Menuju konten utama
Kultum Quraish Shihab

Dua Kekhalifahan dan Pertikaian di Dalam Tubuh Umat Islam

Mengapa al-Qur'an  menggunakan kata tunggal "aku" saat hendak menciptakan Adam dan kata jamak "kami" saat mengangkat Nabi Daud sebagai penguasa?

Dua Kekhalifahan dan Pertikaian di Dalam Tubuh Umat Islam

tirto.id - Kekhalifahan/khalifah terambil dari kata khalafa yang berarti di belakang/datang sesudah. Dari sini berkembang maknanya menjadi pengganti yang melaksanakan fungsi/mandataris.

Dalam al-Qur'an sendiri ditemukan dua bentuk jamak dari kata khalifah yakni khulafa (Q.S. al-A'raf ayat 74) dan khala'if (Q.A. al-An'am ayat 165). Dari sini, pakar-pakar bahasa Qur'an menemukan perbedaan dua macam khalifah.

Yang pertama adalah semua manusia, sebagaimana yang dimaksud al-Baqarah ayat 30: Sesungguhnya Aku hendak menciptakan khalifah di bumi. Khalifah yang dimaksud di sini bisa dalam arti pengganti makhluk lain yang sebelumnya telah menghuni bumi, tapi bukan jenis manusia seperti kita (manusia modern/homo sapiens). Bisa juga jenis manusia homo erectus yang telah wujud sebelum terciptanya manusia modern yang diperkirakan sementara pakar baru sekitar 10 ribu hingga 140 ribu tahun lalu.

Maksud khalifah dalam ayat di atas bisa juga dalam arti Mandataris Allah, yakni manusia yang dianugerahi oleh-Nya potensi untuk mengelola bumi sesuai dengan konsep yang dikehendaki Allah. Ini berarti bahwa Sang Khalifah mencakup semua manusia, tanpa kecuali, karena semua diberi-Nya potensi untuk mengelola bumi.

Yang kedua adalah penguasa di bidang politik dan pemerintahan. Ini, misalnya, ditemukan pada firman-Nya: Wahai Daud, sesungguhnya kami telah mengangkatmu menjadi khalifah (Q.S. Shad ayat 26).

Yang dimaksud dengan kata khalifah di sini adalah penguasa bidang politik dan pemerintahan. Ini bentuk jamaknya khulafa. Karena itu, pemimpin kaum Muslim setelah wafatnya Rasul SAW., yakni Sayyidina Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali RA., digelari khalifah dan keempat sosok mulia itu ketika digabung dinamai Khulafa ar-Rasyidin.

Hal pertama yang menarik dari kedua pokok uraian ayat-ayat itu adalah bahwa ketika Allah menyampaikan rencana-Nya kepada malaikat untuk menciptakan khalifah (Adam AS.) kata yang digunakan untuk menunjuk diri-Nya berbentuk tunggal: Sesungguhnya Aku akan menjalankan khalifah di bumi (Q.S. al-Baqarah ayat 30). Tetapi ketika berbicara tentang pengangkatan Daud AS., kata yang digunakan-Nya berbentuk jamak sekaligus berbentuk masa lampau yakni: Kami telah mengangkatmu menjadi khalifah.

Biasanya al-Qur'an jika menunjuk Tuhan dalam satu perbuatan dengan bentuk tunggal, maka itu mengisyaratkan ketiadaan keterlibatan pihak lain dalam perbuatan tersebut. Berbeda dengan kalau Allah itu menggunakan bentuk jamak. Perhatikan, misalnya, ketika Allah berbicara tentang kewajiban beribadah (Q.S. Yasin ayat 61) atau penganugerahan taubat (Q.S. al-Baqarah ayat 160) yang menggunakan bentuk tunggal.

Nah, bentuk jamak dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah itu mengisyaratkan bahwa penguasa politik hendaknya diangkat dengan melibatkan anggota masyarakat yang dipimpinnya atau paling tidak yang mewakili mereka. Dalam kasus Adam A.S., pengangkatannya sebagai khalifah tidak melibatkan orang lain karena memang ini -- dari satu sisi -- tidak berkaitan dengan kekuasaan politik, dan dari sisi lain belum ada masyarakat pada pengangkatannya karena beliau adalah manusia pertama. Selain itu, dalam ayat tentang pengangkatan Nabi Adam sebagai khalifah tersebut baru penyampaian rencana, belum pengangkatan secara faktual.

Ini berbeda dengan pengangkatan Daud sebagai khalifah yang memperoleh kekuasaan politik, masyarakat harus terlibat. Pesan Allah kepada Nabi Daud AS., sebagai penguasa adalah menetapkan hukum secara hak dan tidak mengikuti hawa nafsu. Inilah syarat pertama dan utama bagi seorang penguasa.

Keadilan tersebut harus ditetapkan atas dirinya, keluarga, dan kelompoknya sebelum terhadap masyarakatnya, baik masyarakat yang mendukung pemerintahannya maupun yang tidak mendukung. Jangan sampai kebencian kamu kepada satu kaum mendorong kamu tidak berlaku adil (Q.S. al-Maidah ayat 8), demikian pesan Allah.

Di atas telah dikemukakan bahwa keempat sahabat mulia yang memimpin negara/masyarakat Islam pertama -- setelah Rasul SAW., -- diberi gelar khalifah. Ulama berbeda pendapat tentang gelar kepala pemerintahan/negara setelah masa Sayyidina al-Hasan RA., apakah khalifah juga?

Imam Ahmad -- misalnya -- menilainya makruh dengan alasan Nabi SAW bersabda: Kekhalifahan di kalangan umatku tiga puluh tahun setelah itu adalah kerajaan (H.R. at-Tirmidzy dan Abu Daud).

Untuk diketahui, masa pemerintahan Sayyidina Abu Bakar mencapai dua tahun tiga bulan, Sayyidina Umar mencapai sepuluh tahun enam bulan, Sayyidina Usman mencapai dua belas tahun, Sayyidina Ali mencapai empat tahun sembilan bulan dan Sayyidina al-Hasan putra Sayyidina Ali selama sekitar enam bulan. Jumlah keseluruhannya adalah tiga puluh tahun.

Pendapat Imam Ahmad ini ditolak banyak ulama. Dalam kenyataan sejarah, banyak kepala negara dinamai khalifah.

Imam al-Baghawy menulis: "Tidak ada halangan menamai pemimpin tertinggi yang menangani urusan umat Islam sebagai amir al-Mu'minin atau Khalifah kendati pemerintahannya bertentangan dengan ciri kekhalifahan pemimpin-pemimpin Islam yang adil karena hakikatnya ia melaksanakan urusan kaum Muslim dan perintahnya dipatuhi oleh kaum muslim." Bahkan kita di Indonesia, hingga awal 2015, masih menyaksikan Sultan Yogyakarta masih menggunakan gelar Khalifatullah.

Betapa pun kekhalifahan terbesar masyarakat Islam runtuh dengan keruntuhan Kekhalifahan Usmaniyah yang berpusat di Turki. Itu terjadi secara resmi pada 3 Maret 1924 di bawah kekuasaan Kemal attaturk. Keruntuhan itu akibat rongrongan dari luar serta aneka gejolak dan kebobrokan di dalam.

infografik kultum quraish shihab asmaul husna al hakam

Salah satu dampaknya adalah diskusi hangat tentang sistem kekhalifahan apakah itu mutlak adanya atau itu adalah hasil pemikiran manusia yang lahir dari kondisi dan situasi masyarakat Islam pada satu masa? Apakah itu hanya salah satu alternatif dari sekian banyak alternatif yang dimungkinkan?

Hingga kini masih ada suara, bahkan usaha-usaha, untuk mengembalikan sistem kekhalifahan dalam masyarakat Islam dan memimpikan lahirnya pemerintahan yang mirip kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab. Tetapi, kendalanya tidak ringan, kalau enggan berkata mustahil atau amat sangat berat.

Ini antara lain disebabkan kuatnya tantangan dari mereka yang enggan melihat umat Islam bersatu serta semakin kokohnya paham nasionalisme, termasuk dalam aneka masyarakat Islam di berbagai penjuru dunia. Ditambah lagi dengan kelemahan banyak negeri Islam dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, sosial, pertahanan, dan pendidikan.

Yang menambah parah pesimisme itu adalah lahirnya gerakan yang bercirikan kekerasan dan kekejaman yang membawa nama Islam dan kekhalifahannya. Hal ini pada gilirannya memperkuat pandangan sementara orientalis yang beranggapan bahwa pemerintahan yang bercirikan Islam bersifat otoriter dan memaksa. Suatu tuduhan yang sama sekali tidak benar jika dinisbahkan kepada Islam. Walau pun harus diakui bahwa kekerasan dan kekejaman yang membawa nama Islam dan kekhalifahan pernah dan kini masih terjadi dalam sekian banyak negara berpenduduk masyarakat Muslim.

Atas dasar alasan-alasan di atas, tidak sedikit pemikir politik Islam, kendati mengakui idealnya kekhalifahan pada masa Khulafa ar--Rasyidin, tetapi pada saat yang sama menyadari pula besarnya tantangan, bahkan tidak sesuainya lagi sistem lama itu dewasa ini. Apalagi itu bukan alternatif satu-satunya.

Menurut mereka, yang harus diupayakan adalah lahirnya satu kesatuan umat Islam tanpa harus melebur nasionalisme yang telah sedemikian mapan di aneka penjuru dunia, termasuk dunia Islam.

Ide tentang perlunya persatuan -- tanpa melebur nasionalisme -- melahirkan Liga Arab yang menghimpun masyarakat berbahasa Arab di Timur Tengah, juga Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang menghimpun negeri-negeri bermasyarakat Islam sedunia, ada juga kelompok negara dalam satu kawasan, seperti Persatuan Negara-Negara Teluk.

Kendati organisasi-organisasi telah terbentuk, namun kenyataan menunjukkan bahwa tidak Liga Arab, tidak OKI, tidak Persatuan Negara-Negara Teluk, yang mampu menghindarkan anggotanya dari pertikaian bahkan pertumpahan darah.

Agaknya, yang lebih penting diusahakan oleh masyarakat dan pemerintah-pemerintah bermasyarakat Islam adalah menjalin hubungan baik dan kerja sama dalam bidang ekonomi, politik, pertahanan dan lain-lain, sebelum bermimpi mengembalikan masa lalu -- masa Khulafa ar-Rasyidin.

Demikian, wa Allah a'lam.

=======

*) Naskah diambil dari buku Kumpulan 101 Kultum Tentang Islam yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.

Kultum Quraish Shihab

Baca juga artikel terkait RAMADAN atau tulisan lainnya dari M. Quraish Shihab

tirto.id - Pendidikan
Penulis: M. Quraish Shihab
Editor: Zen RS