Menuju konten utama

Ecobrick: Solusi Semu Atasi Limbah Plastik

Ecobrick pada dasarnya tidak mengurangi volume sampah plastik. Standar pembuatannya pun harus tinggi untuk meminimalisasi potensi pencemaran.

Ecobrick: Solusi Semu Atasi Limbah Plastik
Siswa memasukkan plastik kedalam botol padat (ecobrick) untuk furnitur ramah lingkungan di SMP Muhammadiyah Program Khusus, Solo, Jawa Tengah, Jumat (20/7/2018). ANTARA FOTO/Maulana Surya

tirto.id - Ecobrick kian populer menjadi salah satu alternatif mengelola dan mengurangi dampak sampah plastik. Prinsipnya membikin umur pakai plastik menjadi lebih panjang. Tanpa banyak orang paham, ia menjelma menjadi solusi lingkungan yang semu.

Almira, 7 tahun, asyik memotong-motong bungkus permen dan jeli ukuran sedang. Bocah itu lalu memasukkan serpihan plastik ke dalam sebuah botol air mineral. Ini botol ketiga yang dia isi bersama sang ibu, Fina.

“Bikin ecobrick untuk isi waktu luang bersama anak. Nanti kalau udah terkumpul, bisa dijual ke bank sampah,” kata Fina yang memperoleh ilmu membuat ecobrick dari sebuah lokakarya lingkungan.

Ibu dan anak ini sudah melakukan aksi mengumpulkan sampah plastik bekas pakai selama dua bulan, hanya untuk mengisi tiga botol plastik saja. Fina tertarik membuat ecobrick karena aktivitas ini dianggap paling mudah di antara cara daur ulang plastik lain.

“Tinggal potong plastiknya, tidak perlu menjahit jadi tas atau kerajinan tangan lain yang lazim dari plastik.”

Ecobrick menurut laman Zero Waste merupakan gabungan dua kata, “eco” dan “brick” yang diartikan secara luas sebagai bata ramah lingkungan. Produknya sendiri terbuat dari botol plastik yang diisi limbah nonbiologis (plastik) padat. Ecobrick dipromosikan sebagai bata alternatif untuk campuran bangunan atau furnitur.

Ecobrick memang tengah populer menjadi cara instan dalam memanfaatkan sampah. Namun, kepopulerannya justru menjadi bumerang dalam aksi menghentikan pemakaian plastik sekali pakai. Pasalnya, plastik-plastik yang dijejalkan dalam botol tidak bakal mengurangi volume sampah. Ia hanya berubah bentuk sehingga sampahnya tidak hilang, hanya tertunda saja.

Didukung oleh Pencemar Plastik Raksasa

Kepopuleran ecobrick justru mengacaukan kampanye utama untuk tidak membeli produk plastik. Persepsi orang jadi bergeser: tak masalah memakai plastik sekali pakai karena sudah ada solusi ecobrick.

Pada akhirnya, raksasa bisnis penghasil plastik—yang bertanggung jawab terhadap 71 persen emisi global—tetap jumawa memproduksi barang dagangan mereka yang melukai lingkungan.

Lihat saja bagaimana Unilever, satu dari tiga perusahaan besar pencemar plastik di dunia, turut mempromosikan cara membikin ecobrick lewat salah satu laman produk sabun cuci pakaian Rinso. Hal yang sama dilakukan juga oleh rekan pencemar mereka, Coca-cola.

Padahal, Unilever bersama Coca-Cola dan PepsiCo pernah masuk dalam tiga besar perusahaan pencemar plastik terbanyak sepanjang 2021 berdasar audit dari gabungan organisasi Break Free from Plastic. Fakta tersebut tertuang dalam laporan bertajuk “Branded Volume IV: Holding Corporations Accountable for the Plastic & Climate Crisis” (PDF) yang dirilis pada 25 Oktober 2021.

Seturut survei itu, Coca-cola menjadi perusahaan teratas yang mencemari Bumi pada 2021 dengan jumlah sampah plastik sebanyak 19.826 potong. Posisi kedua ditempati oleh PepsiCo dengan jumlah potongan sampah plastik mencapai 8.231. Lalu, Unilever dengan 5.079 potong sampah plastik menempati posisi ketiga.

Jejak pencemaran plastik perusahaan tersebut juga tertinggal di Indonesia. Greenpeace pernah melakukan brand audit penyumbang sampah kemasan plastik sekali pakai pada 2022 lalu. Kemasan dari Unilever, Indofood dan Mayora Indah “unggul” sebagai pencemar terbanyak.

Infografik Ecobrick

Infografik Ecobrick. tirto.id/Fuad

Risiko Pelepasan Metana

Alih-alih menyebut bata plastik daur ulang ini sebagai “ecobrick”, mari katakan saja ia “bottle-brick”. Pasalnya, solusi semu yang ia berikan nyatanya juga belum tentu ramah lingkungan. Malah bisa saja memperparah masalah sampah.

Bottle-brick di banyak tempat telah digunakan untuk membuat furnitur, campuran dinding, atau bagian dari bangunan. Agar bata alternatif ini bertahan lama, standar pembuatannya haruslah tinggi. Kontaminasi apapun seperti sisa makanan bisa memicu munculnya gas metana yang akhirnya membikin semua bata itu rusak.

Botol juga harus benar-benar bersih, demikian pula limbah plastik yang dijejalkan ke dalamnya. Penjejalan limbah harus serapat mungkin agar botol kuat. Jika tak mencapai berat minimum (setidaknya 175 gram untuk botol 500ml, atau 500 gram untuk botol 1,5 liter), botol bakal meleyot, tidak tahan terhadap tekanan, dan pecah menjadi mikroplastik.

Partikel-partikel plastik ini bakal lebih sulit diatasi dan jauh lebih cemar ketimbang kemasan plastik aslinya.

Sifat mikroplastik sangat persisten, hampir tidak mungkin untuk hilang dari lingkungan. Ia membikin risiko keracunan dan kematian pada makhluk hidup. Saat ini saja, manusia sudah menghadapi awal bencana mikroplastik yang memenuhi gunung, laut, lapisan es di Kutub Utara, udara, air, bahkan darah manusia.

Ketika dijadikan campuran dinding, bata botol tidak boleh tertanam dalam beton karena dinding tidak bisa dihancurkan tanpa memecahkan bata botol. Sementara itu, mengekspos botol meningkatkan risiko rusak dalam 2-3 tahun.

Itu belum lagi memperhitungkan ancaman bahaya karena sifat plastik yang mudah terbakar, bahkan hanya dari percikan bara rokok. Bakaran bata botol akan melepaskan benzo(a)pyrene (BAP) dan polyaromatic hydrocarbon (PAH), zat yang terbukti menyebabkan kanker.

Jadi, alih-alih meromantisasi keberhasilan mendaur ulang plastik dengan ecobrik, mari teguhkan diri untuk berhenti memakai kemasan plastik sekali pakai. Dan, perusahaan besar tentu harus didorong untuk berhenti memproduksi plastik sekali pakai.

Baca juga artikel terkait SAMPAH atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi