Menuju konten utama

Dua OTT dalam Sepekan, KPK Bangkit dari Mati Suri?

KPK melakukan dua OTT dalam dua hari. Salah satu di antaranya menteri. Apakah ini tanda KPK bangkit dari mati suri?

Dua OTT dalam Sepekan, KPK Bangkit dari Mati Suri?
Penyidik KPK Novel Baswedan (kanan) didampingi Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak (kiri) bersiap memberikan keterangan pers usai menggelar pertemuan di Gedung Komisi Kejaksan, Jakarta, Kamis (2/7/2020). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.

tirto.id - Dua operasi tangkap tangan (OTT) dalam dua hari terakhir, bagi beberapa orang, adalah bukti masih adanya setitik harapan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah kewenangannya dibatasi oleh kehadiran peraturan hasil revisi, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Sebagian lain menganggap perlu waktu lebih untuk menilai apakah benar demikian atau tidak. Yang jelas, peran penyidik dalam penangkapan dianggap signifikan.

OTT pertama dilakukan terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan enam orang lain, Rabu (25/11/2020). Politikus Partai Gerindra itu diduga menerima suap 100 ribu dolar AS dari Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito untuk memuluskan izin ekspor benih lobster.

OTT kembali dilakukan kemarin pagi (27/11/2020), kali ini terhadap Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna. Ia diduga terlibat dalam korupsi proyek pengadaan pembangunan rumah sakit.

Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) UGM Yogyakarta Zaenur Rohman mengatakan kepada reporter Tirto, Kamis (26/11/2020), kinerja KPK harus diapresiasi sebab “masih bisa OTT level menteri” dan “masih ada keinginan pimpinan menjawab kritik publik.”

Kinerja KPK setahun setelah UU baru diundangkan memang buruk. Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) mencatat pada era kepemimpinan Firli Bahuri KPK hanya melakukan OTT dua kali dalam enam bulan. Berbeda dengan periode pimpinan sebelumnya: OTT sebanyak 8 kali pada periode yang sama tahun 2016, 5 kali 2017, 13 kali 2018, dan 7 kali 2019.

Sejak menjalani fit and proper test di DPR, Firli telah menegaskan bahwa program utamanya kelak adalah pencegahan, alih-alih penindakan. Suatu ketika, di hadapan para pengujinya, anggota Komisi III DPR, Firli mengaku “sedih” melihat banyak orang yang ditangkap tangan.

Meski memberikan apresiasi, Zaenur menekankan OTT menunjukkan korupsi masih merajalela dan oeh karena itu KPK mesti membuktikan dengan juga mementingkan penindakan dalam pemberantasan korupsi. “Tidak adanya OTT bukan berarti tidak ada korupsi. Itu minimnya kerja penindakan KPK,” ujarnya.

Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola turut mengapresiasi kerja OTT KPK. Namun menurutnya penangkapan itu belum bisa dijadikan acuan bahwa KPK tidak dilemahkan setelah revisi UU.

“Publik perlu menunggu apakah ini hanya bersifat kasuistis, atau ini akan jadi tren selanjutnya,” ujarnya Alvin kepada reporter Tirto, Kamis.

Peranan Penyidik

Hal lain yang menurut Zaenur harus diperhatikan dalam penindakan kali ini adalah peran para penyidik, termasuk Novel Baswedan. Novel adalah salah satu kepala satuan tugas dalam menangkap Edhy. Dalam penangkapan buron korupsi eks Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, ia juga terlibat memimpin satuan tugas.

Kesuksesan OTT, menurut Zaenur, tidak terlepas dari semangat dan komitmen pemberantasan korupsi yang masih bertahan di antara para pegawai setelah ditinggalkan beberapa yang terbaik, salah duanya: Febri Diansyah dan Nanang Farid. “Ada sisa nafas perjuangan para pegawai, khususnya yang memiliki rekam jejak baik semisal Novel Baswedan,” ujar Zaenur.

Pendapat serupa disampaikan Alvin. Oleh karena para penyidik seperti Novel masih memiliki komitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi, para petinggi KPK juga semestinya punya semangat yang sama. Semangat ini dapat ditunjukkan dengan menuntaskan kasus lain yang masih belum menemui titik temu, misalnya perburuan Harun Masiku yang sampai sekarang tak jelas keberadaannya. Ia telah buron sejak Januari lalu.

Harun diduga telah menyuap eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan untuk menjabat sebagai legislator. KPK menduga uang suap yang dijanjikan Harun kepada Wahyu mencapai Rp900 juta.

“Situasi ini seharusnya dimanfaatkan oleh pimpinan KPK agar satgas pimpinan NB (Novel Baswedan) bisa membantu satgas lain, terutama satgas yang gagal meringkus Harun Masiku,” ujar Alvin.

Meski tak tahu Harun ada di mana, KPK mengatakan penyidikan terhadapnya tetap berjalan.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana juga mendesak KPK melibatkan satgas yang menangkap Edhy dan Nurhadi sekaligus membubarkan satgas yang gagal memburu Harun Masiku. “Diganti dengan tim yang punya record baik sepanjang 2020 ini,” ujar Kurnia dalam keterangan tertulis.

Kurnia juga mendesak agar KPK melakukan evaluasi secara keseluruhan, baik antar pimpinan ke deputi atau deputi ke setiap satgas. “Kenapa aktor selevel menteri ditangkap, sedangkan Harun Masiku tidak? ICW yakin ini faktor deputi penindakan enggan mengevaluasi tim satgas,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait OTT KPK atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino