Menuju konten utama

Dua Tahun KPK Era Firli: Lemah di Depan Perkara Sumber Daya Alam

Kinerja KPK dinilai memburuk terutama di sektor SDA. Padahal menjadi sektor yang mesti dibenahi KPK berdasarkan peta jalan KPK 2012-2023.

Dua Tahun KPK Era Firli: Lemah di Depan Perkara Sumber Daya Alam
Pegiat antikorupsi dari ICW dan Gerakan #Bersihkan Indonesia melakukan aksi teaterikal "Habis Gelap Tak Kunjung Terang: Runtuhnya Pemberantasan Korupsi" di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (8/12/2021). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU

tirto.id - Dua tahun (per 20 Desember 2021) masa kepemimpinan Firli Bahuri di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai pegiat antikorupsi sebagai “kemunduran” dan “menjatuhkan muruah lembaga.”

Koalisi Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Kajian Anti Korupsi UGM (Pukat UGM), dan Transparency International Indonesia (TII) menyebutkan, pasca kepemimpinan Firli dan revisi UU KPK, menurunkan kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.

Mereka merilis laporan bertajuk “Laporan Hasil Evaluasi Dua Tahun Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi.” Koalisi menilai KPK tidak memiliki arah pemberantasan korupsi yang jelas. Lebih mengutamakan pencegahan yang penuh jargon, minus formula yang berdampak signifikan.

DPR, pemerintah, dan KPK seolah alergi terhadap penindakan. Bahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan harmonisasi UU Tipikor berdasarkan ketentuan UNCAC, urung mereka laksanakan.

Buruknya kerja KPK dalam sektor penindakan dapat dilihat dari keenganan melakukan supervisi pada kasus besar: kasus korupsi pengurusan fatwa Mahkamah Agung yang melibatkan Djoko S Tjandra serta Jaksa Pinangki S Malasari; lambatnya penangkapan buron Harun Masiku; dan penanganan kasus korupsi bantuan sosial dengan terpidana Eks Mensos Juliari P. Batubara.

“Penindakan bukan tidak dilakukan sama sekali. Namun pelaksanaannya masih tergolong biasa-biasa saja,” ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Senin (27/12/2021).

Peneliti Pukat UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman menilai, pencegahan KPK pun belum efektif. Lantaran belum terdapat sanksi tegas bagi penyelenggara negara yang lalai memberikan Laporan Harta Kekayaan Penyelengara Negara (LHKPN).

“Berdasarkan Ikhtisar hasil pemeriksaan (IHPS) semester II 2020 yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), program pencegahan dan pengelolaan benda sitaan serta barang rampasan tipikor yang dilakukan oleh KPK juga belum efektif,” ujar Zaenur.

KPK justru ruwet dengan persoalan internal. Mereka memberhentikan puluhan pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan. Padahal banyak kasus mangkrak. Catatan ICW, setidaknya ada 14 perkara mangkrak di komisi antirasuah.

Lemah di Depan Perkara SDA

Kinerja KPK juga memburuk terutama di sektor Sumber Daya Alam (SDA). Dalam laporan tersebut, koalisi menilai KPK jarang menindak perkara korupsi di sektor SDA. Padahal SDA menjadi sektor yang mesti dibenahi KPK berdasarkan peta jalan KPK 2012-2023.

Salah satunya, terkait minimnya implementasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA).

GNPSDA merupakan bentuk kerja sama yang ditandatangani 29 pimpinan kementerian dan lembaga pada 19 Maret 2015. Meliputi perbaikan tata kelola SDA: mulai dari perizinan hingga mempercepat pelaksanaan kebijakan satu peta.

Padahal program GNPSDA bertujuan untuk “meminimalisasi peluang terjadinya korupsi di sektor SDA dan menyelamatkan potensi kerugian keuangan dan perekonomian negara.”

“Pemberitaan mengenai GNPSDA pada 2021 terbatas pada perkembangan dari hasil evaluasi ini,” ujar Peneliti TII Alvin Nicola dalam keterangan tertulis, Senin (27/12/2021).

Koalisi juga menyoroti penanganan dugaan perkara korupsi yang melibatkan PT. Jhonlin Baratama pada awal tahun lalu. Ketika Tim Penyidik KPK menggeledah kantor Jhonlin, diduga ada pihak-pihak yang mengetahui rencana tersebut dan menghilangkan barang bukti perkara.

“Hal ini menunjukkan bahwa korupsi di sektor SDA, khususnya pertambangan batu bara membutuhkan keseriusan KPK dalam penindakannya,” ujar Alvin.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai kegagalan penggeledahan tersebut adalah dampak dari revisi UU KPK. Alur penindakan menjadi panjang dan berbelit, sehingga menimbulkan potensi kebocoran informasi.

“Pemberantasan KPK, ini bagian kecil dari skenario besar untuk mempelancar bisnis terkait SDA. Yang sebenarnya oleh KPK, sedang diupayakan diperbaiki, tapi KPK ‘dibunuh’ duluan,” kata Bivitri menanggapi laporan koalisi, Senin (27/12/2021).

Sementara Direktur Hukum organisasi non-pemerintah, Auriga Nusantara, Roni Saputra menilai kinerja KPK juga lemah dalam perkara PLTU Mulut Tambang Riau-1. Perkara tersebut melibatkan mantan Anggota Komisi VII Fraksi Golkar DPR RI Eni Maulani Saragih, eks Menteri Sosial Idrus Marham, pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo, dan mantan Dirut PLN Sofyan Basir yang kemudian diputus bebas oleh pengadilan.

Menurut Roni, penyidik dan jaksa KPK tidak menggali hubungan antara Kotjo, BNR, PT Samantaka Batubara; perjanjian konsorsium antara BNR dan CHEC pada 15 Desember 2015; dan perubahan perencanaan PLTU Riau Kemitraan menjadi PLTU MT Riau 1 dalam RUPTL 2016-2025.

“Perubahan kebijakan dalam RUPTL ini patut diduga untuk mengakomodir kepentingan dari konsorsium BNR dan CHEC Inc untuk proyek PLTU Riau-1,” ujar Roni menanggapi laporan koalisi, Senin.

Roni juga menyoroti tindakan KPK yang tidak menyeret Partai Golkar ke meja hijau. Berdasarkan keterangan Eni Saragih, uang suap yang ia terima mengalir ke Golkar untuk pembiayaan Musyawarah Nasional Luar Biasa Golkar.

Pada 7 September 2018, Juru Bicara KPK ketika itu, Febri Diansyah membenarkan, pengurus Partai Golkar mendatangi Kantor KPK untuk menyerahkan uang suap PLTU Riau-1.

“Golkar harusnya bisa dibawa ke meja hijau oleh KPK. Dengan Pasal 5 UU TPPU. Jika dilakukan ini menjadi prestasi besar bisa menarik partai yangnotabene bisa disebut korporasi,” ujar Roni.

Perihal penanganan kasus korupsi di sektor SDA, Dosen Hukum Lingkungan Universitas Gajah Mada Totok Dwi Diantoro menyarankan agar KPK turut menghitung kerusakan lingkungan sebagai kerugian keuangan negara. Kerugian negara sejauh ini hanya dimaknai sebatas kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

“Apabila dalam Tipikor, proses perizinan eksploitasi SDA terdapat unsur melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang. Maka penegak hukum perlu memperhatikan perspektif kerugian lingkungan atau ekologis sebagai bagian dari kerugian keuangan negara yang actual dan pasti,” ujar Toto menanggapi laporan tersebut.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz