berlangsung 20 menit saja, dan dihadiri 70-an anggota, Kamis (5/9/2019) pekan lalu.

Rasamala mengatakan, hingga saat ini pemerintah belum menunjukkan dukungan pemberantasan korupsi. Setelah RUU KPK disetujui DPR, pemerintah terlebih Presiden Joko Widodo, diharapkan bisa menolak revisi dari UU yang akan melemahkan KPK tersebut.

"Ini momen presiden tunjukkan keberpihakan pada penindakan tindak pidana korupsi. Maka satu keputusan DPR berniat perkuat penindakan korupsi. Tapi bola panas sekarang ada di tangan presiden," jelas dia.

Peneliti dari ICW, Kurnia Ramadhana menyebut, jika Jokowi menyetujui dan menandatangani hasil rumusan DPR RI soal RUU KPK, maka artinya pemerintah dan DPR ingin KPK mati.

"Kalau benar disahkan [revisi UU KPK] pemerintah dan DPR ingin membunuh KPK," kata Kurnia.

Ia menilai, pelemahan KPK lewat DPR tak lepas dari kinerja KPK selama ini. Tercatat, ada 5 ketua umum partai yang dijerat KPK yakni Setya Novanto (Golkar), Luthfi Hasan Ishaad (PKS), M Romahurmuziy (PPP), Suryadharma Ali (PPP), dan Anas Urbaningrum (Demokrat).

Anehnya, anggota DPR RI yang menginisiasi revisi UU justru berasal dari partai pengusung Jokowi dalam periode 2019-2024. Mereka adalah Masinton Pasaribu (PDIP), Risa Mariska (PDIP), Achmad Baidowi (anggota Komisi II dari Fraksi PPP), Ibnu Multazam (anggota Komisi IV dari Fraksi PKB), Saiful Bahri Ruray (anggota Komisi III dari Fraksi Golkar), dan Teuku Taufiqulhadi (anggota Komisi III dari Fraksi NasDem).

Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang mengatakan setuju dengan revisi ini sepanjang memperkuat KPK. Ia mencontohkan, penambahan deputi dan unit kedeputian, karena lembaganya menerima 3.000 laporan per tahun dengan 30 persen di antaranya berpotensi korupsi.

"Jadi upaya perbaikan itu [cukup] dengan UU yang ada sekarang. Kasih resource yang lebih besar. Kami hanya dapat kurang dari Rp1 triliun per tahun mengawasi uang yang Rp2.500 triliun, doesn't make sense," kata dia.

Jokowi belum merespons desakan tak menyetujui RUU KPK usulan DPR. Ia mengaku belum membaca draf revisi UU, karena kunjungan kerja ke Kalimantan Barat dan Jawa Tengah pada akhir pekan.

"Saya harus melihat dulu. Yang direvisi ini apanya. Saya belum lihat. Jadi kalau sudah di Jakarta, revisi ini [...] Yang revisi apanya. Materi-meterinya apa. Harus tahu dulu, baru saya bisa berbicara," kata dia seperti dilansir Antara.

Capim KPK Bermasalah

Bersamaan dengan revisi ini, KPK juga menghadapi masalah pelik, karena calon komisioner yang lolos diduga ada yang bermasalah. Senin (9/9/2019), 10 capim KPK dijadwalkan fit and proper test atau uji publik di Komisi III DPR RI. Pegawai KPK membentuk aliansi taktis Aksi Tolong KPK untuk menolak capim ini.

Sepuluh capim itu yakni Alexander Marwata (KPK), Firli Bahuri (Polri), I Nyoman Wara (auditor), Johanis Tanak (Kejaksaan Agung), Lili Pintauli Siregar (advokat), Luthfi Jayadi Kurniawan (dosen), Nawawi Pomolango (hakim tinggi), Nurul Ghufron (dosen), Roby Arya (PNS), dan Sigit Danang Joyo (PNS).

Peneliti dari ICW, Kurnia Ramadhana mengaku kecewa dengan kinerja pansel, karena tidak mempertimbangkan rekam jejak capim, sehingga ada calon diduga bermasalah yang lolos.

"Kami kecewa setelah pansel tak mempertimbangkan rekam jejak capim, padahal presiden punya wewenang untuk menelusuri hasil pansel. ICW sudah menyuarakan dugaan pelanggaran kode etik, gratifikasi, uji kualitas pada saat mereka melakukan wawancara dan uji publik. 10 orang ini tak punya kemampuan untuk memimpin KPK bahkan sampai 2023," terang dia.

Perwakilan Aksi Tolong KPK menggelar aksi pembagian bunga dan pamflet, di Car Free Day Bundaran HI, Ahad (8/9/2019), berisi pesan meminta Jokowi bersikap.

Perwakilan aksi massa dari pegawai KPK, Christie Afriani menyebut, calon bermasalah yang diduga melakukan pelanggaran etik masih masuk menjadi salah satu calon.

Ia menilai, Pansel Capim KPK dan Presiden Jokowi tidak mempertimbangkan masukan KPK yang secara terang benderang menjelaskan mengenai informasi dugaan pelanggaran berat disertai bukti yang kuat.

Persoalan revisi UU KPK dan capim bermasalah, kata dia, sama pentingnya, sehingga satu dengan lainnya tak bisa dikesampingkan. Kini mereka bertumpu pada Presiden Jokowi dan menanti keberpihakannya dalam pemberantasan korupsi.

"Para pegawai berharap Presiden Jokowi agar melakukan fungsinya sebagai kepala negara untuk mencegah KPK mati dengan tak meloloskan capim terduga pelanggar etik dan tak meloloskan Revisi UU KPK," kata Christie.

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Hukum
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Zakki Amali