Menuju konten utama

DreadOut: Cuma Butuh Powerbank untuk Membasmi Demit

Kengerian yang ditawarkan DreadOut tak beda jauh dari versi gim.

DreadOut: Cuma Butuh Powerbank untuk Membasmi Demit
Poster Film DreadOut. FOTO/Instagram/@dreadoutmovie

tirto.id - “Kalau sudah pacaran bosan, gimana?” ujar Timo Tjahjanto, sutradara The Night Comes for Us, sebagaimana diwartakan Kompas. “Ini perpisahan yang baik dan sehat. Karena gua juga melihatnya, semakin elu punya jam tayang sebagai sutradara, gua rasa, pemikiran elu mulai lama menjadi homogeneous. Dalam arti kata, visinya pure.”

Setelah berkolaborasi dalam tiga film, Rumah Dara (2010), Killers (2013), dan Headshot (2016), kebersamaan duet maut Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel—biasa dikenal sebagai “The Mo Brothers”—harus berakhir.

Menurut Timo, jalan pisah diambil karena faktor perbedaan visi dalam penggarapan film. Timo, berdasarkan pengakuannya, cenderung lebih bermain ke ranah film “indie.” Sementara Kimo, terang Timo, mulai menjajaki pasar mainstream.

Kebersamaan Timo dan Kimo meninggalkan jejak yang panjang: film-film dengan cerita ganjil, darah yang dirayakan di banyak adegan, karakter-karakter sadis, hingga imaji tentang kehidupan kota yang brutal. Singkatnya, berbicara soal Mo Brothers adalah berbicara mengenai kekejaman permanen. Tak ada gambaran dunia yang kondusif, apalagi ideal.

Gaya khas Mo Brothers berusaha dipertahankan keduanya sekalipun telah berpisah. Dua karya Timo, Sebelum Iblis Menjemput dan The Night Comes for Us, misalnya, tetap mengusung elemen kekerasan dan ... tentu saja darah yang muncrat ke mana-mana.

Lantas bagaimana dengan Kimo?

Film terbarunya, yang baru dirilis awal Januari ini, masih berpijak pada ciri khasnya yang bertumpu pada trilogi aksi ngeri, ngeri, dan ngeri. Bedanya, bungkusan Kimo lebih “populer”.

Dan saya rasa usaha Kimo cukup berhasil.

Tegang Sejak Awal

Jauh sebelum Go-Jek dipromosikan sebagai “karya anak bangsa”, tagline senada sudah lebih dulu muncul lima tahun silam untuk menyebut DreadOut, gim bikinan studio asal Bandung, Digital Happiness.

Gim ini bisa diakses secara resmi di situsweb Steam dan didukung oleh crowdsourcing dari Indiegogo. DreadOut merupakan gim horor yang terinspirasi rilisan klasik macam Fatal Frame. Jualan utama DreadOut ialah atmosfer ketegangan yang hadir sejak babak mula serta musuh-musuh berupa demit lokal macam kuntilanak hingga pocong.

Gambaran itulah yang kemudian diangkat Kimo ke dalam layar perak. Cerita DreadOut versi gim dan film tak begitu berbeda, yakni tentang sekelompok anak SMA yang ingin hura-hura namun malah harus bertempur melawan kekuatan gaib.

Suatu hari, Jessica (Marsha Aruan), mengeluh karena jumlah pengikutnya di Instagram tak kunjung bertambah. Ia iri dengan adik kelasnya yang tak sepopuler dirinya tapi malah punya follower lebih banyak. Guna menyelesaikan masalah itu, Beni (Muhammad Riza Irsyadillah), kawan Jessica, mengajaknya bikin konten yang tak lazim: siaran live Instagram di rusun yang sudah lama dibiarkan kosong dan terkenal angker.

Tanpa pikir panjang, Jessica mengiyakan ajakan Beni. Bersama Dian (Suzana Sameh), Alex (Ciccio Manassero), dan Erik (Jefri Nichol), mereka segera menuju rusun tersebut. Tak lupa, mereka juga mengajak Linda (Caitlin Halderman), adik kelas yang nyambi bekerja di minimarket, untuk melobi satpam rusun yang dikenalnya agar bersedia membukakan pintu dan mengizinkan anak-anak SMA ini bermain-main di dalam gedung.

Petualangan awalnya berjalan lancar. Siaran live Jessica pun mampu menarik banyak penonton. Akan tetapi, keseruan tersebut berubah jadi malapetaka setelah mereka nekat masuk kamar yang dipasangi garis polisi. Teror demi teror datang membabi buta dan menyeret mereka ke alam baka lewat portal hitam yang tak sengaja terbuka. Ini terjadi selepas Linda membaca kalimat berbahasa Sansekerta (ternyata mantra) yang ia temukan dalam tumpukan perkamen di lantai kamar.

Sejak film dimulai, Kimo hanya memberi waktu 10 menit untuk bersantai. Setelahnya, Kimo menjejali sisa durasi dengan pelbagai teror visual, scoring yang membikin bulu kuduk berdiri, serta jumpscare yang disusun dengan perhitungan tepat. Kimo hampir tak menyediakan ruang untuk menghela napas. Penonton dipaksa ikut hanyut dan tegang dalam petualangan anak-anak ingusan melawan demit yang memiliki kemampuan menghabisi nyawa orang bak pembunuh berdarah dingin.

Infografik Misbar DreadOut

Infografik Misbar DreadOut

Inilah hasilnya jika film horor digarap di tangan orang yang tepat (maaf, Nayato). Pengalaman menyutradarai film-film thriller macam Rumah Dara dan Killers membuat Kimo paham bagaimana menciptakan kengerian yang tak sekadar mengandalkan kehadiran iblis, tetapi juga suasana di sekitar.

Horor di DreadOut muncul dalam koridor rusun yang kosong, kaca berukuran besar dengan ukiran bermotif serupa parang di bagian pinggirnya, hingga hutan hijau nan lebat yang diselimuti kabut pekat. Bagian-bagian tersebut turut membangun atmosfer kengerian sekalipun tak ada sosok demit yang dihadirkan.

Di saat bersamaan, Kimo juga selektif memilih demit yang hendak ditampilkan. Kimo tak serta merta memasukkan semua iblis dalam versi gim ke dalam naskah. Tercatat, hanya ada dua iblis yang muncul secara dominan sepanjang 90 menit film berjalan: perempuan berkonde dengan kebaya berwarna merah menyala serta pocong yang berjalan tak ubahnya seperti zombie seraya menggenggam clurit di tangan kanannya.

Dua demit itulah yang berperan sebagai kunci adegan-adegan paling penting sepanjang DreadOut.

Lewat karakter-karakter yang ada, Kimo juga berupaya mengangkat isu-isu keseharian yang dihadapi anak-anak muda masa kini. Mulai dari ambisi untuk tenar di media sosial yang membikin mereka seperti tak punya urat takut (lewat karakter Jessica), sampai fenomena perisakan yang dilakukan kakak kelas (Alex).

Tak bisa dipungkiri, Kimo piawai menjaga ketegangan sepanjang DreadOut. Namun, beberapa keputusan—entah disengaja atau tidak—yang diambil Kimo justru mengganggu penonton dan alur DreadOut itu sendiri.

Misalnya, Kimo tak menjelaskan asal-usul si demit perempuan berkebaya merah. Latar belakang si demit dan kenapa ia sangat ganas tak dijajaki. Ditambah lagi, motivasi si demit ini dalam mengejar Linda dan konco-konconya pun juga tak konsisten. Di satu waktu, ia bilang ingin balas dendam atas kematian adiknya akibat kilatan flash yang keluar dari gawai Linda. Di lain waktu, ia berkata ingin membunuh Linda karena keris saktinya telah dicuri.

Inkonsistensi Kimo kembali keluar ketika Linda dan si demit bertarung di menit-menit akhir menjelang akhir film. Pertarungan itu dimenangkan Linda setelah ia berhasil menusuk leher si demit dengan keris sakti yang dicurinya.

Namun, alih-alih musnah, si demit masih bertahan hidup. Pertanyaannya: mengapa senjata yang notabene dianggap lebih sakti dibanding flash gawai gagal menewaskan si demit? Padahal, sebelumnya, adik si demit berhasil dibunuh dengan hanya menggunakan kilatan flash. Logikanya, jika flash saja bisa membunuh demit, keris sakti itu juga dapat melakukan hal serupa—bahkan mungkin dengan lebih mudah.

Agaknya, Kimo memang sengaja membiarkan hal-hal mengganggu tersebut tanpa jawaban untuk mengisi slot cerita di sekuel berikutnya. Yang jelas, apabila memang sekuel DreadOut terwujud, Linda dan teman-temannya dipastikan memerlukan powerbank agar dapat menjaga kilatan flash terus hidup di belantara hutan yang mistis dan buas.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf