Menuju konten utama

Duduk Perkara Penggundulan Tersangka Tragedi Susur Sungai di Sleman

Penggundulan guru yang jadi tersangka susur sungai itu dilarang, tapi boleh sepanjang atas permintaan yang bersangkutan.

Duduk Perkara Penggundulan Tersangka Tragedi Susur Sungai di Sleman
Dari kiri ke kanan Isfan Yoppy Andrian ; Danang Dewo Subroto; Riyanto tersangka kasus 10 pelajar SMPN 1 Turi tewas saat susur sungai dihadirkan saat jumpa pers di Polres Sleman, Yogyakarta, Selasa (25/2/2020) (tirto.id/Irwan A. Syambudi)

tirto.id - Jumat (21/2/2020) lalu, Polres Sleman memperkenalkan tiga tersangka kasus susur sungai di Sleman, Yogyakarta, yang merenggut nyawa 10 pelajar SMPN 1 Turi. Mereka semua dianggap lalai sehingga menyebabkan orang lain meninggal dunia saat ikut kegiatan Pramuka ini.

Dua di antaranya adalah guru olahraga dan seni budaya para siswa, yaitu Iswan Yoppy Andrian (36) dan Riyanto (58).

Saat itu penampilan ketiganya sama: sama-sama mengenakan pakaian oranye khas tahanan, dan kepala plontos.

Kepala plontos ini lantas membuat polisi kebanjiran kritik, terutama dari organisasi guru. Mereka satu suara kalau penggundulan tersebut merendahkan martabat guru.

Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan di satu sisi sangat mendukung proses hukum yang tengah dilakukan polisi, namun di sisi lain menurutnya penggundulan ini berlebihan. "Seolah-olah guru ini begal motor," katanya kepada reporter Tirto, Rabu (26/2/2020) lalu.

Menurutnya polisi sama saja merendahkan martabat semua guru. Mereka juga dinilai mempermalukan keluarga, murid, dan sekolah tempat guru mengajar.

Satriwan lantas meminta Propam Polda DIY memeriksa polisi yang menggunduli para tersangka karena menurutnya itu menyalahi prosedur.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) juga mengaku kecewa. "Pak Polisi," tulis PGRI di Twitter, Selasa (25/2/2020) sore. "tak sepatutnya para guru kau giring di jalanan dan dibotaki seperti kriminal tak terampuni." PGRI juga mengingatkan hal ini jangan sampai terulang lagi, "sebelum semua guru turun."

Cuitan tersebut dihapus sekitar pukul 10 malam. Lalu pada pukul 22.04, PGRI mengatakan cuitan dihapus "demi menjaga silang pendapat yang lebih luas." "Tiada seorang guru pun berniat mencelakakan muridnya. Kami juga amat sedih. Tolong polisi ikuti SOP, semua sama di depan hukum."

Melanggar, Tapi...

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir mengatakan penggundulan tidak ada dalam peraturan mana pun.

"Menggunduli itu enggak enggak ada dalam hukum pidana," kata Mudzakir kepada reporter Tirto, Rabu (26/2/2020). "Itu melanggar hak pribadi tersangka, apalagi seorang guru, harus tetap dihormati," tambahnya.

Memang peraturan ini tidak mutlak. Polisi bisa memotong rambut hingga pendek, tapi dengan syarat itu atas permintaan tersangka sendiri, atau si tersangka berambut gondrong dan membuat penyidik kesulitan identifikasi.

Oleh sebab itu menurutnya wajar belaka jika organisasi guru protes. "Menggunduli itu sudah menghukum. Jadi kalau mereka (guru) protes, ya sah-sah saja."

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sigit Riyanto juga mengatakan hal yang sama. "Enggak ada aturan penggundulan. Bahkan itu dilarang kalau sampai perlakuannya merendahkan derajat manusia," katanya.

Ia mengatakan polisi bisa dijerat hukum pula karena merendahkan martabat manusia. Itu diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Marabat Manusia.

Protes resmi telah dilayangkan Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Pengurus Besar PGRI Ahmad Wahyudi. Ahmad dan instansinya juga memberikan bantuan hukum kepada para tersangka.

"Yang harus dihukum adalah perbuatan lengahnya. Tapi martabat manusianya harus tetap dijaga. Hak-haknya harus dijaga," katanya.

Ahmad mengaku tidak tahu siapa yang menggunduli, siapa pula yang punya inisiatif.

Pernyataan Polisi dan Tersangka

Kabid Humas Polda DIY Kombes Pol Yuliyanto mengatakan Propam Polda DIY sudah "melakukan pemeriksaan di Polres Sleman untuk mengetahui pelanggaran yang dilakukan oleh anggota." "Jika nanti terbukti ada pelanggaran, maka akan dilakukan tindakan," kata Yuliyanto, Rabu (26/2/2020).

Sementara Plt Kepala Dinas Pendidikan Sleman Arif Haryono mengatakan penggundulan "sesuai permintaan tersangka." Hal ini ia sampaikan pada Rabu (26/2/2020) petang, setelah mendatangi langsung kantor polisi dan berbicara dengan para tersangka. "Tidak ada tekanan," tambahnya.

Menurut Arif, para tersangka meminta digunduli saja agar mereka "sama seperti tahanan lain."

Salah satu tersangka, Yoppy, juga mengaku tak mendapat tekanan apa pun, bahkan sepanjang menjalani proses hukum di Polres Sleman.

"Kalau digunduli ini permintaan kami, karena faktor keamanan. Kalau rambut tidak digunduli saya mudah dikenali, tapi kalau saya sama dengan teman-teman yang di dalam, saya lebih tenang," katanya.

Baca juga artikel terkait KECELAKAAN SUSUR SUNGAI atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Hukum
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino