Menuju konten utama

Duduk Perkara 28 Mahasiswa UKI Paulus Makassar di-DO karena Demo

28 mahasiswa UKI Paulus Makassar menjadi korban drop out (DO) lantaran melakukan demo mengkritik kebijakan kampus. Bagaimana duduk perkaranya?

Kampus Uki Paulus Makassar. FOTO/ukipaulus.ac.id

tirto.id - 28 mahasiswa UKI Paulus Makassar menjadi korban drop out (DO) lantaran mengkritisi kebijakan kampus dalam berorganisasi yang termaktub dalam Peraturan Rektor UKI PAULUS No. 045/SK/UKIP.02/2018 tentang Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (PR Ormawa).

Salah satunya adalah Marcelinus Puji Suwandono—mahasiswa Teknik Mesin semester 7. Menurut dia, pemecatan tersebut terjadi ketika mereka menggelar aksi terakhir di depan kampus pada 20 Januari 2020.

“Aksi kawan-kawan menolak aturan rektor Bab IV pasal 9 poin ke 4 mengenai pengurus kelembagaan yang di mana aturan tersebut menjadi batasan kawan-kawan di kampus UKI Paulus untuk berorganisasi,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin (10/2/2020).

Peraturan Rektor BAB IV tentang Kepengurusan, Keanggotaan, dan Masa Bakti, Pasal 9 poin (4) menyebutkan pengurus ormawa harus mahasiswa dengan status aktif, maksimal merupakan mahasiswa semester 4, 5, dan 6 dengan IPK 3,0 (tiga koma nol) berdasarkan keterangan resmi pimpinan Kaprodi/Dekan.

Sementara mahasiswa menilai ketentuan IPK tersebut tidak dapat dijadikan dasar penilaian kapasitas seseorang dalam lembaga atau berorganisasi.

PR Ormawa itu membuat pengurus Himpunan Mahasiswa Sipil (HMS) UKI Paulus dan Himpunan Mahasiswa Mesin (HMM) UKI Paulus belum juga dilantik rektorat.

Penolakan mahasiswa ini berbuah aksi unjuk rasa yang berkesinambungan dengan pemecatan. Aksi dilakukan secara berjilid-jilid, mulai 2 Desember 2019, 5 Desember 2019, 18 Desember 2019, 17 Januari 2020, dan terakhir 20 Januari 2020.

“Kami meminta [PR Ormawa] untuk ditinjau kembali. Atau kata lainnya direvisi,” ujar Marcel.

Andrianus, korban DO lainnya, mengatakan mahasiswa sebelumnya juga sempat mencoba melakukan mediasi dengan rektorat dengan melibatkan pihak yayasan dan para alumni. Namun ketika mediasi hendak dimulai yang hadir hanya rektor dan mahasiswa.

Menurut dia, kemudian pihak rektorat sempat akan membuat mediasi kembali pada 14 Januari 2020, tapi dibatalkan sehari sebelumnya.

“Saat itu kami, mahasiswa sangat kecewa dengan keputusan rektor dan akhirnya kami pun melakukan aksi demonstrasi pada 20 Januari,” kata pria yang merupakan sekretaris terpilih Himpunan Mahasiswa Mesin saat dihubungi reporter Tirto, Senin (10/2/2020).

Aksi demonstrasi pada 20 Januari 2020, kata Andrian, berbarengan dengan acara lokakarya yang diadakan di dalam kampus. Acara tersebut dihadiri para dosen dan kepala sekolah se-Sulawesi Selatan.

Aksi tersebutlah yang menurut dia, memicu 28 mahasiswa diberikan sanksi DO oleh kampus.

“Kami pada waktu itu berjalan baik-baik saja dan aman. Tidak ada tindakan berlebihan dari mahasiswa,” kata dia.

Akan tetapi, mahasiswa yang di-DO itu tidak tinggal diam. Andrianus bersama mahasiswa korban DO lainnya sempat mendatangi Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LL Dikti). Mereka meminta agar mengevaluasi rektor UKI Paulus dan dijembatani untuk berdialog.

Mereka juga mendatangi DPRD Provinsi Sulawesi Selatan untuk juga difasilitasi.

"[Hasil dari LL Dikti] tak ada hasil yang diberikan. Hanya ada dua saran: pindah atau PTUN. [Hasil DPRD] Kami dijanjikan tanggal 12 Februari akan ada informasi yang diberikan ke kami,” kata dia.

Tak Ada Sidang Etik

Pendamping hukum mahasiswa dari LBH Makassar, Andi Herul Karim, mempertanyakan sikap kampus yang melakukan pemecatan begitu saja terhadap anak didiknya. Semestinya, kata dia, para mahasiswa yang diberikan sanksi DO itu harus melalui mekanisme sidang etik terlebih dahulu.

"Tetapi yang jadi masalah di sini bahwa dalam proses pemberian DO tidak ada mekanisme sidang etik oleh kampus. Sehingga tidak jelas hal apa yang menjadi penyebab DO," kata Andi kepada reporter Tirto.

Berdasarkan informasi yang diperoleh LBH Makassar, para mahasiswa dipecat lantaran terkait demonstrasi.

"Di dalam aturan kemahasiswaan juga tidak ada aturan terkait mekanisme sidang etik yang ada cuma verifikasi permasalahan oleh internal kampus," kata Andi.

Sementara Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai pemecatan 28 mahasiswa UKI Paulus Makassar sebagai bentuk kesewenang-wenangan yang dilakukan rektorat.

"Ini tindakan super otoriter karena dilakukan oleh kampus yang seharusnya menjunjung tinggi kebebasan berpikir dan berpendapat," kata dia saat dihubungi reporter Tirto.

Kampus, kata Ubaid, tak semestinya menyempitkan pola berpikir mahasiswanya. Justru mahasiswa perlu diakomodir agar nalar kritisnya kian tajam.

"Harusnya pihak rektorat jadi mahasiswa lagi. Dan gelarnya perlu dipertanyakan. Masak kelakuan seperti itu. Tidak mencerminkan budaya kampus yang berbasis intelektual dan nalar kritis,” kata dia.

Dalih Rektor: Bukan DO, tapi Meminta Pindah

Rektor UKI Paulus Makassar Agus Salim membantah pihaknya memberlakukan DO untuk 28 mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Ia hanya meminta agar mahasiswa itu pindah kampus.

"Mereka tidak di-DO. Tapi diberikan surat pindah supaya pindah di perguruan tinggi lain. Jadi bukan di DO," ujar dia saat dikonfirmasi reporter Tirto, Senin (10/2/2020).

Hal itu diputuskan melalui rapat senat yang digelar setelah demonstrasi mahasiswa pada 20 Januari 2020. Ia menuturkan demonstrasi tersebut juga membikin malu kampus karena pada waktu yang bersamaan dengan berlangsung acara lokakarya dengan seluruh kepala sekolah se-Sulawesi Selatan.

Agus juga mengklaim pada hari kejadian mahasiswa sebetulnya diliburkan. Praktis kegiatan akademik ditiadakan.

"Pas waktu pulang, 28 mahasiswa yang kena sanksi, datang dan demo. Berteriak-teriak, tak usah saya jelaskan kata-katanya. Intinya memaki-maki dosen dan pegawai. Sikap ini sangat mencemarkan institusi kampus," kata dia.

Agus melanjutkan keputusan tersebut adalah akumulasi atas aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa sebelumnya. Ia mengklaim pada aksi sebelumnya mahasiswa melakukan hal-hal yang menurutnya tak elok demi aturan PR Ormawa dicabut.

"Dengan cara demo berjilid-jilid dan bakar ban mobil di dalam kampus. Demo mereka berulang sangat mengganggu kegiatan akademik. Mereka tutup gerbang kampus," ujar dia.

Agus mengklaim sudah memberikan peringatan dan mencoba berdialog dengan para mahasiswa, tapi hasilnya tetap saja, mahasiswa meminta agar PR Ormawa dicabut.

"Mereka tidak mau terima, harus lantik, padahal tidak memenuhi syarat sebagai pengurus dan minta dicabut aturan," kata Agus.

Agus memandang aturan PR Ormawa sebagai upaya baik agar mahasiswa tingkat akhir bisa dengan tepat waktu menyelesaikan proses pembelajaran di kampus.

Perihal pelantikan, ia mengatakan tidak bisa memproses lantaran beberapa mahasiswa tidak memenuhi syarat IPK minimal.

"Pengurus terpilih ada yang IPK 2,0 dan 1,0 bahkan ada yang nol koma. Padahal mereka sudah ada yang mau semester 6. Alias 3 tahun kuliah baru mampu melulusi 2 mata kuliah," ujar dia.

"Kasihan mahasiswa ini kalau dibiarkan mengurusi kelembagaan organisasi kemahasiswaan, sementara masa depannya tidak diutamakan.”

Wakil Rektor Bidang Kerja Sama, Komunikasi, dan Informasi UKI Paulus, Natalia Paranoan mencatat dari 40 pengurus terpilih hanya 8 orang yang memenuhi syarat dalam PR Ormawa untuk dilantik.

"32 orang pengurus himpunan sipil tidak memenuhi syarat. Kampus tidak bersedia melantik, makanya mereka memaksakan mencabut aturan," kata dia kepada reporter Tirto.

Ia juga menambahkan, telah memberikan kesempatan selama 14 hari terhitung sejak surat keputusan dikeluarkan untuk para mahasiswa itu bisa mengurus surat pindah dan transkip nilai.

"Jika lewat 14 hari, maka tidak ada surat pindah dan transkip lagi. Data mereka akan terhapus dari pangkalan data. Sampai saat ini sudah 16 orang yang datang mengambil surat pindah,” kata dia.

Baca juga artikel terkait DEMO MAHASISWA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz