Menuju konten utama

Duduk Perkara "Sulit Ambil Jenazah" Korban Kerusuhan 22 Mei

Didin Wahyudin, orangtua korban kerusuhan 22 Mei, mengaku dipersulit saat hendak mengambil jenazah anaknya. Dia juga bilang "ditekan." Semua dibantah pihak terkait.

Duduk Perkara
Sejumlah massa Aksi 22 Mei terlibat kericuhan di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.

tirto.id - Salah satu korban meninggal dalam kerusuhan di Jakarta beberapa waktu lalu adalah Harun Al Rasyid. Harun meninggal 22 Mei 2019 di jembatan layang Slipi, Jakarta Barat, satu dari sembilan titik ricuh.

Jumat, 24 Mei selepas salat asar, Harun dikebumikan di TPU Duri Kepa.

Sebelum bisa menguburkan anaknya, Didin Wahyudin, orangtua Harun, mengaku dipersulit mengambil jenazah di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I Raden Said Soekanto, Kramat Jati, Jakarta Timur. Dia juga mengaku diminta menandatangani surat pernyataan yang isinya tidak akan menuntut pihak mana pun atas kematian anaknya.

“Sampai sana harus diautopsi dulu, tapi satu hal di situ ada pernyataan keluarga korban tidak boleh menuntut siapa pun, apa pun; dan kedua untuk dilakukan autopsi,” katanya saat mengadu ke Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon di DPR RI, Jakarta, Senin (27/5/2019) siang.

Ketika ditemui di kediamannya, Rabu (29/5/2019) kemarin, Didin menegaskan kembali apa yang sudah ia katakan sebelumnya. Ada dua opsi dalam selembar kertas ‘syarat’ yang disodorkan oleh pihak RS Polri, katanya, yaitu pihak keluarga tidak menuntut di kemudian hari dan bersedia melakukan autopsi terhadap jenazah.

“Akhirnya memutuskan untuk tanda tangan. Keluarga juga pusing,” tutur Didin. Dia bilang tak memegang berkas tersebut. Hasil autopsi juga tidak dia tahu.

Saat mendatangi RS, Didin bilang jenazah sudah dalam keadaan rapi dan dikafani. Sebenarnya sang ayah ingin memandikan jenazah Harun sekaligus melihat kondisi tubuh anaknya. Tapi, kakek Harun melarang karena kasihan melihat cucunya yang sudah dua hari dua malam di lemari pendingin mayat.

Didin lantas hanya melihat wajah anaknya. Di sana dia melihat jahitan di dagu, dan bibir memutih--tanda mayat terlalu lama. Kepala Harun sudah lembek.

Peneliti dari Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat, mengatakan bila betul ada syarat tak menggugat siapa pun atas kematian Harun, pihak keluarga sebetulnya bisa menempuh jalur hukum.

“Bisa dipersoalkan. Motifnya [RS mensyaratkan berkas] apa?” ujar Papang ketika dihubungi reporter Tirto.

Pengacara Didin, Pakismar Syarifudin, mengaku memang tengah memikirkan langkah itu.

“Sementara kita masih dalami keterlibatan mereka [pihak RS]. Setiap orang yang mengetahui suatu tindak pidana, tapi tidak melaporkan maka akan terkena delik. Apalagi jika dengan sengaja menghalangi terbukanya suatu tindak pidana, demikian pula yang melarang, memberikan surat (syarat),” terang Pakismar.

“Supaya hukum tetap tegak,” tegasnya.

Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I, Brigjen Pol Musyafak, membantah semua yang dikatakan Didin, termasuk syarat untuk tidak melaporkan siapa pun.

“Ini sama sekali tidak benar. Saya jamin itu tidak benar,” ujar Musyafak kepada reporter Tirto, Selasa (28/5/2019).

Musyafak lantas bercerita asal usul jenazah Harun. Dia bilang jajarannya mendapatkan kiriman jenazah tanpa identitas dari RS Dharmais.

“Dengan status Mr. X karena korban belum teridentifikasi,” sambung Musyafak.

Jenazah langsung dibawa ke bagian Forensik. Pihak rumah sakit mencoba mendapatkan identitas dengan cara menyertakan unit Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (INAFIS). Sayangnya datanya tetap tidak ditemukan karena korban masih di bawah umur dan belum punya KTP.

Kemudian, ada yang datang dan mengaku sebagai orangtua korban. Lantas Musyafak menginstruksikan unit forensik untuk melakukan proses identifikasi sesuai standar Interpol. “Artinya jangan sampai kami menyerahkan [jenazah] tidak sesuai dengan haknya. Kami lakukan secara ilmiah, jadi sebenarnya itu pendataan. Diminta keterangan antemortem untuk dicocokkan dengan jenazah.”

“Itu proses identifikasi supaya tidak salah memberikan yang tidak tepat,” sambung dia.

Musyafak lantas memaklumi pernyataan Didin yang mengaku sulit mengambil jenazah anaknya sendiri.

“Saya maklum siapa pun yang kehilangan keluarga agak emosi. Yang jelas RS Polri tidak pernah membuat persyaratan itu,” kata dia meyakinkan.

Merasa Diawasi

Selain mengatakan perlu tanda tangan tak bakal menggugat dan dipersulit, Didin juga mengaku ditekan Kepolisian Sektor (Polsek) Kebon Jeruk, daerah tempat ia bermukim, terutama setelah anaknya dimakamkan. Dia lantas meminta perlindungan ke Kantor Komnas HAM pada 28 Mei.

“Saya minta perlindungan. Karena sudah banyak tekanannya,” ujar Didin saat itu. “Dari Polsek Kebon Jeruk sudah beberapa kali datang,” tambahnya.

Reporter Tirto mengkonfirmasi ulang Didin apa yang dimaksud Didin dengan “tekanan”, kemarin (29/5/2019). Dia lantas bilang tidak pernah diintimidasi verbal maupun non verbal oleh kepolisian.

“Hanya merasa diawasi saja, bukan tekanan lain. Ada polisi yang memang mau datang untuk belasungkawa, ada juga yang kasih bingkisan. Hampir setiap hari ada yang memberi,” sambung Didin.

Ia menuturkan ada anggota dari Polsek Kebon Jeruk yang nekat berkunjung ke rumahnya usai pemakaian. Nekat, lanjut Didin, karena polisi itu khawatir warga setempat tidak menerima kedatangan kepolisian setelah kerusuhan.

“Tapi polisi itu berhasil ke rumah saya, ngobrol dan sebenarnya ia niat mengawal pemakaman Harun,” ujar lelaki 45 tahun itu.

Terkait ini, Kapolsek Kebon Jeruk AKP Erick Sitepu menegaskan bahwa dia maupun anak buahnya memang tidak pernah menekan Didin.

“Tidak ada [tekanan],” kata Erick kepada reporter Tirto.

Meski begitu dia membenarkan bahwa ada anggotanya yang datang ke rumah Didin, sebatas menyatakan belasungkawa.

“Datang dalam bentuk belasungkawa, kami ikut menguburkan, ikut sampai tujuh harian [tahlilan], Bhabinkamtibmas-nya ikut terus," kata Erick.

Baca juga artikel terkait AKSI 22 MEI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika & Riyan Setiawan
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino