Menuju konten utama

Dulu Diduga Lemahkan KPK, Kok Sekarang Jadi Capim?

"Kalau benar memang mereka bermasalah dengan KPK, maka kurang etis mereka menjadi pimpinan atau pegawai KPK," kata Abdullah,

Dulu Diduga Lemahkan KPK, Kok Sekarang Jadi Capim?
Massa yang mengatasnamakan diri Komite aksi Pemuda Anti Korupsi (Kapak Indonesia) berunjuk rasa di depan gedung KPK, Jakarta, Jumat (3/5/2019). ANTARA FOTO/Reno Esnir/nz.

tirto.id - Polri mengajukan sembilan perwira tinggi untuk mengikuti seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, dua di antaranya diduga terlibat dalam upaya pelemahan Komisi saat tengah menyidik dugaan korupsi yang diduga melibatkan jenderal di tubuh Polri.

Dua pati tersebut adalah Irjen Antam Novambar dan Irjen Dharma Pongrekum. Nama keduanya ada dalam sembilan daftar calon yang diajukan Polri lewat surat Kapolri Nomor B/722/VI/KEP/2019/SSDM bertanggal 19 Juni 2019, yang ditandatangani Asisten Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia, Irjen Eko Indra Heri.

Menurut Karopenmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo, sejumlah nama tersebut belum final. Polri bakal melakukan serangkaian ujian buat memfinalisasi mereka dan kemudian menyerahkan kepada Panitia Seleksi Capim KPK yang diketuai Yenti Ganarsih.

“Masih ada tahapan pemeriksaan administrasi tentang kompetensi, rekam jejak.

Kami periksa secara internal terlebih dahulu,” kata Dedi, Kamis (20/6/2019).

Antam diketahui merupakan alumnus Akpol 1985. Ia adalah kawan seangkatan Wakapolri Komjen Ari Dono Sukmanto dan Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius. Kini, Antam tercatat sebagai Wakabareskrim Polri.

Antam pernah diberitakan Tempo pada 20 Januari 2015, sebagai pati yang diduga mengancam Direktur Penyidikan KPK kala itu, Kombes Endang Tarsa. Endang disebut diminta menjadi saksi meringankan dalam perkara praperadilan Budi Gunawan atas penetapan sebagai tersangka di KPK. Antam sendiri sudah menampik kabar tersebut.

Sementara itu, Dharma, pati Bareskrim yang ditugaskan di BSSN, diketahui pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim. Kala menjabat di posisi itu, Dharma adalah pejabat yang menandatangani surat pemanggilan untuk Novel Baswedan terkait dugaan penganiayaan berat hingga menyebabkan tewasnya pelaku pencuri sarang burung walet di Bengkulu pada 2004.

Kasus dugaan penganiayaan ini mencuat kembali saat KPK menyidik dugaan korupsi terhadap Budi Gunawan. Kasus ini sebelumnya mencuat saat Novel menjadi Kepala Satuan Tugas Penyidikan dugaan korupsi pengadaan simulator R-2 dan R-4 di Korlantas Polri yang menyeret Irjen Djoko Susilo pada 2012.

Dianggap Tak Etis

Mantan Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua menanggapi keberadaan calon pimpinan dari unsur Polri. Menurut Abdullah, sosok perwira tinggi yang diajukan haruslah mereka yang memenuhi kualifikasi. Ia pun menggarisbawahi soal adanya calon yang diduga pernah terlibat dalam pelemahan KPK.

“Kalau benar memang mereka bermasalah dengan KPK, maka kurang etis mereka menjadi pimpinan atau pegawai KPK,” kata Abdullah, saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (21/6/2019).

Keberadaan calon yang diduga bermasalah ini, kata Abdullah, bisa bikin hubungan tak harmonis antara pegawai dan pimpinan jika nantinya calon tersebut lolos menjadi pimpinan. Ia juga khawatir terhadap nasib Novel dan penyidik kepolisian yang berhenti dari polisi dan menjadi pegawai tetap yang berpotensi diberlakukan tidak adil.

“Satu hal yang pasti, latar dibentuknya KPK oleh DPR karena dianggap kepolisian dan kejaksaan tidak optimal memberantas korupsi. Jadi, kalau polisi secara internal belum berhasil menyelesaikan masalah korupsi di internal bagaimana mereka mau lakukan hal tersebut di KPK,” jelas Abdullah.

Kekhawatiran Abdullah juga dirasakan Muhammad Isnur, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sekaligus kuasa hukum Novel Baswedan dan bekas pimpinan KPK yang pernah ditersangkakan Polri. Isnur khawatir jika nama yang diduga bermasalah lolos jadi pimpinan.

Isnur juga berpandangan munculnya calon pimpinan dari pati Polri bisa membahayakan KPK sebab bisa menimbulkan dualisme loyalitas. Menurut Isnur, pati tersebut secara struktural berada di bawah Kapolri, sementara KPK sebagai institusi independen dibentuk untuk mengusut dugaan korupsi di semua lembaga termasuk di kepolisian.

Ia pun khawatir peran KPK akan semakin tumpul. “Khawatir akan membunuh KPK. Sebab prediksi kami, ada potensi KPK semakin lumpuh,” kata dia ketika dihubungi Tirto, Jumat (21/6/2019).

Karena Kesalahan Pansel

Persoalan ini, kata Isnur, tak lepas dari peran Pansel Capim KPK yang diketuai Yenti Ganarsih. Menurut Isnur, pansel seharusnya selektif dalam memilah calon, sehingga calon yang diduga berpotensi melemahkan KPK bisa dicegah sedari awal.

“Jika ada aktor yang dianggap bisa melemahkan KPK, sejak awal semestinya dihindari,” sambung Isnur.

Senada dengan Isnur, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari tidak sependapat dengan munculnya pati yang mendaftar sebagai calon pimpinan KPK.

“Sebab berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang KPK, lembaga itu dibentuk karena kegagalan aparat penegak hukum konvensional dalam memberantas korupsi,” ujar Feri kepada reporter Tirto.

Feri juga menyoroti peran pansel yang dinilainya sengaja mengundang Polri untuk menjadi bagian dari KPK. Menurut Feri, langkah tersebut sama saja menghendaki KPK gagal memberantas korupsi.

“Kali ini, Panitia Seleksi [Capim KPK] secara terbuka dan bersungguh-sungguh menginginkan polisi masuk sebagian pimpinan KPK, dengan berbagai alasan yang dibuat-dibuat. [Padahal] Polri tidak perlu mengirimkan siapa saja ke KPK karena itu bertentangan dengan tujuan pembentukan KPK,” sambung dia.

Ia pun menghendaki KPK untuk menolak calon yang diduga bermasalah ini mendaftar, terlebih polisi hingga kini belum bisa amengungkap kasus Novel yang sudah berjalan dua tahun lebih.

“Mereka [Polri] bicara korps, jadi tidak akan mungkin netral. Mana ada polisi akan menangkap jenderal,” ucap Feri.

Baca juga artikel terkait CALON PIMPINAN KPK atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Mufti Sholih