Menuju konten utama

Duduk Perkara Unnes Bungkam Mahasiswa yang Adukan Rektor ke KPK

Perbuatan Frans dilindungi oleh hukum karena berperan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Ia justru patut mendapatkan penghargaan.

Duduk Perkara Unnes Bungkam Mahasiswa yang Adukan Rektor ke KPK
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Frans Josua Napitu untuk sementara waktu tidak bisa berkuliah di kampusnya, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (FH Unnes). Dalam Surat Keputusan Dekan Nomor 7677/UN.37.1.8/HK/2020 tentang Pengembalian Pembinaan Moral Karakter Frans Josua Napitu ke Orang Tua, ditetapkan pada 16 November 2020, disebutkan bahwa “segala hak dan kewajiban mahasiswa sebagaimana dimaksud pada diktum ke satu untuk sementara ditunda selama enam bulan dan akan ditinjau kembali.”

Dekan FH Unnes Rodiyah mengatakan latar belakang keputusan itu terkait dugaan Frans sebagai simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Ia juga menyebut keputusan “pengembalian pada orang tua” sebagai konsekuensi dari pernyataan yang ditandatangani Frans pada 8 Juli 2020, yang intinya ia tak lagi melakukan “tindakan provokatif yang menimbulkan kegaduhan” dan bakal menjaga “nama baik Unnes.” Surat pernyataan itu sendiri ditandatangani sebagai bentuk “pembinaan” atas tindakan Frans yang disebut sebagai “simpatisan OPM” oleh universitas.

Namun Rodiyah menolak menyebut keputusan ini sebagai sanksi. “Kami tidak memberikan sanksi. Kami ajak orang tua terlibat dalam pembinaan moral anak. Karena memang sudah lama--dari 2018 sampai sekarang--tidak ada perubahan dan orang tua tidak kooperatif [saat] kami ajak membina,” kata Rodiyah kepada reporter Tirto, Selasa (17/11/2020).

Ia mengatakan surat keputusan berlandaskan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terutama Pasal 7 soal Hak dan Kewajiban Orang Tua. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya,” Kemudian, “orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.”

Masalahnya dalam UU tersebut tidak ada aturan spesifik soal pengembalian mahasiswa ke orang tua dan penundaan kewajiban dan hak mahasiswa sebagaimana yang tertera dalam keputusan yang dibikin Rodiyah.

Frans juga membantah tuduhan itu. Ia mengaku memang pernah mengikuti aksi damai menolak rasisme terhadap orang-orang Papua. Namun aksinya didasari atas rasa kemanusiaan, yang menurutnya tak ada kaitannya dengan OPM. Ia menyebut “simpatisan OPM” sebagai tuduhan serius yang tidak masuk akal. “Saya dikaitkan dengan simpatisan OPM itu tidak relevan dan bisa jadi itu fitnah yang perlu dipertanggungjawabkan,” kata Frans kepada reporter Tirto, Selasa.

Karena Laporkan Rektor ke KPK?

Frans menilai tuduhan yang dialamatkan kepadanya hanya dalih. Alasan sebenarnya, katanya, adalah karena ia melaporkan dugaan korupsi Rektor Unnes Fathur Rokhman ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat 13 November, tiga hari sebelum surat keputusan “dikembalikan kepada orang tua” dilayangkan.

Dalam laporan, Frans menyebutkan ada beberapa komponen yang berkaitan dengan keuangan/anggaran yang janggal atau tidak wajar di Unnes. Komponen itu adalah uang dari mahasiswa maupun luar mahasiswa, baik sebelum dan selama pandemi COVID-19. Frans juga menegaskan tindak pidana korupsi yang dilakukan pada situasi bencana seperti ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan berat.

Pada hari yang sama dengan pelaporan ke KPK, FH Unnes menghubungi orang tua Frans, meminta pertemuan daring yang intinya untuk “memberikan pembinaan” kepada Frans. Karena kendala teknis dan akses teknologi, Frans bilang orang tuanya tak bisa menghadiri pertemuan tersebut meski tautan rapat sudah dikirimkan.

Kemudian, pada Senin 16 November, surat pengembalian kepada orang tua--yang disebut Frans sebagai sanksi--langsung diterima orang tua tanpa melalui proses komunikasi secara timbal balik.

“Ini jelas sanksi atas tindakan saya. Ini catatan buruk bagi dunia pendidikan di Indonesia. Harusnya mendapatkan apresiasi karena kita berjuang untuk menegakkan instansi yang bersih dari korupsi, tapi kok malah diberikan saksi?” kata Frans.

Ia juga bilang keputusan Unnes ini telah menghambat studinya. Frans, yang saat ini memasuki semester 9, jadi tak dapat melanjutkan proses pengajuan penyusunan tugas akhir sebagai salah satu syarat kelulusan.

Ketika dikonfirmasi mengenai laporan, Rektor Unnes Fathur Rokhman mengatakan percaya KPK adalah lembaga kredibel yang bisa merespons laporan dengan baik. Kepada reporter Tirto, ia juga mengatakan “tata kelola keuangan Unnes dengan prinsip zona integritas dan transparansi.”

Bungkam Suara Kritis

Kelompok kolektif Aksi Kamisan, dalam pernyataan sikap, menilai keputusan “pengembalian kepada orang tua” sebagai sikap anti demokrasi. Tuduhan Frans sebagai simpatisan OPM menurut mereka tidak berdasar dan dibuat-buat yang tampak betul berusaha mengaburkan sebab “melaporkan rektor atas dugaan tindakan korupsi sebagai alasan sebenarnya pemberian skors.”

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo juga menduga alasan kampus yang sebenarnya adalah karena Frans melaporkan adanya indikasi korupsi. Argumentasinya sederhana saja: waktu pelaporan dan penangguhan itu berurutan, sementara demonstrasi tolak rasisme sudah berlalu relatif lama. “Dengan tempo yang hampir sama antara pelaporan dengan skors yang diberikan, meskipun dengan alasan yang berbeda, maka patut diduga kampus sedang menggunakan cara-cara represif untuk menekan dan membungkam daya kritis mahasiswa,” kata Adnan kepada reporter Tirto, Selasa (17/11/2020)

Ia bahkan bilang alasan apa pun yang dipakai kampus harus dikritisi.

Tak ketinggalan, KPK juga mengecam tindakan Unnes. Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron mengatakan “KPK menyayangkan pengembalian pembinaan mahasiswa kepada orang tuanya karena yang bersangkutan telah melaporkan rektornya ke KPK atas dugaan tindak pidana korupsi,” Selasa kemarin.

Apa yang dilakukan Frans, kata Ghufron, dilindungi oleh hukum, yaitu Pasal 41 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu mengatakan “secara jelas bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi,” katanya.

Apa yang dilakukan Frans adalah bentuk peran serta masyarakat yang menurutnya justru patut mendapatkan penghargaan.

Baca juga artikel terkait UNNES atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Hukum
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino