Menuju konten utama

Dualisme Aturan Reklame yang Membahayakan

Sebanyak 68 reklame di jembatan penyeberangan orang (JPO) Jakarta tak berizin. Ada tumpang tindih aturan terkait keberadaan reklame di JPO. Jangan sampai terulang tragedi robohnya pagar dan papan reklame di JPO Pasar Minggu.

Dualisme Aturan Reklame yang Membahayakan
Petugas Damkar mencari korban di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang rubuh di Pasar Minggu, Jakarta, Sabtu (24/9). JPO tersebut rubuh disebabkan oleh angin kencang dan hujan deras, dalam kejadian tersebut terdapat enam orang korban, dua diantaranya meninggal dunia. ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya/pd/16

tirto.id - Sepanjang jalan Mampang Prapatan Raya, tepatnya dari gudang PO Sinar Jaya hingga SDN Ragunan 01 Pagi yang berjarak 7,5 km, terdapat 11 jembatan penyeberangan orang (JPO). Tujuh JPO di antaranya terpasang papan reklame. Tiga papan reklame masih terpampang iklan, salah satunya milik maskapai swasta nasional. Sementara empat lainnya kosong melompong, hanya tersisa lampu neon yang meneranginya.

Penurunan gambar-gambar iklan di JPO tersebut, merupakan instruksi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama kepada bawahannya. Perintah itu keluar setelah robohnya papan reklame di JPO Pasar Minggu, pada Sabtu, 24 September 2016 lalu, akibat hujan deras yang melanda kawasan tersebut.

Sebanyak sebelas orang menjadi korban. Empat di antaranya meninggal dunia, yakni Sri Hartati (52), Aisah Zahra Ramadani (8), Lilis Lestari (43) dan Abdiyu (4). Sementara korban luka-luka adalah Al Zikri Al Kabi (5), Zarah Wigiarni (42), Karim Nur Firdausy (23), Rumaisah Azizah (22), Abu (5), Didi (19) dan Ahlan (19).

Cuaca buruk merupakan faktor utama penyebab robohnya jembatan tersebut. Namun, korban luka dan meninggal mungkin bisa diminimalkan seandainya Pemprov DKI Jakarta menaati Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang secara tegas melarang iklan atau reklame dipasang di JPO. Keberadaan papan reklame yang besar di JPO menyebabkan konstruksi bangunan sangat rentan jika kena terpaan angin kencang.

"Setiap orang dan penyelenggara dilarang keras untuk memasang iklan di JPO. Itu jelas. Kalau ketahuan maka kosekuensinya ada pasal 61 poin 1 yaitu ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 20 juta," kata Koordinator Koalisi Pejalan Kaki, Alfred Sitorus, kepada tirto.id, pada Jumat (30/9/2016).

Atas kelalaian yang menyebabkan korban meninggal dan luka itu, Koalisi Pejalan kaki mendesak pihak kepolisian mengusut hingga tuntas.

Larangan memasang reklame di JPO sebenarnya sudah ada. Namun, Pemprov DKI terus menerabas aturan itu, dengan alasan ada landasan hukum lain yang membenarkan kebijakan mereka. Landasan hukum itu adalah Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Reklame. Padahal, Perda tersebut tidak menjelaskan secara spesifik membolehkan memasang reklame di JPO. Perda hanya menyebutkan reklame bisa dipasang di sarana dan prasarana kota.

Pemasangan di JPO disebutkan dalam aturan turunan Perda Nomor 9 tahun 2014 itu, yakni Peraturan Gubernur Nomor 244 tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame. Yakni pada Pasal 14 ayat 1 (A) yang menyebut, pemasangan reklame di dalam sarana dan prasarana kota sebagaimana dimaksud, salah satuya ditempatkan pada JPO.

"Pergub 244/2015 itu merupakan turunan dari Perda 9/2014. Kalau Perda No 8/2007 tentang Ketertiban Umum itu melarang, tapi aturan kita juga ada membolehkan. Kami melaksanakan tugas sesuai dengan regulasi," kata Kepala bidang Pembinaan dan Pemanfaatan Aset BPKAD (Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah) DKI Jakarta, Rias Askaris, saat ditemui tirto.id, di kantornya, pada Senin (3/10/2016).

Meskipun ada perda yang saling bertabrakan, Rias mengaku tak terlalu mempermasalahkan. Sebab, masalah perda adalah domain dari biro hukum untuk melakukan penelaahan. “Kita hanya berwenang melakukan pelelangan titik reklame saja di Jakarta. Sementara pengawasan dan pemeliharaaan JPO berada di bawah Dinas Perhubungan DKI Jakarta,” katanya.

Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Tigor Hutapea menjelaskan, ketika ada aturan yang lebih baru, maka aturan lama akan dicabut. Akan tetapi yang penting, jika dalam Perda Penyelenggaraan Reklame ternyata tidak ada pencabutan pelarangan reklame di JPO, maka Perda Ketertiban Umum tetap berlaku.

"Ini menjadi masalah hukum sendiri, sebab bisa saja pihak lain memasang reklame dengan menggunakan landasan hukum baru meskipun landasan hukum lama melarang," kata Tigor kepada tirto.id.

Jika melihat kedudukan hukumnya, Perda Ketertiban Umum memang sangat tegas melarang reklame di JPO. Pada pasal 21 poin A disebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang: mencoret-coret, menulis, melukis, menempel iklan di dinding atau di tembok, jembatan lintas, jembatan penyeberangan orang, halte, tiang listrik, pohon, kendaraan umum dan sarana umum lainnya.

Sementara dalam Perda Penyelenggaran Reklame pasal 13 menyebutkan, setiap penyelenggaraan reklame pada sarana dan prasarana kota pada kawasan (zoning) peletakan titik reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), harus mendapat izin tertulis dari gubernur atau pejabat yang ditunjuk oleh gubernur.

Reklame 68 JPO Tak Berizin

Terlepas dari adanya aturan yang bertabrakan terkait keberadaan reklame di JPO, Koalisi Pejalan Kaki menilai robohnya papan pagar dan papan reklame JPO di Pasar Minggu bukan hanya tanggung jawab penyelenggara iklan. Tapi juga Pemprov DKI Jakarta, dalam hal ini BPKAD DKI Jakarta. Sebab penyelenggara iklan tidak mungkin memasang iklan kalau tidak ada izin dari pemerintah.

"Kalau dirunut dari prosedurnya, maka tersangka utama adalah pemberi izin. Contohnya, Bapak A mau pasang iklan tetapi harus membuat izin dan membayar pajak ke pemerintah. Kalau sudah dikeluarkan izin tersebut, maka si A akan pasang iklan," kata Alfred.

Hal yang patut dicermati, Koalisi Pejalan Kaki mendapat informasi bahwa reklame di JPO Pasar Minggu yang roboh, terakhir kali membayar pajak pada tahun 2011. Artinya, ada kemungkinan selama lima tahun, Dinas Perhubungan DKI Jakarta tidak melakukan pengawasan reklame di JPO tersebut.

Pihak Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengatakan, terdapat 95 JPO yang dipasang papan reklame. Sebanyak 20 di antaranya merupakan milik Jasa Marga.

"Total 95 titik JPO, 20 di antaranya milik Jasa Marga. Dari 75 titik yang jadi kewenangan DKI, tujuh memiliki izin dan sisanya 68 tidak berizin," kata Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Andri Yansyah dalam keterangan resmi, Jakarta, pada Kamis (29/9/2016).

Hal senada juga diungkapkan pihak BPKAD. Menurut Rias, sejak diterbitkan Pergub No 244 tahun 2015, pihaknya belum pernah melakukan pelelangan titik reklame baru. Akan tetapi pihaknya sudah memberikan izin bagi tujuh titik reklame berdasarkan Surat Keputusan Gubernur No 37 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Reklame.

Sebanyak tujuh titik tersebut terbagi dua, yakni dua lokasi di kawasan Sudirman-Thamrin, sedangkan lima lokasi berada di Jalan Rasuna Said. "Di luar itu, kami tidak tahu. Kami tidak melakukan pelelangan. Kami enggak tahu siapa yang beri izin di tempat lainnya, karena BPKAD tidak mengizinkan. Yang hanya ada (reklame di JPO) di tujuh titik saja dan akan habis di bulan Maret 2017," kata Rias.

Keberadaan 68 reklame di JPO yang tidak berizin tentu menjadi janggal. Pihak Pemprov DKI Jakarta harus segera melakukan pendataan dan penertiban. Siapa tahu kondisi papan reklame di JPO-JPO tersebut juga sudah ringkih. Jangan sampai muncul korban-korban baru di titik-titik yang tak berizin tersebut.

Baca juga artikel terkait JPO atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho