Menuju konten utama

Dukungan Cina untuk Palestina: Demi Politik atau Ekonomi?

Cina sangat mendukung Palestina sejak awal. Tapi alasan di baliknya berubah, dari mulai ideologi sampai ekonomi.

Dukungan Cina untuk Palestina: Demi Politik atau Ekonomi?
Header Mozaik Relasi Cina-Palestina. tirto.id/Quita

tirto.id - Presiden Cina Xi Jinping menyatakan dengan tegas di hadapan para pemimpin negara Arab bahwa negaranya “selalu mendukung perjuangan rakyat Palestina... dan selalu berdiri bersama rakyat Palestina.” Pernyataan tersebut disampaikan dalam perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Cina-Arab, Senin lalu (12/12/2022),

Mengejutkan? Tidak.

Cina adalah salah satu kawan paling lama Palestina. Ikatan keduanya telah terjalin mapan selama setengah abad. Tiap kali konflik dengan Israel muncul, negara ini selalu berdiri paling depan untuk membela kepentingan Palestina. Kekonsistenan inilah yang dijaga betul oleh para pejabat Cina sampai hari ini dan disambut baik oleh banyak pihak.

Ada apa di balik sikap tersebut? Alasan Cina tampak bersemangat mempertahankan relasi baik dengan Palestina berkaitan erat dengan visi geopolitik dan ekonomi yang telah dicanangkan sejak lama.

Motif Ideologi

Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 di Bandung menjadi awal kemunculan keprihatinan Cina terhadap Palestina. Kala itu, Menteri Luar Negeri Cina, Zhou Enlai, banyak mendengar dan berdiskusi ihwal penghapusan imperialisme yang digaungkan negara-negara Arab.

Satu tokoh yang berhasil membawa Cina lebih dalam memperhatikan isu kemerdekaan Palestina adalah delegasi Suriah Ahmad al-Shukairy. Dalam memoarnya yang diceritakan ulang Hashim S. H Behbehani dalam China’s Foreign Policy in the Arab World, 1955-75 (1981), Ahmadlah yang menceritakan asal-usul permasalahan Palestina kepada Zhou.

Zhou mengerti dan berjanji negaranya akan mendukung kepentingan Arab dan khususnya Palestina. Zhou memandang bahwa kolonialisme atau neo-kolonialisme yang melanda di negara dunia ketiga, tidak hanya wilayah Arab, mutlak harus dihilangkan di muka bumi, apa pun caranya.

Pada akhirnya, janji tersebut bukan omong kosong. Setelah KAA, Cina memberi “karpet merah” terhadap Timur Tengah. Hubungan diplomatik dengan Mesir, Suriah, dan Yaman resmi terjalin.

Karena menjalin relasi dengan mereka, hubungan bersama Palestina pun semakin dekat. Bagi Cina, sesuai dengan keputusan KAA, kedaulatan negara baru merdeka harus diakui. Palestina juga harus didukung atas nama solidaritas dari bangsa yang pernah terjajah.

Di sisi lain, mendekatkan diri kepada Palestina otomatis membuat hubungan Cina dengan Israel merenggang. Memang belum ada hubungan resmi, tetapi sejarah mencatat keduanya sudah menjalin relasi sejak lama.

Ini bermula ketika Israel menjadi negara pertama di Timur Tengah yang mengakui kedaulatan Cina pada 1950. Hubungan pun berjalan positif sebelum akhirnya mencapai titik beku lima tahun kemudian. Sejak saat itu, hubungan Cina-Israel tidak lagi sama.

Aksi nyata pertama Cina diwujudkan setelah pembentukan Palestine Liberation Organization (PLO) pada 28 Mei 1964. Cina mendukung organisasi tersebut tanpa pamrih karena memiliki garis perjuangan serupa, apalagi ada faksi sayap kiri di dalamnya.

Yang Chen dalam “China’s Position on the Palestine-Israel Issue” (Middle Eastern Studies, 2017) memaparkan bahwa pada dekade 1960-an, Cina aktif memberikan bantuan material kepada PLO. Dari mulai uang, persenjataan, sampai pelatihan militer. Semuanya disiapkan Negeri Tirai Bambu khusus untuk membantu PLO menghabisi Israel.

Selain itu, dibuka juga kantor perwakilan PLO di Beijing. Ini menjadikan Cina sebagai negara pertama di luar Arab yang memberikan dukungan resmi kepada PLO.

Pejabat Cina juga beberapa kali tercatat memberikan dukungan verbal. Contohnya Mao Zedong dan Deng Xiaoping. Mereka menyebut pemimpin terkemuka PLO Yasser Arafat sebagai rekan seperjuangan dan “teman lama rakyat Cina.” Yasser Arafat juga kerap bolak-balik ke Beijing.

Dukungan besar tersebut berdampak besar bagi kedua negara. Menurut sejarawan Lilian Craig Harris dalam “China’s Relation with The PLO” (Journal of Palestine Studies, 1977), bantuan Cina yang tulus menjadi investasi besar dalam perjuangan revolusioner PLO. Tanpa bantuan semacam itu, PLO tidak mungkin bisa menjadi organisasi politik yang kuat.

Sedangkan bagi Cina, keberhasilan membantu Palestina menghasilkan citra positif di mata negara Arab, negara muslim, dan negara dunia ketiga lain. Pengaruh Cina semakin luas. Hubungan diplomatik kian mudah dijalin.

Berdiri di Dua Sisi

Sikap Cina berubah memasuki tahun 1970. Reformasi ekonomi dalam negeri membuat persoalan politik dan ideologi dikesampingkan. Cina jadi lebih fokus pada kepentingan bisnis. Kebijakan luar negerinya turut berubah: berupaya merangkul banyak negara agar dapat berdagang.

Israel pun tak luput dari target.

Elite Cina memandang Israel sebagai mitra strategis karena sukses membangun sektor teknologi pertahanan. Pikir mereka, keunggulan ini harus mampu dimanfaatkan untuk modal pembangunan Cina.

Israel yang memang sejak lama ingin rekonsiliasi menyambut baik langkah baru ini. Sejak saat itu, Cina-Israel kembali menjalin hubungan bersifat informal. Terjadilah arus perdagangan, pertukaran teknologi, dan senjata. Puncaknya terjadi ketika kedua negara secara resmi menjalin hubungan diplomatik pada 1992.

Pada saat bersamaan, Cina mulai acuh terhadap PLO. Secara bertahap negara ini mulai mengurangi dukungan atas perjuangan bersenjata Palestina.

Ini tidak hanya disebabkan oleh perubahan garis besar kebijakan luar negeri, tetapi juga kondisi regional dan global. Masih mengutip Yang Cheng, setidaknya ada dua alasan yang mendasarinya.

Pertama, kemunculan berbagai kelompok di luar PLO dalam perjuangan Palestina. Kemunculan ini membuat Cina ragu untuk memberi dukungan karena cukup sulit membedakan mana kawan dan lawan. Kedua, harmonisnya hubungan PLO dengan Uni Soviet. Kala itu, Soviet-Cina tidak lagi akur. Keduanya tidak ingin berada di sisi yang sama.

Meski begitu, Cina menyadari penarikan dukungan bakal berdampak pada hubungan mereka dengan negara Arab. Maka, untuk menjaga relasi satu sama lain, Cina memutuskan berdiri di dua sisi alias mengambil langkah netral.

Dari sinilah seruan perdamaian muncul dari Beijing. Palestina jelas tidak senang, tetapi tidak punya pilihan selain menerima perubahan itu.

Sejak tahun 1980 sampai sekarang, tuntutan Cina selalu sama, yakni penyelesaian politik berdasarkan “solusi dua negara”. Artinya, Palestina harus tetap berdiri dan diakui sebagai negara berdaulat berdasarkan perbatasan tahun 1967 yang beribu kota di Yerusalem Timur.

Menurut Samuel Ramani di The Diplomat, Cina mempromosikan gerakan penentuan nasib sendiri bangsa Palestina dan mengutuk pendudukan Israel dengan memanfaatkan status sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Karena status ini Cina dapat menangkal tekanan Amerika Serikat sekaligus menekan Israel agar mematuhi setiap resolusi PBB.

Selain itu, Cina juga melakukan langkah diplomatik lewat peningkatan legitimasi internasional organisasi pembebasan Palestina, termasuk yang kontroversial: Hamas. Contohnya, Cina menolak penyebutan Hamas sebagai organisasi teroris. Bahkan Cina pernah menyebut Hamas sebagai wakil terpilih rakyat Gaza saat perwakilannya datang ke Beijing pada 2006 silam.

Berbagai dukungan ini membuat Hamas dan organisasi lain mendapat pengakuan dan panggung internasional lebih besar.

Dalih Tersembunyi?

Cina di bawah administrasi Presiden Xi Jinping sejak 2013 memberikan corak baru dalam konflik Israel-Palestina.

Xi yang mencanangkan proyek bernama Belt and Road Initiative (BRI) memandang penting keberadaan dua negara dan selalu menyerukan perdamaian secepatnya. Bagi Xi, seandainya konflik terus terjadi, kepentingan Cina di Timur Tengah akan terganggu. Cita-cita terwujudnya “perdamaian melalui pembangunan” yang dicanangkan menjadi sulit dilakukan.

Meski begitu, kata William Figueroa di The Diplomat, orang-orang seharusnya tidak berharap lebih atas upaya Cina. Sebab, “Cina hanya memainkan permainan tanpa aturan dan pada dasarnya mementingkan diri sendiri serta pragmatis,” katanya.

Contohnya dapat terlihat pada semakin masifnya hubungan mereka dengan Israel, khususnya di sektor perdagangan. Hubungan dagang kedua negara tumbuh. Israel tercatat mengimpor lebih banyak barang dari Cina dibanding negara lain. Begitu juga Israel yang menjadikan Cina sebagai pasar potensial. Pada tahun lalu, ada keuntungan senilai 22,8 miliar dolar AS dari transaksi tersebut.

Hubungan ini hanya berubah ketika AS menekan Israel agar membatasi keterlibatan Cina dalam sektor ekonomi.

Infografik Mozaik Relasi Cina Palestina

Infografik Mozaik Relasi Cina-Palestina. tirto.id/Quita

Perdagangan dengan Israel sebenarnya juga termasuk dalam perhitungan politik Cina. Dengan berbisnis kepada negara Yahudi itu, Cina, sebagai negara adikuasa di Timur, mendapat kesan bahwa ia dapat dipercaya oleh semua pihak. Alias, tidak berat sebelah atau hanya berdiri di pihak Palestina saja.

Mungkin saja langkah ini adalah pintu masuk bagi Cina menjadi mediator konflik. Seandainya terjadi, jelas Cina semakin mendapat panggung internasional.

Sejalan dengan itu, Giorgio Cafiero di TRT World menyebut bahwa sebetulnya dukungan Cina tak lebih sebagai alat politik saja. Konsep “Pembangunan untuk perdamaian” hanya dalih semata.

Memang dukungan atas Palestina dapat menjadi alat Cina untuk melawan dominasi AS sekaligus memperkecil risiko politis atas kasus pelanggaran HAM terhadap muslim di Xinjiang. Namun, untuk urusan ekonomi, dibanding Iran, Irak, Libya, atau negara muslim lain, Palestina tidaklah potensial. Seandainya proyek BRI dijalankan di sana, dikhawatirkan akan tidak relevan.

“Tidak ada alasan untuk mengharapkan Cina agar memberi tekanan pada Israel dan mengubah kebijakannya terhadap Palestina,” kata Giorgio Cafiero.

Baca juga artikel terkait PALESTINA atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Politik
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Rio Apinino