Menuju konten utama

Duduk Perkara Salah Tangkap Kader HMI Barabai Kalsel oleh Polisi

Rivanlee menilai kasus Gaston menunjukkan semangat menghukum jauh lebih tinggi dibanding pengungkapan kebenaran.

Ilustrasi Penjara. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada 8 September 2021, Muhammad Rafi’i alias Gaston, berkemih di kamar mandi Sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Barabai, Kalimantan Selatan. Saat itu, ia dan kader HMI lainnya dalam sebuah acara internal organisasi. Sontak datang tiga mobil kepolisian jajaran Polres Hulu Sungai Utara dan Polres Hulu Sungai Tengah, mereka berhenti di depan gedung sekretariat.

Rampung kencing, Gaston dihampiri polisi di depan toilet. Ia ditangkap atas dugaan pencurian kendaraan bermotor. Kepolisian mengepung, lalu ada anggota polisi yang memuntahkan peluru ke udara. Akibatnya para anggota HMI di situ berjarak dengan Korps Bhayangkara. Sebelum digiring dan dimasukkan ke mobil, Gaston meminta izin untuk menaikkan ritsleting celananya.

Lantas tangannya diputar ke belakang, lalu diborgol. Polisi membawa Gaston pergi dari sekretariat, dia dibawa ke sebuah “tempat peristirahatan tim buru sergap” di sekitar Lapangan Pelajar Barabai.

“Di situ dia diinterogasi, dipaksa mengakui kehilangan (kendaraan bermotor),” ujar Zainuddin, Ketua Badan Koordinasi HMI Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah, kepada reporter Tirto, Rabu (15/9/2021).

Tak hanya Gaston yang diringkus, saat itu ada tiga warga lain yang turut dibekuk dan dimintai keterangan. Gaston baru mengetahui kasus pencurian itu ketika diinterogasi, padahal kehilangan kendaraan itu terjadi 4-5 bulan lalu.

“Dipaksa mengaku sambil dipukul di wajah, kepala, dan kaki,” sambung Zainuddin. Imbasnya, mata kiri, pipi, dan bibirnya bengkak, alis pun terdapat bekas luka gores. Karena tak tahan dengan perlakuan polisi, Gaston pingsan.

Ketika siuman, polisi kembali mengintimidasi Gaston dengan memintanya mengakui kalau dia pencuri kendaraan. Lantaran tak tahan dengan siksaan, Gaston terpaksa mengaku. Bahkan ada polisi yang bilang “Han sakit luka. Caka dari awal ikam mangaku, kada sakit kayak gini.”

Mereka melanjutkan perjalanan, kali ini menuju ke salah satu polsek di kawasan Kasarangan. Tirto mencoba menelusuri nama polsek tersebut. Lantas ditemukan Polsek Labuan Amas Utara yang beralamat di Jalan Raya Kasarangan, Barabai, Hulu Sungai Tengah. Gaston tidak diintimidasi cum dianiaya, lantas mereka menuju ke Polres Hulu Sungai Utara.

Ketika ditanya oleh pihak Polres Hulu Sungai Utara, Gaston menceritakan kejadiannya termasuk perihal ia terpaksa mengakui perbuatan yang tidak pernah ia lakukan. Pada 9 September, sekira pukul 14.00 WITA, polisi melepaskan Gaston dan memberikan sangu Rp100 ribu. Tiga orang lainnya pun turut dibebaskan. “Mereka bebas karena ada salah satu polisi menjamin pembebasan mereka. Tidak usah diperpanjang lagi.”

Dua hari usai pembebasan Gaston dan jajaran HMI setempat bersepakat, mereka melaporkan peristiwa tersebut ke Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Kalimantan Selatan. Pengaduan itu terdaftar dengan Nomor: SPSP2/01/IX/2021/SUBBAGYANDUAN bertanggal 11 September 2021. Zainuddin menyatakan pihak HMI menuntut keadilan dan berharap kasus salah tangkap ini tak berulang.

“Yang salah harus segera ditindak sesuai perundang-undangan, dan menuntut agar citra HMI dibersihkan karena orang (warga) menganggap ada tindak kriminal (yang dilakukan jajaran HMI),” jelas dia.

Sebagai tindak lanjut pelaporan, Divisi Propam Polda Kalimantan Selatan memanggil para polisi yang menangkap Gaston.

"Propam Polda Kalimantan Selatan sudah memanggil anggota yang bersangkutan untuk diperiksa. Kami tegas makanya langsung diproses," kata Kabid Humas Polda Kalimantan Selatan Kombes Pol Mochamad Rifai, seperti dikutip Antara, Senin (13/9).

Bila dugaan salah tangkap itu terbukti benar, maka si polisi akan disanksi. Penyidik pun meminta keterangan saksi untuk memastikan duduk perkara.

Arogansi Polisi

Wakil Koordinator II Kontras Rivanlee Anandar menyatakan kasus Gaston menunjukkan semangat menghukum jauh lebih tinggi dibanding pengungkapan kebenaran. Dampaknya, polisi menjadi tidak hati-hati, hasilnya adalah salah tangkap.

“Divisi Propam harus berpegang pada keterangan korban supaya membuka perkara sejelas-jelasnya dan bisa objektif ketika mengungkapkan perkara,” kata Rivanlee kepada reporter Tirto. Salah tangkap bisa terjadi karena pola pikir kepolisian ingin menghukum, bukan mengungkapkan perkara.

Pola pikir menghukum pun dapat membawa pada penyiksaan. Ditambah, penindakan atas pelanggaran hanya ditindaklanjuti secara internal yang berimplikasi ketidaktegasan hukuman, sehingga melahirkan keberulangan.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto berpendapat untuk penegakan disiplin internal, kinerja Divisi Propam Polda Kalimantan Selatan harus diapresiasi. Namun, sebelum menangkap, anggota polisi harus melakukan penyelidikan dengan presisi.

“Artinya info yang didapat dengan fakta hukum di lapangan harus benar-benar persis. Jangan hanya sekadar mendapat informasi yang tak benar lalu melakukan tindakan kepada masyarakat,” ucap dia ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (15/9/2021).

Kewenangan kepolisian itu sangat besar, maka tidak boleh digunakan dengan sewenang-wenang oleh anggotanya, yang malah bisa mengintimidasi atau menakuti, dan merugikan warga negara. Bila Polri profesional, yakni betul menyelidiki dengan akurat dan berbekal wawasan yang luas, maka salah tangkap bisa dihindari.

Menurut Bambang ada dua penyebab salah tangkap bisa terjadi yaitu karena tak semua anggota polisi bersertifikasi kemampuan intel maupun reserse; dan arogansi anggota lantaran sudah diberikan kewenangan penegakan hukum oleh negara.

“Maka pendidikan dan latihan secara intensif harus makin dikembangkan. Bukan berhenti pada sekolah yang cuma tujuh bulan saja. Selain itu juga penegakan aturan internal oleh Propam harus tetap ditekankan, ditambah (penerapan) penghargaan dan hukuman yang dilakukan Biro SDM,” terang Bambang.

Intersubjektivitas

Komnas HAM mengecam dugaan salah tangkap dan tindak kekerasan terhadap Gaston karena bertentangan dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dan Pasal 10 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009.

“Meminta Kapolda Kalimantan Selatan untuk mengusut tuntas kasus tersebut secara profesional dan transparan serta menindak tegas anggotanya yang terbukti bersalah. Tindakan tersebut juga telah mencederai tekad Polri untuk menjadi Polri yang ‘Presisi’,” ucap Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM Hairansyah dalam keterangan tertulis, Selasa (14/9).

Sementara Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar menuturkan kasus Gaston menjadi ‘catatan merah’ fungsi dan peran polisi dalam penegakan hukum. Kejadian itu juga mengkhawatirkan karena mencerminkan kemunduran demokrasi Indonesia.

“Juga jadi catatan bahwa proses penegakan hukum masih menggunakan interpretasi penegak hukum. Memang faktor intersubjektivitas tidak bisa dihindari, tapi hukum memiliki catatan yang tegas. Termasuk tata cara penyelidikan, penyidikan,” terang Adinda kepada reporter Tirto.

Bahkan tak hanya kriminalisasi berupa salah tangkap, warga negara yang vokal mengkritisi pemerintah pun ditangkap.

Permasalahan lainnya yaitu bagaimana Polda Kalimantan Selatan bisa menindaklanjuti perkara Gaston, salah satunya nama baik HMI dan korban salah tangkap. “Tidak melulu kalau ada apa pun dibilang ‘oknum’. Ketika penangkapan, dia (polisi) membawa surat (penangkapan) atau tidak?” Itu perlu diusut,” lanjut Adinda.

Artinya, kata dia, kepolisian harus taat prosedur penangkapan dan segala proses penegakan hukum lainnya agar masyarakat tak jadi korban.

Adinda mengingatkan kepolisian agar mencari tahu apakah peristiwa salah tangkap ini karena ada pelapor atau semata-mata tindakan anggota polisi. “Peraturan perundangan sudah jelas, kejadian ini mengingatkan kepada masa Orde Baru.”

Baca juga artikel terkait KORBAN SALAH TANGKAP atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz
-->