Menuju konten utama

Duduk Perkara Petugas Jenazah COVID-19 Dijerat Pasal Penodaan Agama

Empat petugas kesehatan di Pematang Siantar dilaporkan ke polisi atas dasar penodaan agama oleh suami seorang pasien COVID-19 yang meninggal.

Duduk Perkara Petugas Jenazah COVID-19 Dijerat Pasal Penodaan Agama
Petugas pemakaman mengangkat peti jenazah untuk dimakamkan dengan protokol COVID-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih, Surabaya, Jawa Timur, Senin (1/2/2021). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/wsj.

tirto.id - Zakiah didiagnosis COVID-19 ketika meninggal di RSUD Dr. Djasamen Saragih, Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, 20 September 2020 sekira pukul 17. Petugas kesehatan yang berdinas lantas menghubungi Fauzi Munthe, suami almarhumah.

Kala itu Fauzi diberitahu bahwa yang akan memandikan jenazah Zakiah adalah petugas berinisial DAAY, ESPS, RS, dan REP. Tim forensik di rumah sakit itu terdiri dari enam laki-laki dan satu perempuan yang bertugas di bagian administrasi.

Jika Fauzi menolak karena alasan pengurus jenazah semuanya laki-laki, biasanya manajemen rumah sakit bakal melaporkan ke Gugus Tugas COVID-19 setempat. Gugus Tugas-lah yang turun tangan.

Namun Fauzi menandatangani berkas persetujuan pemandian jenazah. Kepala Forensik RSUD Djasamen Saragih dr Reinhard Hutahaean mengatakan kepada reporter Tirto, Selasa (23/2/2021), bahwa Fauzi “sangat sadar sekali” saat memberikan tanda tangan.

Belakangan Fauzi tak terima jenazah istrinya dimandikan laki-laki. Ia lantas mengadukan empat tenaga medis itu ke Polres Pematang Siantar, dengan Surat Tanda Terima Pelaporan bernomor STTLP/431/IX/2020 dan Nomor Laporan Polisi yakni LP:498/IX/2020/SU/STR bertanggal 24 September. Menurutnya, para petugas melanggar Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.

Versi Fauzi, saat tiba di lokasi, wakil direktur III rumah sakit mengatakan mereka telah mendapatkan sertifikat penanganan jenazah COVID-19 dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia pun merasa lega karena merasa istrinya ditangani orang yang benar.

Saat masuk ke kamar mayat dan menemukan istrinya “telah telanjang bulat tanpa busana”, barulah ia diberi kabar kalau tidak ada petugas kesehatan perempuan berdinas saat itu. Ia juga mengklaim diusir dari kamar mayat, padahal tak ada pemberitahuan sama sekali apakah keluarga diperkenankan masuk atau tidak.

Tidak seperti keterangan Reinhard, Fauzi mengaku “persetujuan itu (petugas laki-laki memandikan jenazah istri) tidak saya lakukan. Itu [penjelasan] setelah mereka masukkan istri saya ke kamar mayat.”

Empat tenaga kesehatan itu diproses oleh kepolisian sekira sepekan kemudian. RS berstatus perawat PNS dan kepala ruangan, ESPS perawat honorer, serta REP dan DAA perawat dari Badan Layanan Umum Daerah. Nama yang disebut terakhir yang telah memiliki sertifikat MUI untuk memandikan jenazah.

Penyelidikan meningkat menjadi penyidikan dan para petugas ditetapkan sebagai tersangka. Mereka terancam lima tahun penjara.

Saat ini keempatnya berstatus tahanan kota dan tetap bekerja. Kin mereka bekerja bersama relawan MUI Kota Pematang Siantar yang membantu setelah kasus ini viral.

Kuasa hukum Fauzi, Muslimin Akbar, mengatakan kliennya disodori syarat-syarat tertulis usai pemandian jenazah “untuk mendapatkan dana operasional BPJS”. “Itu yang disebutkan oleh pegawai rumah sakit,” katanya kepada reporter Tirto, Selasa.

Kliennya mengenakan pasal 156a karena para petugas “melanggar hukum agama.” “Kedua, [karena petugas] beragama Kristen,” tambahnya. Keempat tersangka juga di-juncto-kan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Muslimin mengatakan kliennya berharap dengan dia melapor tak ada lagi kejadian serupa di masa depan. Fauzi harap ini jadi pelajaran bagi rumah sakit lain.

Mediasi Gagal

Kejaksaan Negeri Pematang Siantar telah mencoba menyelesaikan ini dengan jalur lain di luar pemenjaraan. Mereka menerbitkan Surat Panggilan Korban Nomor: B-501/L.2.12/Ep.2/02/2021 bertanggal 22 Februari kepada Fauzi. Dia diminta untuk menghadap Jaksa Muda Erwin Nasution dan Jaksa Muda Rahmah Hayati Sinaga pada 23 Februari pukul 10. Fauzi dipertemukan dengan empat tersangka.

“Selesai pertemuan, tapi tidak menemukan titik temu perdamaian. Jadi berlanjut ke persidangan,” ucap Muslimin.

Mediasi lain yang diupayakan rumah sakit pun gagal. Kepala forensik Reinhard Hutahaean mengatakan telah mengupayakan itu sejak awal kejadian dan di tahap penyelidikan. Mereka bahkan mendatangkan MUI setempat. Sebelum itu, dia bilang rumah sakit kesulitan menghubungi Fauzi lantaran pria itu tak merespons sambungan telepon serta tempat tinggalnya jauh dari lokasi kejadian.

Sampai naskah ini tayang jadwal sidang belum ditentukan. Bersamaan dengan itu muncullah kelompok bernama Gerakan Merawat Akal Sehat Menolak Kriminalisasi Petugas Medis yang membikin petisi daring agar kasus dihentikan. Mereka menilai kasus ini adalah manipulasi hukum dengan dalih yang dipaksakan.

Baca juga artikel terkait JENAZAH COVID-19 atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino