Menuju konten utama

Duduk Perkara Pemotongan Nisan Salib di Makam Purbayan Yogyakarta

Nisan berbentuk salib di Makam Purbayan, Kotagede, Yogyakarta dirusak. Kata saksi, ini sudah "kesepakatan bersama."

Duduk Perkara Pemotongan Nisan Salib di Makam Purbayan Yogyakarta
Makam Albertus Slamet Sugihardi di Pemakaman Jambon, Purbayan Kotagede, Selasa (18/12/2018). Tirto.id/Dipna Videlia.

tirto.id - Nisan salib di makam seorang warga bernama Albertus Slamet Sugihardi dipotong bagian atas oleh warga RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede. Foto nisan salib yang sudah dipenggal itu kemudian viral di media sosial.

Bejo Mulyono, dianggap sebagai "tokoh masyarakat" Purbayan, mengatakan almarhum Slamet dan keluarganya sebetulnya merupakan orang yang aktif mengikuti kegiatan warga, seperti arisan, ronda, dan sebagainya.

Slamet bahkan bersedia menjadi pelatih paduan suara ibu-ibu Muslim di lingkungan Purbayan.

Meski begitu, ia mengatakan pemotongan salib sudah jadi "kesepakatan" antara warga, keluarga almarhum, tokoh agama, serta tokoh masyarakat. Menurut Bejo, lingkungan di situ tidak membolehkan ada simbol-simbol agama Nasrani di makam tersebut.

"Artinya khusus yang makam itu. Walaupun belum resmi, tapi akan dijadikan makam muslim. Kemarin itu karena darurat, diperbolehkan, asal makam [Slamet] dipinggirkan dan tidak ada simbol-simbol Nasrani karena di sini mayoritas Islam," ujar Bejo kepada reporter Tirto di Yogyakarta, Selasa (18/12/2018).

Pemotongan salib setelah almarhum Slamet dimakamkan pada Senin (17/12/2018), ujar Bejo.

Pelaku pemotong salib, kata Bejo, adalah warga yang saat itu ikut melayat usai ada "kesepakatan" yang dibuat warga setempat dan keluarga almarhum.

Surat kesepakatan yang ditunjukkan Bejo dibuat oleh istri almarhum, Maria Sutris Winarni. Maria, dalam pernyataan itu, menulis ia sudah ikhlas dan menerima jika simbol agama—yakni nisan salib—di makam suaminya dipotong oleh warga. Surat itu ditandatangani Maria di atas materai tertanggal hari ini, berjejeran dengan tanda tangan Bejo dan Ketua RT 53, Soleh Rahmad Hidayat.

"Keluarga sudah bisa menerima, dia tidak ada masalah. Mungkin yang memviralkan itu di luar keluarga," klaim Bejo.

Selain melarang ada "simbol agama"—dalam hal ini di luar Islam—warga kampung melarang ada misa atau ibadah pemakaman secara Katolik di lokasi pemakaman dan di rumah almarhum. Buntutnya, misa arwah dilakukan di Gereja Katolik Santo Paulus Pringgolayan pada Senin (17/12/2018) sebelum pemakaman, atau sekitar pukul 12.00.

Bejo menyebut, pemotongan salib dan larangan misa arwah itu dilakukan untuk "menghindari konflik."

Bejo mengklaim, rumah Slamet pernah didatangi warga karena menggelar sembahyang lingkungan. Bejo mengaku saat itu ia meredakan amarah warga dan meminta warga Katolik untuk tidak lagi menggelar sembahyang di kampung.

Mantan Ketua RW setempat ini menolak jika warga disebut "intoleran". Menurutnya, mereka sudah cukup toleran dengan tetap membolehkan Slamet dimakamkan di tempat yang 99 persennya adalah orang Islam.

"Ya monggo-lah [disebut intoleran], yang jelas kesepakatan seperti itu. Kami sebagai pelaksana, pengurus minta seperti itu ya kami ikuti saja. Saya rasa kami sudah cukup toleran," ujar Bejo.

Toleransi yang dimaksud Bejo itu menurutnya berupa bantuan warga yang menyiapkan proses pemakaman, pemandian jenazah, hingga meminjamkan ambulans untuk membawa jenazah dari RS PKU Muhammadiyah ke rumahnya.

Proses pemandian dan pemakaman jenazah, termasuk pemotongan salib, menurut Bejo berjalan lancar, sebelum akhirnya viral di media sosial.

"Sudah selesai dimakamkan. Terus tadi pagi malah muncul ini, padahal keluarga sudah ikhlas, tidak apa-apa," kata Bejo.

Larangan ada simbol Nasrani dan ibadah di wilayah tersebut ditegaskan Ketua RT 53, Soleh Rahmad Hidayat. Menurut Soleh, meskipun pemakaman Jambon, tempat Slamet dimakamkan, merupakan pemakaman umum, tapi sebagian besar yang dimakamkan itu adalah orang Islam.

"Sebenarnya kuburannya, 99 persen untuk orang Islam, jadi mungkin sudah jadi aturan biar tidak menimbulkan konflik, kan baru ini juga ada yang non-muslim dimakamkan di situ," ujar Soleh.

Ia menyebut, pemakaman itu sedang dalam proses dijadikan pemakaman khusus Muslim.

Soleh membenarkan soal pelarangan sembahyang dan ibadah untuk umat non-Muslim di wilayahnya.

"Setiap kampung ada aturannya sendiri. Enggak boleh itu [ibadah non-Muslim]," ujar Soleh.

Soal Larangan Ibadah di Purbayan

Reporter Tirto mencoba menemui keluarga almarhum Slamet untuk meminta konfirmasi. Namun, istri dan anak-anak Slamet menolak dimintai keterangan.

Beberapa warga di rumah almarhum menyebut sang istri masih berduka dan kaget karena kejadian ini menyebar di media sosial.

Keluarga Slamet adalah 1 dari 3 KK beragama Katolik di RW 13. Sementara jumlah muslim di RW ini mencapai lebih dari 150-an KK.

Dua keluarga Katolik lain yang tinggal di daerah itu masih kerabat almarhum Slamet. Slamet dan keluarganya adalah anggota Gereja Katolik Santo Paulus Pringgolayan dan bagian dari Lingkungan Gregorius Agung Sanjaya (GAS).

Ketua Lingkungan GAS, Wiwik Jati, membantah berita yang menyebut terjadi pembubaran ibadah yang dilakukan untuk mendoakan almarhum Slamet. Ia menyebut, ibadah berjalan lancar, meski memang tidak digelar di rumah almarhum.

"Beredar kabar sembahyang untuk almarhum dibubarkan oleh oknum itu hoaks, tidak ada itu. Sembahyang tetap dilakukan dengan lancar di gereja," ujar Wiwik kepada reporter Tirto, Selasa (18/12/2018).

Wiwik berkata, selama ini lingkungan GAS kerap mengadakan sembahyang di rumah Slamet, seperti sembahyang rutin, Rosario, Bulan Kitab Suci Nasional, dan sebagainya, tapi tanpa ada nyanyian, sebab warga setempat melarangnya.

Menurut Wiwik, umat Katolik di lingkungan GAS memang sudah memahami bagaimana kondisi lingkungan dan penolakan simbol-simbol Nasrani di lingkungan tempat Slamet tinggal, sehingga mereka lebih memilih untuk mentaatinya. Sebagai informasi, warga Kotagede mayoritas beragama Islam. Situs kependudukan.jogjaprov.go.id menyebut jumlah Muslim mencapai 30.207 orang dari total penduduk berjumlah 32.246 orang.

"Kalau umat Lingkungan [GAS] enggak ada yang protes. Hanya kalau ada kejadian tertentu lapor ke gereja, nanti gereja yang menangani. Kami menyadari, kami ini minoritas. Lebih baik mengalah," ujar Wiwik.

Baca juga artikel terkait INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Fahri Salam