Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Efek Corona pada Perbankan: Kredit Dikurangi, Cabang Tutup Temporer

Ketua Umum Himbara Sunarso mengatakan perbankan tetap akan mengalami tekanan likuiditas berhubung restrukturisasi berimbas pada penundaan pembayaran pokok.

Efek Corona pada Perbankan: Kredit Dikurangi, Cabang Tutup Temporer
Sejumlah nasabah antre di Bank Mandiri Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (24/3/2020). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/aww.

tirto.id - Pandemi Corona atau COVID-19 telah memberi dampak signifikan pada sektor perbankan. Penyaluran kredit menjadi salah satu core bisnis perbankan sedikit banyak tertahan karena ketidakpastian dan anjloknya aktivitas ekonomi yang berdampak pada perputaran uang.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Merangkap Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Heru Kristiyana menyatakan perbankan akhir-akhir ini memang semakin hati-hati menyalurkan kredit. Keadaan ini, kata dia, jauh berbeda dari posisi 2015 ketika kredit yang disalurkan perbankan bisa terus tumbuh.

Ketua DK OJK Wimboh Santoso pada 30 April 2020 memperkirakan kredit tahun 2020 bahkan bisa tidak tumbuh. Semoderatnya bisa hanya tumbuh 1 persen.

“Kita lihat di tahun-tahun terakhir apalagi dengan COVID-19, perbankan makin selektif menyalurkan kreditnya. Ini wajar bahwa bank mulai memitigasi risiko,” ucap Heru dalam diskusi daring, Jumat (15/5/2020).

Adapun risiko kredit memang mengalami tren peningkatan. Menurut data OJK per Maret 2020, kredit Kol 2 atau golongan debitur yang sudah menunggak minimal 1-2 bulan naik tajam 27,3 persen secara year on year (yoy). Jumlah golongan kredit tidak lancar (Kol 3) sampai macet (Kol 5) juga naik 19,10 persen.

Di sisi lain, data OJK per Maret 2020 capital adequacy ratio (CAR) yang menjadi ukuran kinerja fundamental bank mencapai 21,77 persen. Nilai itu berada dalam tren menurun karena pada November 2019 lalu masih berada di kisaran 23,5-24 persen.

Di saat yang sama, tren pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) mingguan juga melambat. Per 29 April 2020, nilainya hanya tumbuh 9,12 persen, padahal per 26 Maret 2020 masih menyentuh kisaran 10 persen. Penurunan terbesar DPK dialami oleh bank buku 1 atau yang memiliki modal inti Rp1 triliun.

Kondisi ini praktis memunculkan sinyal risiko likuiditas. Heru pun menilai melandainya sejumlah indikator itu memang perlu disikapi dengan prinsip kehati-hatian sehingga dampak pandemi Corona bisa semakin dimitigasi.

Salah satunya dengan relaksasi restrukturisasi yang memungkinkan bank bisa mencatatkan sebagian kredit sebagai lancar. Dengan demikian bank tidak perlu menyediakan pencadangan yang membebani likuiditas.

Ketua Umum Himpunan Bank Negara (Himbara) Sunarso mengatakan perbankan tetap akan mengalami tekanan likuiditas berhubung restrukturisasi berimbas pada penundaan pembayaran pokok. Sebab, dana yang dimiliki perbankan berasal dari masyarakat yang tidak bisa ditunda pengembaliannya.

Dari hitung-hitungannya, Himbara sendiri membutuhkan likuiditas Rp144 triliun untuk penundaan pokok selama 6 bulan, tetapi yang tersedia kurang dari itu. Sisanya Sunarso tak menyebutkan bagaimana bank lain mencukupinya, tapi bagi BRI sendiri mereka sudah mencari pinjaman dari bank luar negeri.

“Kenapa demikian? Karena nasabah boleh menunda pembayaran pokok, tapi bank tidak boleh menunda pembayaran deposito yang jatuh tempo kepada deposan,” ucap Sunarso dalam diskusi daring, Jumat (15/5/2020).

Kendati demikian, ia tetap memandang positif restrukturisasi ini karena bakal dapat membantu memitigasi lonjakan non-performing loan (NPL) yang mencapai 2,77 persen per Maret 2020.

Restrukturisasi ini menurutnya menjadi penting karena berdasar riset lembaganya rata-rata usaha produktif hanya mampu bertahan 3 bulan.

“3 bulan ini, NPL belum kelihatan, tapi 3 bulan dari mana? Menurut saya dari Februari 2020. Berarti yang kritis adalah Maret-Mei 2020. Maka restrukturisasi paling lambat kita harus kita selesaikan di Juni,” ucap Sunarso.

Berdasarkan Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) sejumlah bank sudah merasakan tekanan dari pandemi Corona. Bank buku 3 Maybank misalnya mengaku terganggu oleh COVID-19. Imbasnya perusahaan melakukan pembatasan operasional dengan masa kurang dari 3 bulan.

Penurunan pendapatan perusahaan dan potensi penurunan laba bersih per 31 Maret/30 April 2020 diperkirakan kurang dari 25 persen. Imbasnya NPL perbankan diprediksi akan naik dari posisi terakhir Maret-April 2020 di kisaran 3-5 persen.

Bank Buku 2 Nobu juga melakukan pembatasan operasional 1-3 bulan. Imbasnya penurunan pendapatan perusahaan diperkirakan mencapai 25 persen per 31 Maret/30 April 2020. Sementara itu NPL diperkirakan akan tetap terjaga kurang dari 3 persen.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Ajib Hamdani menilai di tengah situasi ini perbankan mau tidak mau dituntut melakukan efisiensi. Terutama bila ingin menjaga rasio biaya operasional dan pendapatan operasional (BOPO) yang menjadi ukuran kemampuan menghasilkan laba.

“Dengan strategi-strategi efisiensi yang dilakukan, perbankan bisa menurunkan rasio BOPO nya, sehingga bisa lebih sehat,” ucap Ajib saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (28/5/2020).

Selebihnya, Ajib masih yakin likuiditas perbankan masih bisa bertahan karena pemerintah sudah menggelontorkan berbagai kebijakan. Di luar restrukturisasi OJK misalnya ada kebijakan Bank Indonesia yang menurunkan setoran giro wajib minimum (GWM) sehingga kelebihan dananya bisa dipakai sebagai likuiditas.

Kalau pun masih kurang, ia bilang BI sudah menyatakan siap membeli surat berharga negara (SBN) milik perbankan atau repo untuk menambah likuiditas. Belum lagi ada skema bantuan likuiditas melalui skema bank jangkar yang dananya bersumber dari penempatan dana pemerintah dalam bentuk deposito di bank-bank pelaksana.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) PIter Abdullah menjelaskan imbas pandemi Corona pada perekonomian diawali dulu dengan pukulan pada sektor riil. Ketika aktivitas ekonomi turun, produksi barang dan jasa anjlok, dan konsumsi tidak terjadi, perusahaan sudah barang tentu akan kesulitan likuiditas yang sedikit banyak berdampak pada kredit mereka.

Imbasnya kredit yang masuk dalam daftar aset perbankan bisa masuk kategori tidak lancar sehingga mengakibatkan tekanan pada likuiditas perbankan juga. Belum lagi modal perbankan juga sudah pasti terpengaruh karena setoran cicilan pokok dan bunga telah direstrukturisasi dari tenggat bayar semula.

Meski demikian, Piter yakin dampak pada perbankan saat ini masih bisa diminimalisir. Ia bilang NPL masih bisa dijaga agar tak melebihi 5 persen. Sebabnya dunia usaha saat ini masih bisa bertahan meski sebagian sudah melakukan PHK atas respon kondisi keuangan yang sulit.

“Dunia usaha saat ini belum kolaps. Meski ada banyak tekanan dan melakukan PHK, itu belum kolaps. Selama dunia usaha belum kolaps perbankan akan relatif aman,” ucap Piter saat dihubungi repoter Tirto, Kamis (28/5/2020).

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz