Menuju konten utama

Dugaan Plagiat Rabbit Town Bandung: "Yayoi Kusama Nu Aing!"

Nampak gemerlap, kekinian, akan tetapi diduga hasil plagiat. Begitulah wajah wahana seni di Bandung, Rabbit Town.

Dugaan Plagiat Rabbit Town Bandung:
Wisatawan berswafoto di kawasan wisata Rabbit Town Cimbuleuit, Bandung, Jawa Barat, Minggu (18/3). ANTARA FOTO/Khairizal Maris

tirto.id - Anak kecil itu duduk di atas pangkuan sang ibu. Di belakang mereka, terdapat stiker bermacam warna yang berbentuk lingkaran kecil serta menempel di dinding. Wajah keduanya menatap kamera dan nampak bahagia.

Gambaran di atas adalah salah satu potret pengunjung Rabbit Town yang diunggah di Instagram. Dalam kurun waktu akhir-akhir ini, wahana kreatif di Bandung tersebut ramai pemberitaan. Bukan hanya karena banyak orang yang mengunjunginya, tapi juga karena dugaan plagiat karya seniman luar negeri.

Indikasi plagiat itu lantas membuat heboh jagat maya. Di Twitter, warganet beramai-ramai merundung Rabbit Town. Akun @grcelia, misalnya, mencuit: “Benci banget sama Rabbit Town Bandung. Please, temen-temen gue jadilan orang bermoral, jangan pergi ke sana. Najis, bener-bener najis.”

Ia meneruskan, “Essay gue dijiplak orang aja bisa nangis kesel, apalagi kalo karya seni yang udah di museum terus dijiplak plek percis dan diduitin. Babi ga.”

Akun @sloppypoppy juga mengeluarkan pendapat senada. “Bikin instalasi itu luar biasa lho effort-nya. Kenapa mesti jiplak punya orang? Sedih sih. Kenapa ga bikin instalasi lain yang memang Indonesia banget atau Bandung Banget,” ungkapnya.

Situasi di Instagram juga setali tiga uang. Kala akun Rabbit Town (@rabbittown.id) yang punya followers hampir 22 ribu memposting foto pengunjung yang berpose dengan instalasi mereka, masyarakat Instagram langsung menyerang dengan hujatan di kolom komentar.

Sadar dihujat, pihak @rabbittown.id lantas menonaktifkan fitur komentar dan terus mengunggah foto pengunjung lainnya setiap hari.

Sikap @rabbittown.id turut memantik respons @diet_prada yang dikenal sebagai akun fesyen yang fokus pada isu plagiat. Dalam unggahannya, mereka menulis: “Hey @rabbittown.id, it’s cool you wanna bring some Los Angeles flavor to Indonesia but, blocking the people tagging @lacma—Los Angeles County Museum of Art—in the comments doesn’t really go with chill West Coast vibes. Chris Burden’s “Urban Light” installation is pretty iconic. Lol.”

Menurut penelusuran Artnet, beberapa instalasi di Rabbit Town yang diduga menjiplak antara lain ialah karya Chris Burden berjudul “Urban Light” (2008) yang disimpan di LACMA. Di Rabbit Town, karya ini dinamai “Love Light.” Lalu, ada instalasi bernama “Patrico Sticker” yang begitu mirip dengan karya seniman Jepang, Yayoi Kusama, “Obliteration Room.”

Kemudian, ada pula mural bergambar sepasang sayap malaikat yang mirip dengan karya Colette Miller berjudul “Angel Wings.” Tak ketinggalan, di Rabbit Town juga ada gambar pisang, es krim, dan pohon palem yang sama dengan ilustrasi di Museum of Ice Cream sampai ke warna-warna ornamennya.

“Rabbit Town semakin terkenal karena mereka mengabaikan kekayaan intelektual para seniman,” tegas perwakilan Museum of Ice Cream kepada Artnet seraya mengaku telah meminta Instagram menutup akun Rabbit Town.

Rabbit Town didirikan oleh CEO Kagum Hotel Group, Henry Husada. Nama “Rabbit Town” sendiri terinspirasi oleh tahun kelahirannya—pada 1963—yang bertepatan dengan shio kelinci. Rabbit Town mengusung konsep wisata swafoto dengan wahana-wahana seni di dalamnya yang dijadikan latar jepretan kamera.

Wahana ini berlokasi di Ciumbuleuit, Bandung dan beroperasi sejak 11 Januari kemarin. Untuk tiket masuknya, Rabbit Town mematok tarif sebesar Rp25 ribu. Rencananya, pada 22 April besok, Rabbit Town akan mengadakan seremoni pembukaan. Slogan Rabbit Town ialah “The way more happiness.”

Tirto berusaha untuk meminta klarifikasi kepada pihak Rabbit Town atas dugaan plagiarisme ini, tetapi sampai sekarang belum ada tanggapan.

infografik kasus plagiat rabbit town

Dari Disney hingga Zara

Dalam perkembangannya, yang pernah dituduh menjiplak karya seniman lain bukan Rabbit Town saja. Pada 2015, seniman Amerika, Jim Sanborn, menuduh instalasi seni yang dipasang di Centennial Park, Toronto, Kanada, telah meniru karyanya.

Menurut Sanborn, apa yang tertera pada instalasi itu—silinder kaca dengan tulisan dan pencahayaan dari bawah—sama persis dengan yang pernah dibuatnya. Sanborn berencana akan menuntut ganti rugi sebesar $200 ribu atas kasus dugaan penjiplakan karya tersebut.

Tuduhan Sanborn langsung dibantah Terraplan Landscape Architech selaku pembuat instalasi. Direktur Pelaksana Terraplan, Alan Schwartz, mengatakan bahwa instalasi tersebut “lahir dari proses desain.”

“Silinder ini bentuk yang sangat umum di dunia desain dan seni, serta ada silinder lainnya di berbagai tempat yang sama dengan silinder di Toronto,” jelasnya seraya menyebut karya Anila Quayyun Agha berjudul “Intersections” sebagai contoh.

Nasib serupa dialami seniman Katie Woodger. Lima tahun yang lalu, ia menuding Disney telah menjiplak gambar ciptaannya bernama Lewis Carroll di produk tas kosmetik maupun kaos yang mereka jual. Seperti diwartakan io9, Woodger membuat Lewis Carroll pada 2010 semasa duduk di bangku perkuliahan.

Woodger mengatakan dirinya “sangat marah” karena “Disney tidak melakukan langkah apapun” terkait dugaan plagiarisme tersebut. Kendati tak menanggapi klaim Woodger, Disney langsung menarik produk tas kosmetik dan kaos dengan gambar yang diduga kuat mirip Lewis Carroll itu.

Pada 2016, jenama fesyen Zara juga mengalami hal yang sama. Zara dituduh menjiplak karya seniman independen asal Los Angeles, Tuesday Bassen.

Kasus ini bermula saat Bassen mengunggah gambar yang membandingkan desain ciptaannya dengan desain produk Zara lewat akun Twitter miliknya. Ia lalu menyertakan caption: “Kamu tahu, kadang-kadang jadi seniman itu menyebalkan karena perusahaan macam @zara secara konsisten merampas karyamu dan menyangkalnya.”

Bassen mengaku mengetahui Zara menjiplak karyanya dari pengikutnya di Instagram. Ia kemudian mengunggah cuitan seperti di atas tatkala melihat desain Zara sangat mirip dengan “Girls Pennant” ciptaannya.

Zara, menurut penuturan Bassen seperti dilansir The Guardian, berdalih desain yang digunakan sama sekali tidak menjiplak karya Bassen serta menegaskan “desain Bassen tidak cukup khas untuk dikaitkan dengan milik Zara.”

Dugaan aksi menjiplak yang dilakukan Zara nyatanya tidak hanya menimpa Bassen saja. Rekan seprofesi Bassen, Adam Kurtz, juga pernah mengalami hal yang sama: desain ciptaannya diduga kuat telah dijiplak Zara. Guna menyelesaikan konflik ini, Kurtz menghimpun sejumlah seniman senasib dan mengajukan tuntutan pada Zara.

Selain dituduh menjiplak karya seniman, Zara juga pernah dituding menjiplak desain produk rumah fesyen lainnya seperti Celine sampai Christian Loubotin. Perihal aksi ini, Kutrz mengatakan bahwa hal tersebut adalah buah dari kemalasan menggali daya kreasi.

“Kesalahan semacam ini memang biasa terjadi mengingat perusahaan besar [seperti Zara] terdiri dari banyak individu,” katanya. “Tapi jika terjadi sampai berkali-kali, itu jelas disengaja.”

Plagiarisme dalam Seni Lebih Kompleks

Ade Darmawan, kurator seni dan salah satu pendiri ruangrupa, menjelaskan masalah plagiarisme dalam ranah seni—lukis, rupa, dan lain sebagainya—lebih kompleks untuk ditelaah. Di lain sisi plagiarisme, jelas Ade, juga punya banyak tendensi; dari artistik, komersil, sampai strategi perlawanan.

“Gue ambil contoh seni rupa yang jadi fokus gue. Di seni rupa, untuk bisa melihat ada plagiarisme atau enggak itu lebih kompleks karena pada dasarnya karya seni rupa itu mengandung banyak elemen, banyak material, dan banyak bentuk,” ujarnya saat dihubungi Tirto.

“Dampak dari banyaknya elemen yang harus diurai tersebut membuat seniman mudah berkelit dengan plagiarisme.”

Perihal kasus Rabbit Town, Ade berpendapat bahwa pihak yang harus dimintai tanggungjawab pertama kali adalah seniman yang membuat instalasi di dalamnya. Bukan tidak mungkin, dari situ muncul gugatan dari pihak terkait kepada Rabbit Town.

“Ini yang tragis sekaligus ironis karena seharusnya mereka di sana [Rabbit Town] tahu bahwa apa yang mereka buat itu sudah dibuat seniman lain,” ungkapnya. “Ini menandakan ada semacam rasa malas untuk mengembangkan kreasinya. Dan parahnya, mereka telah memanfaatkan ketidaktahuan publik untuk kepentingan komersil.”

Ade turut menggarisbawahi bahwa dugaan plagiarisme yang dilakukan Rabbit Town menandakan perasaan minder seniman lokal terhadap karyanya sendiri. Para seniman lokal—terutama yang turut terlibat dalam Rabbit Town—beranggapan bahwa karya seniman luar negeri lebih bagus dan berkualitas.

“Padahal enggak juga. Banyak karya dari Indonesia yang sebetulnya juga punya kualitas yang tidak bisa diremehkan begitu saja,” terangnya.

Senada dengan Ade, Leigh Garrett dan Amy Robinson dari University for the Creative Arts, Farnham, Inggris, dalam “Spot the Difference! Plagiarism Identification in the Visual Arts” (2012) menyebutkan bahwa gagasan mengenai plagiarisme visual cukup kompleks untuk dideteksi karena faktor-faktor seperti praktik artistik-komersial, inkonsistensi pendekatan penyelesaian masalah, sampai tidak adanya panduan maupun kebijakan terkait plagiarisme.

Selama ini, catat Garrett dan Robinson, untuk mengungkap masalah plagiarisme visual orang-orang hanya bertumpu pada pengetahuan ahli yang malah berpotensi mengakibatkan salah analisis sehingga menambah kerumitan dalam proses identifikasi karya.

Untuk menyelesaikan problem tersebut, Garrett dan Robinson menawarkan solusi lain berupa pengembangan aplikasi dan teknologi yang nantinya punya kemampuan komprehensif untuk mendeteksi sumber asli dalam kasus plagiarisme dan menyediakan sistem untuk melindungi kekayaan intelektual. Salah satu teknologi yang mereka rekomendasikan adalah iTrace ciptaan John Collomose dari University of Surrey.

Meski demikian, Ade menegaskan masalah mengenai plagiarisme dalam seni merupakan masalah bersama yang melibatkan pemerintah, pelaku seni, pihak swasta, sampai masyarakat. Ia mengatakan bahwa selama ini di Indonesia, masalah plagiarisme selalu muncul karena ketiadaan sinkronisasi antar pihak terkait.

“Ketidaktahuan khalayak tentang plagiarisme maupun seni secara keseluruhan enggak bisa dilepaskan dari faktor bahwa investasi di bidang seni selama ini masih minim. Edukasi, sosialisasi, dan langkah-langkah lainnya masih belum terlaksana dengan baik. Pembangunan seni harus dilakukan secara menyeluruh dan berjangka waktu panjang. Ini yang jadi tantangan,” pungkas Ade.

Baca juga artikel terkait PLAGIAT atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf