Menuju konten utama

DW Berretty: Legenda Sinyo Jawa Tampan yang Jadi Raja Media

Pendiri kantor berita ANETA dan pemilik Villa Isola, Dominique Willem Berretty, adalah sinyo Yogya yang hidupnya bak selebritis nan kaya dan kerap kawin-cerai.

DW Berretty: Legenda Sinyo Jawa Tampan yang Jadi Raja Media
Dominique Willem Berretty. tirto.id/Sabit

tirto.id - Dominique Willem Berretty adalah seorang indo. Ia lahir dari rahim perempuan Jawa bernama Marie Salem dan laki-laki Italia bernama Dominique Auguste Leonardus Berretty, pada 20 November 1890 di Yogyakarta. Sebagai anak Indo, ia biasa dipanggil Sinyo.

Menurut Huygens Instituut voor Nederlandse Geschiedenis yang dikutip dalam Biografisch Woordenboek van Nederland (BWN) 1880-2000, Berretty sempat dua tahun di HBS Surabaya, sebelum dia belajar di MULO Yogyakarta dan lulus pada 1908. MULO adalah sekolah menengah setara SMP di zaman sekarang. Selepas tamat dari MULO, dia bekerja.

Baca juga: Sekolah-sekolah di Zaman Belanda

Berretty sempat bekerja di kantor pos Batavia, di mana dia mempelajari dunia telegraf yang kabel-kabelnya bisa menghubungkan Hindia Belanda dengan belahan dunia lain. Pada 1910, Berretty jadi korektor di surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, lalu jadi reporter kota. Lima tahun kemudian, dia bekerja di Java Bode sebagai editor. Surat kabar itu pernah mengirimnya ke Amerika. Di situ dia belajar lebih banyak lagi soal penyediaan berita.

Hal penting yang dilakukan Berretty bagi Hindia Belanda adalah mendirikan kantor berita. Belakangan, kantor beritanya menjadi berpengaruh.

“Pada 1 April 1917 D.W. Berrety mendirikan Algemene Nieuws en Telegraaf Agentschap (ANETA); Kantor berita pertama yang ada di Hindia. Apa yang disebutnya kantor, sangat sederhana sekali. Pegawainya saja hanya terdiri dari D.W. Berretty sendiri dan seorang juru ketik,” tulis Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam Adinegoro: Pelopor jurnalistik Indonesia (1987: 107).

Kantor ANETA berada di Pasar Baru, Jakarta. Sekarang, bangunan tesebut menjadi gedung Lembaga Kantor Berita Nasional Antara.

Berretty tak berhenti belajar. Masih menurut Soebagijo, “tahun 1919 dia berangkat ke London untuk mempelajari cara kantor berita Reuter bekerja, dan bahkan lalu menjadi agen Reuter untuk Hindia Belanda.”

Dalam perjalanan pulang ke Jawa, Berretty menyempatkan diri singgah di negeri Belanda. Di situ dia berhasil menandatangani kontrak sementara dengan surat kabar di sana untuk mensuplai berita-berita dari Hindia.

Baca juga:

Masih di tahun 1919, pada bulan April, menurut Ulbe Bosma dalam Karel Zaalberg: journalist en strijder voor de Indo (1997), Berretty membeli kantor berita saingannya, Nederlandsch Indisch Pers Agentschap (NIPA). “Beberapa bulan setelahnya, dia jadi pemegang monopoli atas distribusi iklan dan siaran pers dari pemerintah,” tulis Bosma (hlm. 325).

“Posisi monopoli yang dia bangun, dan juga efek spekulasi yang sukses, memungkinkannya mengumpulkan kekayaan besar,” catat L. de Jong dalam Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog (1984: 106).

Semula, menurut Bedjo Riyanto dalam tulisannya di buku Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia (2003), ANETA bergerak "di dalam penyediaan dan pengontrol berita-berita internasional lewat jaringan telegram yang kemudian tumbuh menjadi kantor berita negara semacam kantor berita Antara (hlm. 35).”

Seiring berkembangnya waktu, ANETA yang makin kuat, masih menurut Bedjo, menjadi semacam biro periklanan modern. ANETA mendatangkan perancang-perancang iklan profesional terkenal dari Belanda seperti van Bemmel, van Mens dan van Deutekom. Dari iklan-iklan lah duit biasa mengalir ke media. Sejak itu, pundi-pundi uang Berretty kian tebal saja.

Baca juga: Orang-orang Tajir Penolong Sukarno-Hatta

Muda, Tampan, Kaya Raya

Tiga kata tersebut paling tepat menggambarkan Berretty pada saat ANETA berjaya. Dengan apa yang dimilikinya, ia jadi sangat hedon: kawin-cerai bukan masalah besar. Soal kawin-cerai ini, menurut Biografisch Woordenboek van Nederland (BWN) 1880-2000, Berretty 6 kali kawin dan rata-rata tak lebih dari empat tahun.

Pertama kali, pada 19 Juni 1912, dia kawin dengan Aline Eulodie Marie Berends (1894-1974). Dua tahun kemudian, mereka punya satu anak perempuan. Pada 6 Februari 1917, Berretty kawin lagi dengan Irene Stephanie Berends (1888-1978) selama tiga tahun dan punya dua anak perempuan.

Lepas dari Irene, Berretty kawin lagi pada 17 Agustus 1923 dengan Marguerite Lucie Alphonsine Boubenger (1903-?), kali ini tanpa anak. Cerai dari Marguerite pada 1924, ia lalu mengawini seorang artis bernama Wilhelmina Harmance Martine Duymaer van Twist (1891-1967) pada 21 April 1925. Perkawinan ini melahirkan seorang anak laki-laki, namun bubar di tahun 1928. Tahun berikutnya kawin lagi dengan Charlotte Gertrud Reyer, lalu dengan Coquita. Dua perkawinan itu tanpa anak.

Infografik Dominique willem berretty

Tahun 1934, umur Berretty menginjak 44 dan masih kaya. Pada Oktober 1932, sebuah bungalow megah miliknya di Bandung yang sejuk mulai dibangun. Bulan Maret 1933, pembangunan sudah beres dan bungalow bisa ditempati. Tempat tersebut dinamainya Villa Isola. Nama itu terkait dengan kalimat berbahasa Italia yang bunyinya: "M'Isolo E Vivo" (Saya mengasingkan diri dan bertahan hidup). Ketika villa dalam proses pembangunan, Berretty tampaknya sedang punya masalah bisnis sebagai pemonopoli berita.

Baca juga: Eksekusi Mata Hari, Legenda Sekspionase Abad 20

Hidup laki-laki flamboyan ini tak pernah jauh dari gosip. Dia diisukan dekat dengan putri Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis De Jong. Berretty juga dekat dengan orang-orang Jepang, yang dimusuhi pemerintah kolonial.

Di tahun 1934 pula, hidupnya berakhir. Dalam sebuah penerbangan ke Eropa akhir Desember 1934, pesawatnya mengalami kecelakaan di perbatasan Irak-Suriah. Jenazah Berrety lalu dimakamkan di Baghdad.

Keluarganya di Hindia Belanda, seperti dimuat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (29/12/1934), mengaku tidak tahu banyak soal kecelakaan Berretty di Timur Tengah itu.

“Kami tidak dapat memberikan pemberitahuan tentang kematiannya. Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang bersimpati, simpati yang sangat mendukung kita pada hari-hari ini,” kata salah satu anak Berretty di Villa Isola pada 28 Desember 1934.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan