Menuju konten utama

Dukungan Demokrat & Potensi Hilangnya Jatah Kursi Pengusung Jokowi

Demokrat mungkin akan bergabung ke Jokowi. Ini membuat jatah kursi untuk partai pengusung mungkin berkurang. Wajar jika kemudian muncul resistensi.

Dukungan Demokrat & Potensi Hilangnya Jatah Kursi Pengusung Jokowi
Calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo (tengah) dan Ma'ruf Amin (kedua kanan) didampingi pimpinan partai yang tergabung Koalisi Indonesia Kerja memberikan keterangan kepada awak media massa usai pertemuan konsolidasi di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (18/4/2019). Pertemuan tersebut untuk memonitor sekaligus mengamankan proses rekapitulasi suara Pemilu 2019 oleh KPU. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/ama.

tirto.id - Partai Demokrat ada di persimpangan jalan. Saat ini mereka masih berstatus pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno bersama Berkarya, PAN, PKS, dan Gerindra. Namun di sisi lain, mereka juga menunjukkan gelagat bergabung ke koalisi Joko Widodo-Ma'ruf Amin--yang memenangkan Pilpres 2019.

Pernyataan Sekjen Demokrat Hinca Pandjaitan Senin (10/6/2019) ini menegaskan posisi demikian. Hinca menegaskan mereka masih ada dalam koalisi Prabowo-Sandiaga, tapi kepastian itu hanya sampai gugatan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) selesai. Setelah itu semua akan diperhitungkan ulang.

"Mari kita ikuti dan lakoni bersama sampai selesai. Itulah esensinya berkoalisi dan PD setia berada di jalur itu," kata Hinca.

Sementara Kepala Divisi Hukum dan Advokasi Demokrat, Ferdinand Hutahaean, mengatakan bahwa jika Jokowi mengajak Demokrat gabung ke pemerintahan, maka mereka akan mempertimbangkannya. "Dan dibahas di Majelis Tinggi partai yang dipimpin oleh Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum Demokrat)," katanya.

Kecenderungan bergabung ke koalisi petahana menguat setelah Prabowo menyinggung pilihan politik almarhumah Ani Yudhoyono pada 3 Juni lalu--Prabowo bilang bahwa Ani memilihnya baik dalam Pilpres 2014 dan 2019. SBY bilang kepada wartawan agar tidak memberitakan pernyataan itu. "Tidak elok untuk disampaikan," katanya, setelah mempersilakan Prabowo pulang.

Meski demikian, Ferdinand menegaskan kalau Demokrat tak akan jadi "murahan", dalam arti mengemis minta masuk koalisi. "Partai Demokrat punya hargalah," katanya kepada reporter Tirto akhir pekan lalu (8/6/2019).

Kemungkinan ini ditanggapi beragam oleh pengurus partai koalisi petahana. Ada yang menanggapi biasa saja, tapi ada pula yang tampak resisten.

Ketua DPP Partai Perindo Bidang Komunikasi dan Media Massa sekaligus juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Arya Sinulingga, mengatakan "boleh-boleh saja" dan "tidak masalah" jika Demokrat akhirnya bergabung ke koalisi. Tidak hanya itu, mereka juga merasa tak ada yang salah jika, misalnya, Demokrat dapat 'jatah' menteri--hak prerogatif presiden terpilih.

"Jokowi ke depan ingin merangkul semua. Jadi kalau Demokrat ingin bergabung, pasti akan kami terima," katanya kepada reporter Tirto, Senin (10/6/2019).

Ketua DPP Golkar, Ace Hasan Syadzily, juga mengatakan "kami serahkan ke Pak Jokowi" saat ditanya mengenai kemungkinan bergabungnya Demokrat. Pun dengan Wakil Sekjen PDIP Ahmad Basarah, yang mengatakan kalau suatu partai bergabung ke pemenang adalah hal biasa dalam politik. "Dulu [Pilpres 2009] PDIP kerja sama dengan Gerindra calonkan Prabowo dan Ibu Mega. Saat kalah, kami enggak bangun oposisi di parlemen [tapi] jalan sendiri-sendiri."

Jatah Menteri Berkurang

Hal serupa diungkapkan Sekjen PSI Raja Juli Antoni. Meski menyambut baik, Raja Juli mengingatkan kalau Demokrat mestinya tidak gabung ke koalisi Jokowi dengan niat cari 'kursi', sebagaimana partai lain yang tergabung dalam TKN, katanya.

"Seperti halnya sembilan partai yang bergabung di TKN, mendukung Pak Jokowi bukan karena 'politik dagang sapi' atau bagi-bagi jatah menteri. Tapi benar-benar karena kami ingin Pak Jokowi meneruskan kepemimpinan di Indonesia. Hal ini mohon dimaklumi kawan-kawan yang ingin bergabung," katanya dalam keterangan tertulis.

Dengan bertambahnya 'pemain baru' seperti Demokrat, maka berdasarkan hitung-hitungan sederhana, jumlah kursi untuk 'pemain lama' kemungkinan memang berkurang. Apalagi faktanya memang selalu ada jatah menteri bagi yang tak betah jadi oposisi. Ini sudah terjadi sejak pilpres langsung pertama pada 2004 lalu yang memenangkan SBY-Jusuf Kalla (JK). Pun dengan Jokowi pada periode pertama.

Pada tahun kedua, Golkar, PPP, dan PAN yang sebelumnya oposisi jadi pendukung pemerintah. Politikus ketiga partai itu lantas masuk Kabinet Kerja.

Dari Golkar, ada Luhut Panjaitan (sekarang Menko kemaritiman), Airlangga Hartarto (Menteri Perindustrian), Idrus Marham, dan Agus Gumiwang Kartasasmita (Menteri Sosial). Dari PAN, ada Asman Abnur (Menteri PAN RB). Dari PPP, Lukman masih menjadi Menteri Agama.

Pada tahun pertama pemerintahan, Jokowi menyerahkan kepemimpinan 19 dari 34 kementerian ke profesional (lebih dari 50 persen). Tapi itu tak berlangsung lama karena ada beberapa nama yang diganti dengan kader partai.

Rachmat Gobel sebagai Menteri Perdagangan, misalnya, diganti dengan Thomas Lembong (12 Agustus 2015) dan lalu Enggartiasto Lukita (27 Juli 2016). Enggar adalah politikus Nasdem. Sementara Andi Widjajanto sebagai Setkab lantas diganti Pramono Anung yang berasal dari PDIP pada 12 Agustus 2019.

Infografik Jatah Bagi Oposisi

Infografik Jatah Bagi Oposisi

Di satu sisi, beberapa partai pendukung Jokowi sudah secara terbuka meminta jatah menteri. Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono, misalnya, pada 27 Mei lalu mengatakan "wajar kalau kami minta empat atau lima kursi."

Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, bahkan meminta jatah 10 menteri dan menyodorkan 20 nama untuk dipilih Jokowi. "Saya bilang, monggo dipilih, Pak," kata pria yang akrab disapa Cak Imin ini pada 21 Mei lalu.

Sementara Sekjen PPP Asrul Sani berharap mereka dapat jatah menteri lebih banyak ketimbang periode pertama. Pada periode ini mereka hanya menempatkan satu kader sebagai menteri, yaitu Menteri Agama. Mereka merasa berhak dapat lebih karena turut memenangkan Jokowi, tidak seperti lima tahun lalu.

"PP ingin portofolionya [menteri] bertambah di pemerintahan mendatang," katanya, Mei lalu. "PPP masuk sebagai partai yang pertama-tama mendeklarasikan dukungan kepada Pak Jokowi, lebih dulu daripada PKB," tambahnya.

Direktur Puskapol UI Aditya Perdana mengatakan memang tak terhindarkan jika "ada yang protes" dengan masuknya Demokrat karena jatah menteri untuk mereka akan berkurang, meski misalnya tak ada pernyataan eksplisit tentang itu.

"Bisa jadi ada persoalan enggak nyaman soal itu. Masak minta masuk tapi enggak keringetan," katanya kepada reporter Tirto. "Keringetan" yang dimaksud adalah kerja-kerja kampanye selama ini, sementara maksud "enggak nyaman" adalah partai-partai yang telah sejak awal bergabung ke koalisi Jokowi.

Meski kondisi itu tidak terhindarkan, kata Arya, semua akan selesai setelah Jokowi membuat keputusan, baik soal bergabungnya Demokrat atau memberi kader mereka kursi menteri--nama Agus Harimurti Yudhoyono digadang-gadang salah satu yang akan dipilih.

"Kalau Pak Jokowi mengiyakan, saya pikir selesai. Enggak akan lama. Ujungnya siapa dapat apa selesai juga," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel & Riyan Setiawan
Penulis: Rio Apinino
Editor: Jay Akbar