Menuju konten utama
4 Januari 2016

Edhi Sunarso, Pematung Kepercayaan Bung Karno

Tatah beradu.
Waktu membeku dalam
lekuk perunggu.

Edhi Sunarso, Pematung Kepercayaan Bung Karno
Ilustrasi Edhi Sunarso. tirto.id/Gery

tirto.id - Warsa 1959, di teras belakang istana negara. Sebelum mandi, seperti biasa Bung Karno bercengkerama dengan para pemikir, teknokrat, seniman, dll. Percakapan yang akrab mengalir penuh kehangatan. Hari itu, Edhi Sunarso, juara dua sayembara patung sedunia di London, ikut hadir. Bung Karno mendekati Edhi dan mengutarakan keinginannya untuk membuat Patung Selamat Datang dalam rangka menyambut kontingen Asian Games 1962 di Jakarta.

“Dhi, aku mau membuat patung tingginya sembilan meter, bahannya perunggu. Tunjukkan bahwa bangsa Indonesia bangsa yang besar, bangsa yang ramah. Aku beri tugas kau buat patung itu,” ujar Bung Karno.

Baca juga:

“Saya belum pernah, Pak. Membuat patung sepuluh senti pun dari perunggu belum pernah. Paling-paling saya buat patung sebesar orang, itu pun masih belum sempurna, Pak,” jawab Edhi tak bisa menyembunyikan rasa kaget.

“Kau punya rasa bangga berbangsa bernegara, gak? Punya nation’s pride, gak? Kau pasti punya! Cuma kau takut mengatakan. Aku tahu, kau sejak umur mudamu masuk penjara keluar penjara, iya kan? Kau berani membunuh Belanda, kau pun harus berani (membuat patung)!” kata Bung Karno meyakinkan.

Sebelum menjadi seniman patung, Edhi Sunarso ikut mengangkat senjata di kancah revolusi. Ia lahir pada 2 Juli 1932 di Salatiga. Pada usia 14, ia punya anak buah 17 orang dewasa. Dalam sebuah dokugrafis bertajuk Begini Lho, Ed! besutan Lasja F. Susatyo dan Alit Ambara, Edhi berkisah tentang masa-masa bergerilya di daerah Jawa Barat. Ia dan pasukannya menyamar dengan membentuk sebuah kelompok doger yang berkeliling dari satu kota ke kota lain.

Mulanya Edhi menjadi kurir penghubung antar pejuang kemerdekaan, lalu menjadi komandan sabotase yang membakar pabrik-pabrik milik Belanda di daerah Pamanukan, Pegaden Baru, Subang, Kalijati, Sagalaherang, dan Purwakarta. Dalam sebuah operasi penyamaran, Edhi dan pasukannya disergap tentara Belanda. Sebagian berhasil melarikan diri, sementara ia beserta tujuh orang anak buahnya tertangkap.

Setelah puas dihajar, mereka lalu digiring ke Subang dan ditempatkan di penjara berukuran 2x2,5 meter berisi 24 orang. Mereka tidur berdiri. Setelah itu dibawa ke Kalijati, markas para eksekutor yang kejam. Edhi dan pasukannya distrum dan ditonjok sampai giginya semuanya rontok. Selanjutnya ditahan di Bandung bersama 2.400 orang tahanan lain.

Baca juga: Mengapa Bung Karno Tak Ikut Gerilya Bersama Soedirman

Di Bandung, ia diajari bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Indonesia, berhitung, dan menulis oleh para tahanan politik. Dalam suasana yang cukup lapang itu Edhi menyalurkan minatnya pada menggambar.

Setelah dibebaskan, ia bertemu Hendra Gunawan. Dianthus Louis Pattiasina dalam Kajian Estetika dan Realisme Sosialis Tiga Patung Monumen Era Soekarno di Jakarta yang disiarkan di Jurnal Ilmiah Widya Vol. 2 No. 1, Maret-April 2014, menulis bahwa karir Edhi Sunarso di bidang seni dimulai dengan melukis di Sanggar Pelukis Rakyat yang didirikan Hendra Gunawan di Yogyakarta.

“Perjalanan berkarya para seniman Pelukis Rakyat pada awalnya hanya menggeluti seni lukis, lalu mengalami perkembangan dengan membuat karya-karya tiga dimensi sebagai upaya mencari bentuk lain dalam proses penciptaannya. Patung-patung ciptaan Edhi Sunarso yang paling menonjol pada saat itu. Karya fenomenal ciptaannya adalah The Unknown Political Prisoner tahun 1952, meraih penghargaan public ballot di London,” sambungnya.

Selain itu, Edhi menuturkan bahwa ia bertemu dengan anak-anak ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Yogyakarta yang baru dibuka Januari 1950. Ia merasa senang melihat para mahasiswa itu menggambar. Edhi pun ikut menggambar.

Pada suatu hari, ia ditawari untuk menjadi siswa pendengar/toehoorder (ikut kuliah tapi tak dapat teori) oleh direktur ASRI pertama, R.J. Katamsi Martorahardjo. Setelah menunggu tiga hari, ia mendapat panggilan dan dinyatakan diterima sebagai siswa pendengar.

“Setelah aku diterima sebagai siswa pendengar, seakan-akan gak pernah ada malam. Karena siang malam aku gunakan untuk belajar dan bekerja,” ujarnya.

Baca juga: Nashar Memasrahkan Hidupnya untuk Melukis

Tatah beradu. Waktu membeku dalam lekuk perunggu. #Mozaik

A post shared by tirto.id (@tirtoid) on

Setelah memenangkan sayembara patung dunia di London, dari tahun 1955 hingga 1957 Edhi mendapat beasiswa dari UNESCO belajar di Visva Bharaty Universitydi Santiniketan, India. Di sana ia memperoleh Gold Medal dari pemerintah India, sebuah penghargaan kesenian yang diberikan India kepada orang asing.

Atas ketekunan dan beberapa prestasinya itulah kemudian Bung Karno mempercayakan pembuatan Patung Selamat Datang—patung perunggu pertama buatan Indonesia—kepadanya. Patung yang awalnya dibuat sembilan meter itu pada akhirnya harus dibuat ulang dengan ukuran enam meter, disesuaikan dengan ukuran Hotel Indonesia.

Karena tak bisa dikecilkan, akhirnya Edhi membuat ulang dari awal. Bekerja siang malam, dan tentu saja ada tambahan dana untuk pembuatan patung tersebut.

“Betul-betul ya, jadi ya. Awas kalau gak jadi, kau tak gantung!” kata Bung Karno kepada Edhi.

Setelah Patung Selamat Datang selesai, Bung karno mengirim para seniman ke Jepang, Meksiko, Prancis, Belanda, dll, untuk belajar diorama. Sementara Edhi tidak diberangkatkan ke luar negeri karena mendapat tugas baru untuk membuat Patung Pembebasan Irian Barat.

“Beliau memperagakan si rantai-rantai tak patahkan, duaarr.. teriak.. teriak..,” ujar Edhi mengisahkan cara Bung Karno memperagakan ekspresi patung yang ia maksud.

Baca juga laporan in-depth Tirto tentang lukisan istana:

Melesat, Tersendat, Terjerat

Monumen terakhir—karena angin politik buru-buru menumpas kekuasannya—yang ditugaskan Bung Karno kepada Edhi Sunarso adalah Patung Dirgantara atau sekarang lebih dikenal sebagai Patung Pancoran. Dulu di dekat monumen itu ada markas Besar TNI Angkatan Udara.

“Dhi, aku ingin menghargai pahlawan penerbang Indonesia. Kalau Amerika, Soviet, itu bangga dengan industri pesawatnya, bangga dengan kebesaran membuat pesawat, Indonesia ga ada. Siapa yang bikin pesawat Indonesia? Ga ada. Apa? (yang ada) Keberanian penerbangan. Jiwa penerbangannya, keberaniannya, patriotismenya. Nganggo pesawat rongsokan aja masih bisa untuk ngebom. Kau ingat Ambarawa?” ujar Bung Karno kepada Edhi.

Baca juga: TNI AU: Diandalkan Sukarno, Dikucilkan Soeharto

Dibantu Keluarga Arca Yogyakarta pimpinannya sendiri, Edhi mulai membuat Patung Dirgantara. Pada awal pembuatannya, di ujung tangan kanan patung yang mengarah ke atas terdapat pesawat. Namun kemudian tidak dipasang atas saran Edhi kepada Bung Karno.

“Dulu ada pesawatnya. Modelnya ada pesawatnya. Waktu saya buat, saya bilang gini, ‘pesawatnya ga usah dipasang aja pak.’ “

“Kenapa?”

“Seperti mainan. Lucu. Seperti orang dewasa mainan kapal, pesawat-pesawat.”

“Wah, bener kowe, bener kowe,” timpal Bung Karno.

Ketika patung dan landasannya sudah jadi, gempa politik 1965 keburu datang. Bung Karno berada di ujung kejayaannya. Gelombang menerpa, patung tersebut diisukan sebagai patung cukil, karena bentuk penyangga patung yang menyerupai alat penggeret pohon karet agar getahnya keluar.

Pidato pertanggungjawaban presiden ditolak MPRS, puncak pemimpin republik berganti. Dalam kondisi sakit, Bung Karno memanggil Edhi hendak menanyakan Patung Dirgantara. Edhi kemudian melapor bahwa patung tersebut sudah jadi, namun belum bisa dipasang karena kehabisan dana, bahkan rumahnya sendiri disegel karena terlilit utang. Bung Karno kemudian menjual salah satu mobilnya agar Edhi bisa memasang patung tersebut.

Infografik Mozaik edhi sunarso

Dua minggu kemudian, Edhi menerima uang dari orang kepercayaan Bung Karno. Ia lalu membawa Patung Dirgantara ke Pancoran dan mulai memasangnya. Kira-kira baru selesai 30 persen, Bung Karno datang ke lokasi. Orang-orang ramai mengerubungi. Lalu untuk kedua kalinya Bung Karno datang lagi, dan orang yang datang lebih ramai lagi.

“Aku minggu depan datang, balik lagi. (Harus) sudah selesai ya!” ujar Bung Karno.

Minggu depannya, ketika Edhi Sunarso tengah berada di puncak Patung Dirgantara untuk pengerjaan akhir, rupanya betul Bung Karno datang lagi: melintas di bawah patung, sudah terbujur kaku dalam iring-iringan pengantar jenazah.

Baca juga: Pesan Mendalam Sukarno dan Kisah Para Istrinya

Edhi segera turun, mengejar iring-iringan dan ikut ke Blitar. Ia masih sempat menyaksikan jenazah Bung Karno diturunkan ke liang lahat.

“Bung Karno, terimakasih atas pemberian Bung kepada kami. Semangat-semangat, keberanian seperti ini, luar biasa, luar biasa, luar biasa,” ujar Edhi sambil menerawang.

Senin, 4 Januari 2016, tepat hari ini dua tahun silam, Edhi Sunarso wafat di Yogyakarta. Menurut salah seorang anaknya, sebelum meninggal Edhi mengeluh sesak napas. Dan kini, Patung Dirgantara, salah satu mahakaryanya, seolah sesak napas terjerat jalan layang dan keruwetan tata kota. Ia tak lagi terlihat sempurna seperti pada awalnya, yang melesat dari bawah menuju angkasa.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan