Menuju konten utama

Instruksi Kapolres Sidoarjo "Tembak di Dada" Ngawur dan Berbahaya

Pernyataan Kapolres Sidoarjo soal tembak di tempat saat PSBB tak sesuai prosedur. Ia juga berbahaya.

Instruksi Kapolres Sidoarjo
Ilustrasi Pistol. FOTO/istockphoto

tirto.id - "Kalau ada pelaku kejahatan main-main, menjadikan wilayah Sidoarjo untuk dijadikan tempat melakukan kejahatan," kata Kapolresta Sidoarjo Kombes Pol Sumardji, Selasa (21/4/2020), "saya perintahkan tembak di tempat."

Sumardji menginstruksikan demikian ke para anak buahnya selama Sidoarjo menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan angka penyebaran COVID-19. PSBB Sidoarjo disetujui Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada Selasa 21 April, dan berlaku efektif hari ini (24/4/2020).

Instruksi "tembak ditempat" lantas dipertegas: "Jangan kakinya, dadanya [yang di]tembak. Apalagi residivis, kalau ada yang dapat remisi, asimilasi, melakukan kejahatan, itu nomor satu. Hajar duluan."

Residivis yang Sumardji maksud adalah mereka yang mendapat program asimilasi dan integrasi dari Kementerian Hukum dan HAM. Beberapa di antara mereka memang kembali berulah. Hingga 21 April, ada 28 narapidana bebas kembali melakukan tindak pidana seperti mencuri, menipu, dan menganiaya.

Tak Taat Prosedur

Instruksi "tembak di tempat di bagian dada" ala Kapolres Sumardji ini, menurut Hibnu Nugroho, guru besar bagian hukum acara pidana dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, tidak sesuai prosedur.

"Biasanya [diberi] peringatan dahulu. Tapi kalau sudah membahayakan, demi hukum, boleh [tembak di tempat]. Apalagi demi keamanan dan ketertiban masyarakat," ujar Hibnu kepada reporter Tirto, Kamis (23/4/2020).

Hal serupa dikatakan Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Argo Yuwono. "Pelaku kejahatan yang membahayakan nyawa petugas dan orang lain, bisa dilakukan tindakan tegas dan terukur," katanya kepada reporter Tirto.

Peringatan yang dimaksud adalah Pasal 5 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Ada enam tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, yakni: kekuatan yang memiliki dampak pencegahan; perintah lisan; kendali tangan kosong lunak; kendali tangan kosong keras; kendali senjata tumpul atau senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabai, atau alat lain sesuai standar; dan terakhir kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.

Pasal 5 ayat (2) menegaskan polisi harus menggunakan kekuatan sebagaimana tahapan di atas, sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku atau tersangka dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 3.

Selain tak taat prosedur, menurut Deputi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Putri Kanesia, pernyataan Sumardji juga berpotensi memicu salah tembak dan/atau salah tangkap.

"Tidak ada ruang klarifikasi bila yang ditembak ternyata hanya korban salah sasaran," kata Putri kepada reporter Tirto, lalu menegaskan bahwa di peraturan itu pun "tidak ada klausul yang menyatakan boleh tembak di dada."

Ia menegaskan jika pernyataan tersebut tidak dikritik, maka "dikhawatirkan bisa ditiru wilayah lain meski yang disampaikan kepolisian tidak terlepas dari Surat Telegram Kapolri terkait PSBB."

Surat yang dimaksud adalah dua surat telegram Kapolri yang masing-masing bernomor ST/1182/IV/OPS.2/2020 dan ST/1183/IV/OPS.2/2020. Surat ditandatangani atas nama Kapolri Idham Azis oleh Kabaharkam Polri Komjen Pol Agus Andrianto, selaku Kepala Operasi Terpusat (Kaopspus) Aman Nusa II-Penanganan COVID-19.

Seperti instruksi surat tersebut, Putri mengatakan memang penting bagi polisi untuk memperketat wilayah yang rentan kriminalitas di masa pandemi. "Tapi," katanya, "jika ada yang terbukti melanggar hukum dan prosedur, maka harus ada tindakan etik dan hukum. Agar aparat di lapangan tidak sewenang-wenang."

Atas semua alasan tersebut, Putri mengatakan barangkali Kapolres Sumardji "salah atau tidak membaca Perkap Nomor 1 Tahun 2009."

Ditegur

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti juga menegaskan apa yang dikatakan Sumardji tidak sesuai dengan peraturan. Menurutnya yang perlu diutamakan adalah tindakan preventif, misalnya mendata para narapidana asimilasi, memetakan tempat rawan kejahatan, serta penggunaan IT dan peralatan modern untuk pemantauan. Polisi juga dapat menggiatkan patroli dan razia.

"Jika masih ada yang melawan, hingga dampaknya dapat membahayakan nyawa petugas maupun orang di sekitarnya, maka anggota diperbolehkan menggunakan tindakan tegas terukur, termasuk menembak untuk melumpuhkan," kata Poengky.

Tentu saja, dalam melaksanakan tindakan tersebut semua polisi harus tetap berpedoman pada standar operasional prosedur yang tercantum di Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM.

Poengky lantas mengatakan pernyataan Kapolres Sidoarjo "sudah kami koreksi dengan cara menyampaikan kepada pimpinan Polri." Pimpinan Polri yang menurutnya akan segera "menegur dan mengarahkan yang bersangkutan."

==========

Dalam hak jawab kepada redaksi Tirto, Sabtu (25/4/2020), Kapolresta Sidoarjo Kombes Pol Sumardji mengatakan tidak benar-benar menginstruksikan bawahannya untuk tembak di tempat. Menurutnya pernyataan itu adalah shock therapy yang diklaim berhasil. Keterangan lebih lengkap dapat dibaca dalam naskah berikut.

Baca juga artikel terkait PERATURAN PSBB atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino