Menuju konten utama

Dugaan Rente di Balik Izin Impor Bawang Putih dari Cina

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan memastikan izin impor bawang putih hanya diberikan kepada mereka yang telah menerima rekomendasi.

Dugaan Rente di Balik Izin Impor Bawang Putih dari Cina
Petugas menurunkan ratusan kilogram bawang putih milik Bulog Sulawesi Tengah dari mobil pengangkut untuk dipasarkan pada pasar murah yang digelar di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (13/6). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

tirto.id - Izin impor bawang putih sebanyak 100 ribu ton yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan mendapat sorotan. Sebab, izin itu dikeluarkan saat dugaan praktik kartel yang bersembunyi di balik mahalnya harga komoditas ini mulai terendus.

Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional (AHN), Anton Muslim Arbi meyakini dugaan kartel itu. Alasannya, harga pasaran bawang putih berada di kisaran Rp42-45 ribu/kg, padahal sejauh yang ia ketahui biaya impor komoditas itu dari Cina hanya sekitar Rp8.000/kg.

“Liat saja harga, kan, antara Rp42-45 ribu/kg. Ini empuk bagi importir. Lihat saja bedanya berapa? Dia beli di Cina paling Rp6.000/kg, lalu bea masuk Rp2.000/kg,” ucap Anton saat dihubungi reporter Tirto pada Senin (22/4/2019).

Di sisi lain, Anton juga menyoroti klaim pemerintah yang menyatakan stok bawang putih masih cukup hingga 3 bulan ke depan. Namun, di saat yang sama, kata Anton, pemerintah justru memberi izin agar komoditas ini kembali didatangkan dari negeri tirai bambu.

Menurut Anton impor bawang putih yang dilakukan sejak Desember 2018 sebenarnya masih cukup. Bahkan terhitung April 2019 ini, jumlahnya masih memadai untuk tiga bulan ke depan. Namun, kata Anton, kenyataannya harga sudah melambung tinggi.

“Kalau masuk banyak, kan, harusnya harga turun. Masalahnya harga enggak turun-turun,” ucap Anton.

Anton pun menduga izin impor bawang putih yang belum tentu efektif menurunkan harga ini menjadi cela bagi masuknya rente. Ia menilai pada titik ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mau tidak mau harus bertindak.

“Ini dikendalikan birokrasi dan segelintir orang. Bisa jadi ada rente buat kekuatan politik tertentu,” kata Anton.

Dugaan Anton ini sebenarnya pernah masuk dalam radar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada 6 Juni 2017. Waktu itu, Ketua KPPU periode 2012-2018, Syarkawi Rauf pernah menduga bila pelaku kartel bawang putih di Indonesia meraup untung Rp12 triliun per bulan pada 2017.

Keuntungan itu diperoleh melalui pembelian bawang putih di Cina dengan perkiraan harga Rp15.000/kg. Sehingga dengan impor 480 ribu ton, hanya memerlukan modal Rp7,2 triliun. Namun, ia mendapati komoditas itu dijual di Indonesia dengan kisaran harga Rp40.000/kg dengan mengurangi pasokan ke pasar sehingga mendapat penghasilan hingga Rp19,2 triliun.

Kendati demikian, Komisioner KPPU periode 2018-2023, Guntur Saragih mengatakan belum melihat adanya potensi itu dalam mahalnya harga bawang putih kali ini. Menurut dia, mahalnya harga lebih disebabkan karena faktor permintaan-penawaran.

Menurut Guntur, bisa jadi situasi harga saat ini disebabkan karena melesetnya izin impor dari pemerintah. Karena itu, ia mendesak agar pemerintah konsekuen dengan rencana yang dimiliki lantaran dapat memengaruhi harga.

“Kalau itu [dugaan kartel] belum masuk ke kami ya. Tapi mahalnya harga itu lebih terkait ke supply dan demand. Dari pemerintah, kan, sudah menghitung kapan rencana impor, ketika meleset ada potensi kenaikan harga,” ucap Guntur kepada wartawan di Gedung KPPU, pada Selasa (23/4/2019).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal mengatakan pemerintah perlu berhati-hati dengan impor yang dilakukan. Apalagi, kata dia, sejak 2018 kontrol pemerintah terhadap impor tampak mengendur, tetapi di saat yang sama jumlahnya turut melonjak tinggi.

Pernyataan Faisal ini sejalan dengan sejumlah kritik yang mempersoalkan pencabutan persyaratan rekomendasi sejumlah komoditas, sehingga hanya mengandalkan persetujuan menteri perdagangan. Salah satu alasannya karena pengenduran ini dikhawatirkan dapat mengarah pada meluasnya peluang praktik pemburuan rente.

Tidak hanya itu, pada 2017, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat penerbitan izin impor sektor pangan Kementerian Perdagangan bermasalah. Salah satunya adalah tidak sesuai kebutuhan, melanggar ketentuan impor, tidak memiliki rekomendasi kementerian pertanian, dan tidak memiliki sistem pemantau realisasi impor.

“Yang jelas tren impor 2018 ada lonjakan tidak biasa. Di 2018 banyak mengendorkan kontrol terhadap impor,” ucap Faisal saat dihubungi reporter Tirto pada Selasa (23/4).

Karena itu, kata Faisal, pemerintah harus memastikan pengawasan dan kontrol yang tepat agar impor tidak disalahgunakan seperti mendulang rente. Sebab, saat ini produksi sejumlah komoditas belum dapat dipenuhi dari dalam negeri. Belum lagi, harga luar negeri lebih murah sehingga memberi lebih banyak ruang untuk melakukan impor.

“Situasi sekarang sangat kondusif untuk impor. Kalau tidak ada kontrol, ya banyak praktik impor seperti penimbunan dan rente bisa terjadi,” ucap Faisal.

Namun, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan menampik dugaan itu. Ia memastikan tak ada dugaan kartel atau rente seperti yang disangkakan. Sebab, izin impor hanya diberikan kepada mereka yang telah menerima rekomendasi.

“Enggak ada kartel atau rente. Intinya impor hanya kami berikan pada mereka yang mendapat rekomendasi. Kalau enggak mendapatkan, ya enggak kami kasih izin impor,” ucap Nurwan saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (23/4/2019).

Menurut Nurwan, impor yang dilakukan pemerintah dipastikan mampu menurunkan harga yang saat ini ditargetkan berada di angka Rp32.000/kg. Dengan demikian, ia yakin bila impor ini dapat memberi pengaruh pada jaringan distribusi dan harga di antara pelaku usaha.

“Ketika barang datang harganya pasti turun. Kami akan distribusikan ke tempat yang harganya tinggi,” ucap Nurwan.

Baca juga artikel terkait IMPOR BAWANG PUTIH atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz