Menuju konten utama

Dua Sisi Fenomena Memviralkan Pejabat Publik Jelang Pemilu 2024

Rico menilai, demokrasi digital merupakan realitas praktik berdemokrasi di era teknologi informasi yang tak bisa lagi diabaikan.

Dua Sisi Fenomena Memviralkan Pejabat Publik Jelang Pemilu 2024
Ilustrasi Media Sosial. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Kenapa Pak Mahfud bertindak setelah viral? Ya kalau tidak viral, kan, saya tidak tahu karena polisi itu setiap harinya nih, bukan tiap bulan ribuan kasus yang diurus.”

Begitulah pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD saat menanggapi soal Kabid Propam Polda Kalimantan Utara, Kombes Teguh Triwantoro usai viral kasus barang bukti BBM ilegal hilang, Kamis (27/4/2023). Mahfud sebut, posisi Teguh kembali setelah sempat dicopot oleh Kapolda Kaltara, Irjen Daniel Adityajaya.

Kasus Kaltara hanya satu dari berbagai isu viral di media sosial, malah lebih 'keras' lagi direspons publik. Dalam kasus penganiayaan kepada David oleh Mario Dandy, anak eks pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, warganet 'menguliti' keluarga Mario hingga menyeret sang ayah, Rafael Alun ke kasus lain. Harta kekayaan Rafael disorot publik. Sorotan tersebut berujung kepada penetapan tersangka Rafael Alun sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi oleh lembaga antirasuah.

Sementara itu, kasus penganiayaan Mario berujung pada pengungkapan keterlibatan pacar Mario dan koleganya, yaitu AG dan Shane. Kedua orang tersebut berujung diproses hukum. AG terbukti bersalah dan divonis 3,5 tahun penjara.

Kasus yang hampir mirip dengan kisah Mario dan Rafael Alun kembali terjadi di Sumatera Utara. Polisi menindak kasus penganiayaan anak yang dilakukan Aditya Hasibuan kepada Ken Admiral. Aditya adalah anak dari AKBP Achiruddin Hasibuan, eks Kabag Ops Dirresnarkoba Polda Sumatera Utara.

Polisi tidak hanya memproses hukum penganiayaan Ken yang berawal dari video viral penganiayaan yang dilakukan Aditya, melainkan juga memproses hukum Achiruddin yang dinilai membiarkan penganiayaan yang dilakukan Aditya kepada Ken. Kini, Achiruddin diproses dalam isu lain, yakni dugaan kepemilikan gudang solar berton-ton.

Penyidikan terhadap Aditya dan Achiruddin punya kesamaan dengan Rafael dan Mario, yakni berawal dari video penganiayaan yang diunggah ke publik. Video tersebut lantas direspons warganet, berujung viral dan baru ditindaklanjuti aparat setelah ramai dibicarakan publik.

Selain kasus seperti Aditya-Achiruddin, Rafael-Mario maupun kisah di Kaltara, kini mulai muncul sorotan seperti kisah flexing (hidup glamor) petugas lapas kelas IA Rajabasa di Lampung Dhawang Delvie hingga aksi Kadinkes Lampung Reihana.

Usai 'dirujak' dan 'dikuliti' warganet serta menjadi perbincangan dunia maya akibat sikap flexing mereka, Dhawang dan Reihana berpotensi tersandung kasus hukum. Dhawang berujung dimutasi dan diperiksa oleh Itjen Kemenkumham, sementara Reihana dijadwalkan akan diperiksa oleh KPK.

Belum lagi kritik Bima, warga Lampung di Australia yang menyoroti soal buruknya infrastruktur di daerah Lampung.

Menguntungkan bagi Situasi Nasional?

Peneliti kebijakan publik IDP-LP, Riko Noviantoro menilai, fenomena speak up di masyarakat, terutama lewat media sosial tidak terlepas dari peran kemajuan teknologi. Fenomena itu mulai terlihat pada 2010 dan diperkuat hasil riset dari Global Web Index yang menemukan Indonesia sebagai pengguna internet tertinggi, maupun temuan The Economist yang menempatkan Indonesia sbeagai pengguna media sosial Twitter tertinggi.

Dari temuan tersebut, Rico memandang, setidaknya ada dua poin yang perlu digarisbawahi. Pertama, penggunaan medsos yang meningkat membuktikan tren praktik demokrasi digital sedang tumbuh. Hal itu beririsan pula dengan praktik birokrasi digital yang juga terjadi.

Demokrasi digital, menurut Riko, merupakan realitas praktik berdemokrasi di era teknologi informasi yang tak bisa lagi diabaikan. Praktik demokrasi digital ini menjadi fakta bahwa partisipasi publik semakin terbuka dan semakin mudah. Hal ini berbanding terbalik dengan situasi di masa lalu yang kerap terjebak dengan pendekatan prosedural. Ketika tidak direspons, publik akan menyampaikan lewat aksi massa.

Sementara itu, dalam catatan kedua, Riko menilai, fenomena speak up membantah dugaan masyarakat umum bahwa generasi muda acuh terhadap politik. Generasi muda dituding abai dengan persoalan sosial, bahkan disebut egois, individual sentris dan sebagainya.

“Realitasnya, pengguna media sosial didominasi generasi milenial. Berbagai kasus yang berhasil disampaikan melalui media sosial dilakukan generasi milenial. Fakta itu jelas membatah anasir publik tentang sikap acuh generasi milenial," kata Riko.

"Inilah cara berpolitik generasi milenial. Tidak selalu berpatron pada partai, komunitas atau lainnya. Mereka secara swadaya mengelola informasi dan menyampaikannya,” lanjut Riko.

Riko menilai, aksi speak up yang muncul bukan berarti menandakan pemerintah semakin gagal dalam menjalankan fungsi. Ia justru melihat publik semakin berupaya mendukung pemerintahan yang baik.

Hal itu terlihat dari kritik Bima, warga Lampung yang menyoroti infrastruktur di Provinsi Lampung yang bermasalah. Namun, pemerintah daerah terlihat tidak siap dengan sikap publik yang terus berbicara tentang masalah di masyarakat.

"Memang pemanfaatan media sosial sebagai speak up membuat pemerintah berada pada tantangan berat. Karena pengguna media sosial bisa dari kalangan mana saja. Akibatnya pemerintah bisa tergopoh-gopoh menghadapi berbagai pernyatan publik tersebut. Di sisi lain diharapkan publik juga bisa cerdas dan bijak menyampaikan kritikan, terutama berkaitan denga data dan lainnya,” kata Riko.

Riko menilai, pemerintah perlu aktif menggunakan media sosial dan merespons sikap publik, terutama di dunia maya. Selain itu, pemerintah juga perlu mengedepankan pengetahuan komunikasi, apalagi tidak tertutup kemungkinan bahwa ada narasi masif yang berpotensi mengganggu pemerintahan dan memicu kekacauan seperti kisah polemik revisi UU KPK di masa lalu.

"Makanya perlu regulasi yang lebih memadai. Agar bisa memilih informasi yang diseting untuk kepentingan kelompok dan seterusnya," kata Riko.

Sementara itu, analis politik dari Universitas Jember, M. Iqbal menilai, aksi kritik publik sebagai bentuk upaya penghakiman sosial publik dengan pendekatan cancel culture atau budaya pengenyahan.

Cancel culture adalah upaya dan budaya warganet untuk menyingkirkan pejabat maupun public figure dari interaksi dan tatanan sistem sosial akibat perilaku para pejabat atau tokoh yang dinilai sudah melampaui batas norma sosial seperti flexing narcist atau pamer harta.

Beragam bentuk cancel culture antara lain, doxing atau "menguliti dan mengekspos sisi gelap" seseorang akibat pola tingkah perilakunya yang sangat berlebihan. Semua dilakukan karena warganet menilai aksi pejabat tersebut sudah kelewatan.

"Pola tingkah laku yang amat buruk itu oleh warganet dinilai sangat melukai rasa keadilan sosial dan melanggar batas-batas kemanusiaan. Akibatnya memicu kemarahan sosial. Maka, terjadilah gerakan budaya pengenyahan atau cancel culture itu. Tujuan utamanya sejatinya sangat positif yaitu mempercepat "pengadilan sosial" ketika proses hukum normatif begitu lamban dan kerap malah tidak memenuhi keadilan sosial," kata Iqbal, Jumat (28/4/2023).

Iqbal mengutip pernyataan pakar komunikasi Spanyol, Manuel Castell yang menandai fenomena ini dalam satu karya 2012 yang fenomenal berjudul Networks of Outrage and Hope Social Movements in the Internet Age. Munculnya jejaring kemarahan dan harapan untuk menandai maraknya aktivisme gerakan sosial di internet untuk menumbuhkan rasa keadilan sosial.

Di Indonesia, kata Iqbal, keberadaan akun Twitter @partaisocmed adalah bukti dari tesis Castell. Akun tersebut acapkali menjadi rujukan warganet dalam menghakimi pejabat publik yang semena-mena dan berlebihan melawan rasa keadilan sosial.

Hal itu dapat dilihat dari aksi akun @partaisocmed yang melakukan budaya pengenyahan dan doxing. "Melalui cara ini, jejaring kemarahan masyarakat dihimpun hingga menumbuhkan harapan pemenuhan rasa keadilan sosial itu," kata Iqbal.

Dalam kacamata Iqbal, aksi cancel culture sangat baik jika dilihat dari kacamata komunikasi politik, jika supremasi hukum mengalami pelemahan. Hal ini akan semakin masuk akal jika pemerintah melakukan aksi yang terkesan diskriminatif dan tendensius seperti penerapan pasal karet dalam UU ITE. Kemudian muncul gerakan aktivisme seperti @PartaiSocmed yang kemudian mengambil alih upaya perbaikan lewat aktivisme gerakan sosial demi memenuhi rasa keadilan tersebut.

Lantas, apakah hal ini akan berimbas pada pemilu dan tahun politik? Iqbal tidak memungkiri aksi cancel culture akan berimbas ke Pemilu 2024. Ia mengingatkan bahwa era digital, masifnya media sosial, dan posisi pemilih muda yang mencapai 60 persen akan membawa dampak.

“Besarnya populasi ini tentu bisa positif sekaligus negatif tergantung kecerdasan digital yang dimiliki oleh warganet. Kalau minim bahkan tanpa etika dan budaya digital, boleh jadi arena pemilu bakal dijejali oleh kekerasan digital dan ujaran kebencian. Tentu ini akan jadi pertaruhan dan ujian besar bagi budaya dan kedewasaan demokrasi Indonesia," kata Iqbal.

Di sisi lain, situasi politik Indonesia, dalam kacamata Iqbal tidak sepenuhnya mencerminkan keadilan di pemerintahan Jokowi. Ia melihat dari sikap Jokowi yang justru terlihat mengorganisir koalisi besar dan berpihak kepada bacapres PDIP, Ganjar Pranowo dan masih ada narasi degradasi Anies Baswedan.

Iqbal menekankan bahwa Pemilu 2024 kemungkinan bisa diatur sedemikian rupa untuk mendegradasi pemilu lewat keberadaan tim sukses, relawan hingga pasukan buzzer. Situasi pemilu 2024 di era platform media sosial berpotensi semakin disruptif, sementara ceruk pemilih milenial dominan.

“Semburan fakta palsu, serangan konten kebencian dan manipulasi serta distorsi informasi sangat mungkin kian merajalela hingga membabi-buta. Pada konteks inilah seharusnya semua unsur penyelenggara pemilu harusnya sudah memagari dengan regulasi yang ketat dan adil,” kata dia.

Iqbal menambahkan, “Bahkan sistem pengawasan serta penegakan hukumnya pun juga seharusnya sudah terbentuk hingga terdiseminasi dengan baik merata dan menjangkau sampai ke tingkat pemilih. Itu termasuk kewajiban tanggung jawab pendidikan politik yang diemban oleh penyelenggara pemilu.”

Menurut Iqbal, jika penyelenggara pemilu lemah pada sistem regulasi, pengawasan dan penegakan hukum terkait cancel culture maupun serangan agenda seting tersebut, maka rasanya pemilu yang luber dan jurdil bakal sebatas jargon semata.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz