Menuju konten utama
Polemik UU MD3:

Dua Jalan Megawati dan SBY

Merespons UU MD3, Jokowi bertindak seperti Megawati yang menolak menandatangani empat UU yang sudah disahkan DPR.

Dua Jalan Megawati dan SBY
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyampaikan pandangan akhir Pemerintah pada Rapat Paripurna DPR pengambilan keputusan revisi UU MD3 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2/2018). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

tirto.id - Meski telah disahkan DPR dalam sidang paripurna pada Senin (12/2/2018) lalu, tapi Presiden Jokowi belum menandatangani Revisi Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Hal ini didasari beberapa poin perubahan yang—dalam penilaian presiden—dapat menimbulkan keresahan di masyarakat.

Beberapa perubahan itu di antaranya yaitu aturan yang memberikan kewenangan kepada DPR melalui MKD (Majelis Kehormatan Dewan) untuk memeriksa seseorang secara langsung jika dianggap merendahkan kehormatan dewan. Selain itu, poin perubahan lainnya adalah DPR—menggunakan instrumen kepolisian, diizinkan untuk melakukan pemanggilan paksa kepada masyarakat dan pejabat publik jika dianggap melakukan pengkhianatan aturan tata negara di Indonesia.

Keengganan dan penilaian dari istana itu dinilai oleh beberapa kalangan sebagai gambaran buruknya komunikasi antara Presiden dengan Menteri Hukum dan HAM, Yasona Laoly. Sebagai perwakilan pemerintah yang mengikuti dinamika perubahan Undang-undang MD3, Yasona tidak melaporkan dinamika tersebut kepada Presiden Jokowi, sehingga ketika undang-undang tersebut telah disahkan oleh DPR bersama pemerintah, ia enggan menandatanganinya.

Sulistyowati Irianto, Guru Besar Hukum Antropologi UI, berpendapat bahwa sikap Jokowi sudah benar. Ia menambahkan bahwa Jokowi tidak mau menandatangani undang-undang tersebut karena ada berbagai pasal dalam revisi tersebut yang bertentangan dengan mandat demokrasi yang bersendikan pada rakyat.

“Dalam hal ini Jokowi tidak melanggar hukum, dan tidak melanggar etika,” ujarnya kepada Tirto (22/2/2018)

Ia menekankan bahwa undang-undang tersebut sejak perumusan revisinya sangat kental dengan kepentingan untuk mengusai parlemen yang dilakukan oleh partai-partai tertentu. Hasil revisinya pun, menurut dia, lebih buruk lagi karena DPR menempatkan dirinya sebagai superbody.

“Bahkan suara kritis rakyat akan diganjar oleh kriminalisasi,” tegasnya.

Menurutnya, hukum yang baik bukan hanya ditentukan oleh persyaratan hukum, tapi juga landasan filosofis dan sosiologisnya.

“Secara sosiologis sudah banyak gerakan masyarakat sipil yang menolak substansi undang-undang tersebut yang tidak pro rakyat. Ada berbagai diskusi, petisi, bahkan demo mahasiswa yang menyoal undang-undang anti rakyat itu. Rakyat yang berpikir kritis justru tidak ingin Jokowi tandatangani undang-undang tersebut. Dia justru salah kalau tandatangani karena tidak berpihak kepada rakyat,” tambahnya.

Sedangkan Feri Amsari, peneliti di PUSako (Pusat Studi Konstitusi), mengatakan keengganan presiden menjelaskan komunikasi yang buruk di kabinet. Ia menduga ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, presiden tidak membaca laporan yang diberikan menterinya terkait perkembangan perubahan undang-undang. Kedua, mungkin menterinya menempuh cara yang berbeda dengan kebijakan Presiden.

Apa pun kemungkinan dan alasannya, Feri menyebut keengganan itu tidak akan berdampak. Undang-undang yang telah disepakati bersama oleh DPR dan pemerintah, tapi tidak ditandatangani Presiden, akan tetap berlaku dalam 30 hari kemudian. Tandatangan Presiden itu urusan administratif yang tidak akan membatalkan undang-undang tersebut.

“Sebaiknya Presiden tandatangani saja. Setelah itu bisa menempuh langkah-langkah berikutnya. Jika dirasa amat genting [untuk kepentingan rakyat], maka Presiden bisa mengeluarkan Perppu untuk mengganti undang-undang tersebut,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (22/2/2018).

Jokowi Bukan yang Pertama

Keengganan Jokowi menerima perubahan Undang-undang MD3 bukanlah yang pertama kali dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia. Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga sempat melakukannya terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala dipilih oleh DPRD.

Meski sempat menandatanganinya, namun SBY kemudian menolaknya dengan mengeluarkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang: (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. (2) Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Hal yang sama juga pernah terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati. Mantan Kepala Negara dari PDI Perjuangan ini bahkan sempat bermasalah dengan empat undang-undang: (1) UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, (2) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (4) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

infografik uu yang tidak disahkan presiden

M. Hadi Shubhan dalam artikel bertajuk “Fenomena UU Tanpa Pengesahan Presiden” yang dipublikasikan oleh bappenas.go.id menyebutkan bahwa secara hukum presiden berhak untuk tidak menandatangani atau tidak mengesahkan undang-undang yang telah disetujui bersama antara DPR dengan pemerintah. Undang-undang itu memang sah secara hukum, tapi beberapa pertanyaan muncul ketika tidak ada pengesahan dari Presiden.

Pertama, ambiguitas pemerintah. “Di satu sisi, pemerintah melalui menteri terkait menyetujui RUU itu, sementara di sisi lain pemerintah (presiden) menolak RUU itu,” tulisnya. Kedua, ia menyebutkan bahwa hal ini menggambarkan lemahnya kontrol Presiden terhadap menterinya. Dan yang ketiga—jika poin pertama dan kedua tidak terjadi, maka ia menganggap presiden berupaya mencari selamat sendiri.

“Jika diteliti ke belakang, pada empat undang-undang yang tidak dapat pengesahan, akan terlihat Presiden [Megawati] mencari aman. UU penyiaran telah terjadi resistensi cukup keras yang dilakukan sebagian besar masyarakat penyiaran. UU Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau telah terjadi pro-kontra antar-masyarakat Riau sendiri. UU Advokat juga terjadi perdebatan panjang di mana sarjana Syariah dibolehkan menjadi advokat. Demikian pula UU Keuangan Negara di mana terjadi benturan kepentingan antar-intern lembaga pemerintah, seperti Bapenas dengan Departemen Keuangan,” tulisnya.

Feri Amsari menawarkan solusi lewat Perppu, sedangkan M. Hadi Shubhan menawarkan amandemen untuk UU yang telah disahkan oleh DPR dan pemerintah, tapi presiden tidak menghendakinya.

“Jika di kemudian hari terjadi sesuatu yang tidak diprediksi seperti semula, UU itu bisa diamandemen lagi,” tulisnya.

Baca juga artikel terkait UU MD3 atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Hukum
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Maulida Sri Handayani