Menuju konten utama
Anggaran Dana Desa

Efektivitas Penggunaan Dana Desa dalam Mengentaskan Kemiskinan

Saat ini, dana desa masih berkutat pada infrastruktur fisik, dan tidak semua infrastruktur berkaitan dengan produktivitas ekonomi di desa.

Efektivitas Penggunaan Dana Desa dalam Mengentaskan Kemiskinan
Sejumlah kepala desa meninggalkan ruangan usai mengikuti pelantikan di Pendopo Panjalu Jayati, Kediri, Jawa Timur, Jumat (3/3/2023). Bupati Kediri melantik 57 kepala desa secara serentak untuk masa bakti 2023-2029. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/rwa.

tirto.id - Wakil Ketua DPR RI Bidang Korkesra, Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mengusulkan anggaran dana desa naik menjadi Rp5 miliar dari sebelumnya hanya Rp1 miliar per desa. Pemanfaatan dana desa ini, salah satunya dioptimalkan untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem yang masih ada di sejumlah wilayah di Indonesia.

Menurut Cak Imin, desa menjadi garda depan pembangunan nasional, termasuk dalam mencapai target nol persen kemiskinan ekstrem. Karenanya, semua pengampu desa harus berkomitmen bersama-sama memperjuangkan perombakan kebijakan program dan anggaran kenaikan dana desa Rp5 miliar setiap desa.

“Karena itu, saat inilah muncul peluang yang besar untuk meningkatkan dana desa, dari rata-rata Rp1 miliar per desa tahun ini, kelak menjadi Rp5 miliar per desa,” kata Cak Imin dalam Sosialisasi Tata Kelola Pemanfaatan Dana Desa dengan Kepala Desa se Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Jumat (26/5/2023).

Dia mengatakan untuk mengejar target kemiskinan ekstrem nol persen diperlukan perombakan total strategi pemberantasan kemiskinan. Salah satunya dengan pemanfaatan dana desa.

“Saya optimis kalau nanti dana desa bertambah kemiskinan ekstrem bisa segera dihilangkan, sehingga kesejahteraan jadi merata,” kata Cak Imin.

Ketua Umum DPP PKB itu menyebut, basis sasaran program nantinya disepakati dalam musyawarah desa. Sebab penentuan sasaran program perlindungan sosial, subsidi, dan pemberantasan kemiskinan yang selama ini ditetapkan oleh pihak supra-desa sudah gagal sehingga perlu diserahkan ke desa.

“Kita dapat mencontoh Kemendes PDTT yang berhasil mendorong Daulat Data Desa. Saat ini desa sudah memiliki data warga dan data wilayah yang dikelola sendiri oleh masing-masing desa, yang dikenal dengan data SDGs Desa,” tambah Cak Imin.

Sejalan dengan amanah Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, kebijakan dana desa memang menjadi salah satu program unggulan pemerintah dalam rangka membangun perekonomian di tingkat desa maupun mengurangi kesenjangan dan kemiskinan desa.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 pemerintah sendiri menganggarkan dana desa sebesar Rp70 triliun. Jumlah tersebut meningkat 3,09 persen dibandingkan dalam outlook 2022 yang sebesar Rp67,9 triliun. Jumlah dana desa yang dianggarkan tersebut juga setara dengan 2,28 persen dari target belanja negara sebesar Rp3.061,2 triliun.

Sejak disalurkan pada 2015, nilai alokasi dana desa memang cenderung naik, dari Rp20 triliun pada 2015, hingga naik 3,4 kali lipat, mencapai Rp70 triliun di 2023. Jika ditotal, alokasi dana desa dari 2015 sampai 2023 mencapai Rp538,9 triliun.

Menukil catatan Kementerian Keuangan, terdapat lebih dari 74.900 desa yang menerima dana desa pada 2023. Posisi ini meningkat dibanding sekitar 74.000 desa tahun 2015.

Sementara jika melihat rata-rata jumlah yang didapat per desa, pada 2023 nilainya hampir mencapai Rp1 miliar atau Rp933,9 juta. Peningkatan ini signifikan dibanding tahun 2015 ketika rata-rata alokasi dana desa yang diterima per desa adalah sebesar Rp280,77 juta.

Tahun ini, dana desa lebih difokuskan untuk pemulihan ekonomi, peningkatan sumber daya manusia, serta mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem. Pengalokasian tersebut juga ditujukkan mengatasi sejumlah permasalahan, mulai dari stunting, pengembangan ekonomi desa, pelaksanaan padat karya tunai, hingga penanganan bencana.

Belum Efektif Turunkan Kemiskinan

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto menilai, usulan Cak Imin menaikkan anggaran dana desa sebesar Rp5 miliar cukup menarik terlepas dari konteks politiknya. Namun jika dikaitkan dalam pengentasan, maka dana desa ini belum berperan optimal dalam mengurangi kemiskinan.

Dia menyebut selama ini alokasi dana desa itu mayoritas diperuntukan untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan dan irigasi. Penggunaan dana desa juga tidak menyasar ke isu produktivitas perekonomian secara langsung, terutama untuk masyarakat miskin.

"Harusnya ada dana alokasi untuk pemberdayaan. Itu kecil sekali walaupun ada, skemanya biasanya lewat Bumdes. Tapi itu tidak besar dan tidak banyak Bumdes yang sukses," ujar Eko saat dihubungi reporter Tirto, Senin (29/5/2023).

Menurut dia, kemiskinan ekstrem ini jauh lebih kompleks karena berada di desa-desa yang tertinggal. Sehingga ia menyarankan lebih baik alokasi anggaran dana desa ini diberikan secara proporsionalitas berdasarkan kondisi desa masing-masing.

“Jadi daerah-daerah yang tertinggal dan kemiskinan ekstremnya tertinggi jauh lebih gede (anggarannya). Tidak harus sama rata misal Rp1 miliar," katanya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2022 mencapai 26,36 juta orang atau setara dengan 9,57 persen dari total jumlah penduduk. Jumlah ini meningkat 200.000 orang jika dibandingkan Maret 2022 sebelumnya yang hanya tercatat 26,16 juta orang atau 9,54 persen.

Berdasarkan daerah tempat tinggal pada periode Maret 2022–September 2022, jumlah penduduk miskin perkotaan naik sebesar 0,16 juta orang, sedangkan di pedesaan naik sebesar 0,04 juta orang.

Adapun persentase penduduk miskin terbesar berada di wilayah Pulau Maluku dan Papua, yaitu sebesar 20,10 persen. Sementara itu, persentase penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan, yaitu sebesar 5,90 persen.

Dari sisi jumlah, sebagian besar penduduk miskin masih berada di Pulau Jawa (13,94 juta orang), sedangkan jumlah penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan (0,99 juta orang).

Eko menilai, untuk bisa menyasar kemiskinan ekstrem pendekatan melalui dana desa memang kurang tepat. Karena porsi penggunaan dana desa 80 persen sudah mengarah ke pembangunan infrastruktur di desa. Padahal yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan adalah pemberdayaan secara berkelanjutan di desa.

Kecuali, jika infrastruktur dari dana desa ini sebagian 80 persen masih digunakan untuk infrastruktur bisa digeser untuk pemberdayaan. Atau minimal setengah dialokasikan untuk infrastruktur dan setengah dana desanya lagi untuk pemberdayaan.

“Kalau sekarang misal Rp500 miliar itu harus kepada orang-orang miskin, pengangguran dilatih pemberdayaan, misal jualan cilok atau apa gitu yang bisa membuat mereka berdaya. Kalau bisa dilakukan itu sebetulnya ada peluang itu untuk mengatasi kemiskinan melalui dana desa," ujarnya.

Kajian Kemenkeu mengenai Pemanfaatan Dana Desa selama periode 2015-2017, menyebutkan bahwa dana desa lebih banyak digunakan untuk prioritas pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, drainase, irigasi, embung, dan lainnya. Namun demikian, masyarakat desa menilai masih belum merasakan manfaat besar yang didapatkan dari pelaksanaan pembangunan desa tersebut.

Sementara itu, pemanfaatan dana desa untuk pemberdayaan masyarakat desa masih belum optimal padahal banyak desa yang mempunyai kegiatan ekonomi kreatif desa yang dapat didorong untuk menjadi mata pencaharian bagi masyarakat desa.

Berdasarkan evaluasi dan analisis atas data dan informasi mengenai implementasi kebijakan dana desa berupa data sekunder dan hasil survei di 13 daerah sampel yang tersebar di wilayah/pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara menunjukkan, bahwa distribusi dana desa dari APBN dengan formula AD:AF=90:10 hanya memenuhi prinsip pemerataan namun belum berkeadilan karena masih terdapat ketimpangan distribusi dana desa.

Ketimpangan distribusi dana desa tersebut mengakibatkan desa dengan jumlah penduduk miskin tinggi dan tingkat kesulitan geografis tinggi, memiliki kapasitas fiskal yang kurang memadai untuk percepatan pembangunan desa dan mengurangi kemiskinan desanya.

Ditinjau dari jumlah penduduk miskin, ketimpangan distribusi dana desa di wilayah/pulau Maluku dan Papua sangat tinggi karena terdapat gap yang cukup besar antara desa yang memiliki jumlah penduduk miskin tinggi dan rendah namun mendapatkan distribusi dana desa yang relatif sama.

Sedangkan di wilayah/pulau Jawa, sebaran distribusi dana desa dilihat dari jumlah penduduk miskin relatif lebih merata dan adil dibandingkan wilayah/pulau lainnya meskipun masih terdapat ketimpangan distribusi.

Kemudian jika dilihat dari aspek penggunaan, dana desa lebih dari 80 persen dimanfaatkan untuk bidang pembangunan desa. Masih ada penetapan pembangunan yang tidak memiliki efek multiplier bagi perbaikan perekonomian desa.

Prioritas penggunaan dana desa sebagian besar ditentukan melalui forum musyawarah desa, namun di beberapa desa masih ada yang ditentukan oleh Kepala Desa/Kecamatan/Kabupaten/Kota sehingga masih ada penggunaan dana desa yang belum sesuai dengan kebutuhan prioritas masyarakat desa.

Beberapa desa juga masih belum mengarahkan penggunaan dana desa untuk pembentukan BUMDes sebagai wadah dalam mengembangkan kegiatan unit usaha ekonomi di desa.

Pertimbangan Kenaikan

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios,) Bhima Yudhistira menilai, wacana dana desa naik signifikan ini sebenarnya sudah menjadi isu lama. Namun tetap ada beberapa pertimbangan yang harus dilihat secara cermat oleh pemerintah saat ini maupun akan datang.

Pertama, efektivitas dana desa masih berkutat pada infrastruktur fisik, dan tidak semua infrastruktur berkaitan dengan produktivitas ekonomi di desa. Karena selama ini penggunaanya masih ada saja pemerintah desa yang buat tugu selamat datang.

“Kemudian ada juga infrastruktur yang rusak tidak diperbaiki. Ini justru buat infrastruktur baru yang bersifat pemborosan," kata Bhima kepada Tirto.

Kedua, pengawasan dana desa masih banyak celah. Beberapa modus penyimpangan dana desa yang marak adalah markup proyek, program fiktif, penggelapan dana, hingga pemotongan anggaran.

"Itu kenapa 686 kepala desa terjerat kasus korupsi menurut data KPK. Sebelum pengawasan diperbaiki, maka dana desa akan cenderung mubazir," jelasnya.

Ketiga, kapasitas SDM di pemerintahan desa belum mendukung dengan alokasi anggaran yang cukup besar. Ini akan membuat kesulitan dalam pencairan dan pelaksanaan teknis.

Keempat, faktor ruang APBN yang sekarang makin menyempit. Jangankan buat anggaran dana desa, untuk bayar bunga utang saja habisnya Rp441 triliun per tahun, belum lagi ada belanja pegawai dan belanja barang.

“Jadi kalau dana desa naik sampai Rp5 miliar per desa, defisit dan utang APBN makin jumbo,” kata Bhima.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah mengatakan, dana desa ini masih menjadi kontroversi. Di satu sisi memang diakui dana desa memiliki tujuan yang sangat bagus. Tapi di sisi lain belum banyak bukti bahwa dana desa sudah dimanfaatkan secara optimal.

“Bahkan ada beberapa kasus di mana dana desa disalahgunakan. Jadi menurut hemat saya pro kontra tentang dana desa ini harus dituntaskan dulu sebelum membahas kenaikan anggaran dana desa," ujarnya dihubungi terpisah.

Untuk mengentaskan kemiskinan, menurut Piter, tidak bisa hanya dengan menaikkan dana desa. Karena tanpa perencanaan yang sangat baik menaikkan dana desa tidak akan mengurangi kemiskinan dan sebaliknya bisa memunculkan berbagai kasus korupsi.

Rawan Korupsi

Eko Listiyanto mengamini bahwa kenaikan anggaran dana desa sebesar Rp5 miliar tersebut juga berpotensi disalahgunakan aparatur desa atau berujung korupsi. Karena semakin besar angkanya akan ada celah untuk dimanfaatkan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.

“Kalau setiap anggaran ditambah peluangnya lebih gede (korupsinya). Tentu bagaimana caranya? metode pengawasannya dan lain lain harus diperketat jika anggaran ditambah," ujar Eko.

Kasus korupsi paling banyak terjadi di sektor desa pada 2022. Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 155 kasus rasuah yang terjadi di sektor tersebut dengan 252 tersangka sepanjang tahun lalu.

Jumlah itu setara dengan 26,77 persen dari total kasus korupsi yang ditangani penegak hukum pada 2022. Angkanya pun meningkat satu kasus dibandingkan pada 2021 yang sebanyak 154 kasus korupsi di sektor desa.

Secara rinci, 133 kasus korupsi berhubungan dengan dana desa. Sementara, 22 kasus korupsi lainnya berkaitan dengan penerimaan desa.

Laporan tersebut juga mencatat pada 2021 ada 154 kasus korupsi di wilayah desa. Dari total kasus tersebut, 245 orang tersangka setidaknya terlibat dan total kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp233 miliar.

Jumlah ini naik tajam dari 2015, ketika program dana desa pertama kali diimplementasikan, dengan 17 kasus korupsi di wilayah desa dengan total kerugian "hanya" Rp10,1 miliar.

“Sejak diterbitkan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, ICW mencatat kenaikan yang cukup konsisten terhadap kasus korupsi yang ada di desa," begitu salah satu simpulan laporan menyoroti kasus korupsi di desa. Beleid yang dimaksud sendiri menjadi dasar penyelenggaraan dana desa.

Laporan juga menyebut kalau 85 persen kasus korupsi yang terjadi di wilayah desa berkaitan dengan dana desa, sementara 15 persen sisanya terkait dengan penerimaan desa. Melihat tren yang ada, ICW juga mengatakan kalau peran Satgas Dana Desa, yang dibentuk pada 2018 tidak menunjukkan kontribusi yang signifikan untuk mitigasi tindakan pidana korupsi.

Senada, kepala desa menjadi salah satu aktor pelaku korupsi terbanyak pada semester I tahun 2022 menurut laporan tersebut, hanya di bawah pegawai pemerintah daerah dan swasta.

ICW juga mencatat korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum antara 2015-2021. Sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp433,8 miliar.

Sejalan dengan temuan ICW, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menyebut ada 601 kasus korupsi terkait dana desa yang melibatkan 686 kepala desa atau perangkat desa antara 2012-2021. Kondisi ini membuat korupsi dana desa masuk dalam tiga besar kasus korupsi terkait pengelolaan keuangan.

ICW juga sempat memaparkan beberapa sebab maraknya kasus korupsi di lingkup desa. Faktor pertama adalah minimnya pelibatan dan pemahaman warga akan proses pembangunan desa. Kedua, minimnya fungsi pengawasan di desa. Ketiga, soal keterbatasan akses informasi keuangan desa yang terkait juga dengan transparansi. Terakhir, keterbatasan kemampuan dan ketidaksiapan kepala perangkat desa dalam mengelola uang dalam jumlah besar.

“Ini persoalan pengawasan dan government. Jadi itu dua hal beda jadi terlepas dari apakah ada korupsi atau tidak, ya memang dana desa harus di-support oleh pembangunan," jelas Eko.

Baca juga artikel terkait DANA DESA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz