Menuju konten utama

Duduk Perkara Anak Tak Naik Kelas di Gonzaga: Bukan karena Merokok

Seorang siswa SMA Kolese Gonzaga tidak naik kelas dan sang ibu menggungatnya ke pengadilan. Bagaimana duduk perkaranya?

Duduk Perkara Anak Tak Naik Kelas di Gonzaga: Bukan karena Merokok
Logo SMA Kolese Gonzaga Jakarta. wikipedia/fair use/digunakan sebagai logo

tirto.id - Bramantyo Budikusuma tidak naik kelas dan ibunya kecewa berat. Si ibu, Yustina Supatmi, lantas melayangkan gugatan perdata ke sekolah: SMA Kolese Gonzaga, terletak di Pejaten, Jakarta Selatan.

Menurut Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Yustina melayangkan gugatan pada Selasa (1/10/2019) lalu dengan nomor 833/Pdt.G/2019/PN JKT.SEL.

Ada empat guru yang digugat: Pater Paulus Andri Astanto, Himawan Santanu, Gerardus Hadian Panomokta, dan Agus Dewa Irianto. Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Provinsi DKI Jakarta turut digugat.

Yustina meminta hakim (petitum) membatalkan keputusan para tergugat yang menyebutkan sang anak tidak berhak melanjutkan proses belajar ke kelas 12. Dia juga meminta hakim memutus para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Tidak hanya itu, Yustina juga meminta hakim menghukum para tergugat untuk membayar ganti rugi secara tanggung renteng kepada penggugat, meliputi ganti rugi materiel sebesar Rp51.683.000 dan ganti rugi imateriel Rp500 juta.

Sampai berita ini ditulis, Selasa (5/11/2019) siang, persidangan dengan agenda pemeriksaan berkas sudah berjalan dua kali, pada 28 Oktober dan 4 November. Sidang ditunda karena berkas administrasi Dinas Pendidikan DKI Jakarta belum lengkap.

Kenapa Menggugat?

Kepada reporter Tirto, Yustina mengatakan dia menggungat SMA bukan sesederhana tidak terima anaknya tinggal kelas. Menurutnya anaknya berhak naik kelas karena semua syarat terpenuhi. Selain itu, dia juga menilai SMA si anak tidak transparan.

"Berdasarkan Permendikbud No. 53 tahun 2015, syarat tidak naik kelas adalah 3 mata pelajaran merah atau sikapnya C. Tapi ini anak sikapnya baik dan mata pelajaran yang merah hanya sejarah," kata Yustina, Selasa (5/11/2019) pagi.

Ia turut menggugat Dinas Pendidikan DKI Jakarta karena sekolah berada di bawah pengawasan dinas. "Permendikbud, kan, dilaksanakan dengan baik atau tidak itu tanggung jawab dinas setempat."

Yustina sebetulnya bisa dengan mudah dicurigai hanya mengincar uang ganti rugi, apalagi faktanya si anak langsung pindah sekolah ke SMA Santo Bellarminus dengan status siswa kelas 12--naik kelas. Tapi dia menegaskan "saya bukan matre (bahasa slang mata duitan)" dan "uang itu bisa dikesampingkan."

Apa yang diharapkan Yustina adalah "menguji proses tidak naik kelas," apakah sudah tepat sebagaimana yang tertera dalam permendikbud. "Saya ingin uji itu di persidangan," katanya.

Dia juga mengaku menggugat karena "tidak diberi kesempatan untuk mediasi" dan "tidak mendapatkan penjelasan."

Yustina semakin yakin pihak sekolah tak paham permendikbud karena selain anaknya, ada 28 siswa lain yang tak naik kelas. "Ini semua [terjadi] di awal kepemimpinan kepala sekolah yang baru. Dia baru memimpin awal tahun pelajaran ini."

Selain perkara nilai, satu hal lain yang kabarnya menjegal Bramantyo untuk naik kelas adalah dia pernah ketahuan merokok. Hal ini pernah ditegaskan Susanto Utama, pengacara Yustina.

Tapi Yustina mengatakan masalahnya memang hanya nilai. Toh kalaupun merokok, "anak SMA mana yang tidak merokok?" "Saya tanya apa ada masalah lain selain nilai, sekolah bilang enggak ada," terang Yustina.

Standar Lebih Tinggi

Kuasa hukum SMA Kolase Gonzaga, Edi Danggur, membenarkan pernyataan bahwa si anak tak naik kelas karena merokok. Masalahnya memang hanya nilai, dan di sini kesalahan Yustina: dia tidak tepat menggugat hanya atas dasar permendikbud.

SMA Kolase Gonzaga punya kriteria sendiri, katanya, yang lebih ketat ketimbang peraturan tersebut, termasuk tidak boleh ada angka merah sama sekali.

"Mata pelajaran peminatan tidak boleh merah. Sedangkan BB ini mata pelajaran peminatannya, sejarah, merah. Dia dapat 68, sementara KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) 75. Makanya enggak naik kelas," kata Edi, Selasa (11/5/2019) siang.

Menurutnya tidak ada aturan dilanggar saat sekolah punya standar lebih tinggi. Dia menegaskan bahwa yang diatur dalam permendikbud hanya "standar minimal."

Edi mengklaim ketentuan kriteria tersebut sudah disosialisasikan oleh SMA pada 25 Agustus 2018 ke seluruh orangtua/wali murid. Dalam acara tersebut semua orangtua/wali setuju, termasuk Yustina yang menurut Edi "hadir dan tanda tangan."

"Ada berkasnya. Di pengadilan saya tunjukkan," katanya.

Karena ada kesepakatan inilah 28 siswa lain yang tidak naik kelas--kelas X 12 siswa dan kelas XI 16 siswa--tidak protes.

Dengan segala argumen itu, Edi yakin sekolah "tidak salah" dan karenanya "enggak akan minta maaf." Lagipula sang anak "sudah tenang-tenang saja di Bellarminus."

"Di mata Gonzaga masalah sudah selesai. Apa yang mau diributkan?" katanya mengakhiri obrolan.

Baca juga artikel terkait GUGATAN PERDATA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino