Menuju konten utama

Dua Sisi Rage Against The Machine

Dengan musik, mereka ingin menghapus rasisme, kekerasan terhadap minoritas, dan kapitalisme global.

Dua Sisi Rage Against The Machine
Rage Against the Machine. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Ajang MTV Video Music Awards 2000 yang dihelat di Radio City Music, New York mulanya berlangsung lancar. Namun, semua berubah kacau saat pemenang kategori Video Rock Terbaik dibacakan. Penyebabnya, pencabik bas Rage Against the Machine (selanjutnya RATM), Tim Commerford, naik ke atas panggung sebagai wujud penolakannya atas kemenangan Limp Bizkit.

Insiden tersebut sempat membuat acara terhenti. Akhirnya, pihak keamanan berhasil menurunkan Commerford dan membawanya keluar venue. Tak sampai situ saja, Commerford bahkan harus ditahan di penjara sebelum dibebaskan keesokan harinya.

Dampak terburuk dari aksi akrobatik Commerford tidak main-main. Rekan satu bandnya sekaligus vokalis RATM, Zack de la Rocha, dikabarkan begitu malu melihat kelakuan kawannya itu. Satu bulan kemudian, de la Rocha memutuskan keluar dari RATM serta hanya bersedia reuni untuk acara tertentu saja.

“Saya merasa sudah saatnya meninggalkan Rage—RATM—mengingat proses pengambilan keputusan di antara kami telah gagal total,” ungkap de la Rocha dalam pernyataan resminya. “[…] saya sangat bangga dengan pekerjaan kami, baik sebagai aktivis maupun pemusik. Dan saya juga berutang budi serta mengucapkan terima kasih kepada setiap orang yang telah menyatakan solidaritas dan berbagi pengalaman luar biasa ini bersama kami.”

Mulai Menggebrak Kancah

Los Angeles, 1990, menjadi saksi betapa buntunya kreativitas gitaris bernama Tom Morello. Bersama bandnya yang beraliran funk-metal, Lock Up, Morello merasa tidak mengalami perkembangan apa-apa. Singkatnya, ia butuh suasana baru.

Setahun berselang, ia mulai bergerilya mencari personel tambahan. Lalu, bertemulah Morello dengan de la Rocha, yang saat itu jadi frontman band hardcore, Inside Out. Keduanya sepakat membentuk band bersama Commerford dan Brad Wilk. Nama yang diambil adalah Rage Against the Machine yang terinspirasi oleh salah satu lagu de la Rocha di band lamanya.

Setelah terbentuk, RATM langsung mengeluarkan demo yang berisikan 12 lagu. Materi demo tersebut direkam dalam kaset pita dengan sampul bergambar Thích Quảng Đức, biksu asal Vietnam yang membakar dirinya sendiri di jalanan Saigon pada 1963 sebagai wujud protesnya terhadap pemerintahan. Karya perdana RATM ini dijual tanpa label dan laku sebanyak lebih dari 5 ribu kopi.

Kesuksesan demo tersebut menuntun RATM untuk menandatangani kontrak bersama Epic Records, label mainstream yang berinduk pada Sony. Pada 1992, album pertama mereka bersama Epic dirilis. Mengambil judul yang sama dengan demo sebelumnya, album RATM diterima sangat baik oleh pasar: masuk Billboard Top 50, UK Top 20, hingga meraih status penjualan triple platinum.

Selain itu, album mereka juga dirayakan para kritikus. Loudwire, misalnya, menyebut album pertama RATM begitu “berbahaya” dan “agresif.” Sedangkan Pitchfork mencatat bahwa album Rage Against the Machine yang dibuat dengan kejujuran mampu membuat para pendengar mabuk dan ketagihan. Tak ketinggalan, Chuck D—pentolan Public Enemy—memuji permainan gitar Morello yang dianggapnya “di luar nalar.”

Segala pujian tersebut membawa RATM rutin menyambangi konser-konser berskala besar. Dari yang mulanya hanya bermain di gigs-gigs kecil, RATM beralih ke festival musik macam Lollapalooza, Woodstock, hingga tur bersama Public Enemy dengan status band pembuka.

Infografik RATM

Secara umum, warna musik RATM dipengaruhi band-band macam Minor Threat, Black Sabbath, Sex Pistols, Public Enemy, Run DMC, hingga Cypress Hill. Mereka dikenal publik lewat musikalitasnya yang bertumpu pada kombinasi hip hop, funk, heavy metal, dan dance music.

Usai debut yang mengesankan, RATM kembali melanjutkan performa yang impresif di dua album berikutnya: Evil Empire (1996) dan The Battle of Los Angeles (2000). Bahkan, di The Battle of Los Angeles, Rolling Stone memberi definisi tersendiri untuk solo gitar Morello yang mereka sebut dengan gaya “Guerilla Radio.”

Akan tetapi, perjalanan RATM berakhir pada 2000. Akumulasi konflik internal hingga rasa lelah memenuhi tuntutan label—tur, konser, dan lain sebagainya—dianggap jadi pemicu utama usia pendek RATM. Kendati begitu, dalam rentang 2007 sampai 2011, RATM masih melangsungkan konser reuni.

Pro dan Kontra Sikap Politik

Membicarakan RATM tentu tidak bisa dilepaskan dari sikap politik yang mereka bawa. Munculnya sikap politik RATM sendiri berakar dari pengalaman Morello dan de la Rocha yang tumbuh dalam belenggu rasisme di masa kecil.

Morello lahir dari pasangan Ngethe Njoroge dan Mary. Ayahnya adalah mantan anggota gerakan Mau Mau yang berupaya membebaskan Kenya dari penjajahan Inggris dan perwakilan Kenya di PBB pasca-merdeka. Sedangkan ibunya, Mary, merupakan perempuan kulit putih yang aktif dalam sejumlah LSM gerakan hak sipil seperti Urban League.

Orangtua Morello pisah di saat usianya masih sangat belia. Bersama sang ibu, mereka pindah ke Libertyville, wilayah pinggiran Chicago yang ditempati banyak warga kulit putih. Di Libertville, Morello mendapati kenyataan pahit berupa rasisme tatkala ibunya sulit mendapatkan pekerjaan hanya karena menikah dengan pria kulit hitam.

Dari pengalaman tersebut, sang ibu terus konsisten mengajarkan Morello pentingnya kesetaraan. Seiring waktu, Morello menerapkan ajaran ibunya. Sejak remaja hingga lulus dari Harvard dengan gelar ilmu sosial, ia rajin membaca dan menulis tentang gerakan hak sipil di Amerika Tengah serta Afrika Selatan.

Kejadian serupa juga menimpa de la Rocha yang menjadi bahan tertawaan teman-teman sekolahnya di pinggiran Irvine, California, sebab ia lahir dari rahim orang Meksiko. Di Irvine, de la Rocha, tinggal bersama ibunya, Olivia, yang sedang menyelesaikan studinya di University of California. Pengalaman pahit tersebut lantas ia ubah jadi keberanian.

“Saya berkata pada diri sendiri,” jelasnya kepada jurnalis senior Rolling Stone, David Fricke, ”bahwa saya tidak tidak akan pernah diam lagi. Saya tidak akan pernah membiarkan diri saya tidak menanggapi situasi seperti itu—rasisme—dalam bentuk apapun dan di mana saja.”

Motivasi Morello dan de la Rocha kemudian dituangkan dalam karya RATM. Selama bermusik, RATM konsisten menyuarakan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Amerika. Dari rasisme, kapitalisme, kesenjangan sosial, sampai aksi kekerasan terhadap minoritas.

Berangkat dari tekad itu, lahirlah banyak track bermuatan politis seperti “Know Your Enemy” yang mendorong masyarakat Amerika tidak termakan narasi palsu slogan “American Dreams". Ada pula “Take the Power Back” yang mengkritik sistem pendidikan Amerika, atau “Maria” yang dibuat untuk mengenang perempuan Meksiko yang tewas dibunuh orang Amerika, dan “Killing the Name” yang jadi anthem protes dengan salah satu lirik berbunyi “Fuck you, I won’t do what you tell me.”

Tak sekadar lewat lagu-lagu saja, sikap politik RATM juga seiring sejalan dengan tindakan. Pada musim semi 1995, de la Rocha bergabung dengan tim pemantau dari Mexico City untuk mengawasi jalannya perundingan antara Tentara Pembebasan Nasional Zapatista dan pemerintah Meksiko.

Pentolan RATM tersebut memang dikenal sebagai pendukung Zapatista. Dukungan itu dibuktikan saat ia mengorganisir perjalanan ke basis Zapatista untuk mengajar bahasa Spanyol dan Inggris kepada penduduk setempat dan berpartisipasi dalam patrol keamanan Zapatista.

RATM juga sering tampil dalam acara Regeneración atau Popular Resource Center, komunitas yang dibentuk seniman dan aktivis Chicano (orang Meksiko-Amerika) di Los Angeles untuk media pembelajaran politik serta isu-isu lokal kepada masyarakat Chicano dan kulit hitam. Komunitas ini menggunakan musik, film, dan teater sebagai sarana pembelajarannya.

Tak hanya itu, RATM juga mendukung pembebasan Leonard Peltier (aktivis Indian-Amerika) dan Mumia Abu-Jamal (jurnalis dan mantan anggota Black Panther) yang ditahan kepolisian gara-gara mempertahankan hak sipil komunitas mereka.

Di antara pelbagai aktivitas politik yang RATM lakukan, publik paling ingat kala mereka tampil telanjang di festival Lollapalooza pada 1993. Dengan mulut yang ditutup lakban hitam dan kata P-M-R-C (Parents Music Resource Center) yang tertulis di dada masing-masing personel, RATM menyuarakan protes anti-penyensoran.

Meski begitu, aktivisme mereka tak lepas dari kritikan. Salah satunya adalah mengenai keputusan mereka bergabung dengan Epic Records. Publik beranggapan, bergabungnya RATM bersama Epic dianggap tidak sesuai dengan idealisme yang diusung. Menolak kapitalisme, tapi malah menandatangani kontrak dengan label musik besar yang memperlihatkan wajah kapitalisme itu sendiri.

Tak hanya itu, mereka juga dikritik karena mendukung gerakan revolusioner Peru, Shining Path, pimpinan Abimael Guzman yang berideologi komunis. Dukungan RATM dihadirkan dalam lagu “Without a Face.” Publik mengkritik keputusan RATM sebab Shining Path sudah diakui secara global sebagai organisasi teroris.

Kendati demikian, personel RATM terus melangkah walau mereka sudah bubar. Morello, Commerford, dan Wilk membentuk Audioslave bersama vokalis Soundgarden, Chris Cornell. Sedangkan de la Rocha sempat membentuk One Day as a Lion bersama drummer Mars Volta, Jon Theodore.

Api perlawanan mereka terus menyala. Usai Audioslave bubar, tiga orang personel lain membentuk Prophets of Rage bersama Chuck D, DJ Lord (Public Enemy), dan B-Real (Cypress Hill). Mereka masih tetap mengusung suara-suara protes maupun menunjukan sikap terhadap masalah aktual.

“Orang kadang-kadang berkata, ‘Hei, Tom! Diam dan mainkan gitarmu!’ Oh, aku akan tetap bermain gitar, kalian bisa bertaruh pada hal itu. Tapi, aku tidak akan tutup mulut soal hak asasi manusia. Aku tidak akan pernah berhenti berjuang untuk planet yang lebih baik, adil, dan manusiawi. Dan, jika itu membuat beberapa orang kesal, sungguh sayang sekali.”

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Musik
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Nuran Wibisono